Ketika
berbicara tentang berkorban pikiran kita pasti akan menangkap sesuatu yang
tercium begitu heroik, tentang keringat yang rela diperas seperti kita hendak
menjemur handuk, atau darah yang mengalir hingga membuat pucat. Namun berkorban
tentu saja tidak selamanya tentang keringat dan darah, banyak hal yang tidak
bisa diraba bagai materi namun juga merupakan wujud pengorbanan yang tak kalah
masif. Waktu, pikiran, perasaan, bahkan masa depan, cita-cita, prinsip juga
adalah komponen yang seringkali manusia korbankan dalam hidup, entah untuk
orangtua, pasangan, anak-anak, pendidikan, karir, bahkan kemanusiaan.
Pengorbanan semacam ini tentu saja terdengar amat suci, jauh dari noda, dan
begitu tulus.
Sejenak saja kita menjenguk KBBI maka
akan kita jumpai arti dari kata ‘berkorban’, yaitu menyatakan kebaktian,
kesetiaan, dsb; menjadi korban; menderita (rugi dsb); Berkorban walaupun
terdengar sesejuk angin surgawi namun tetap saja terasa sakit, penuh derita,
berkurangnya kesenangan dan kehilangan. Hingga seringkali orang yang berkorban
memandang hasil baik dari pengorbanannya dengan senyum yang berbingkai air
mata, proses penuh kesakitan yang dilaluinya selama ini ternyata berbuah manis
juga.
Saya tergelitik ketika membaca buku
berjudul Rich dad, Poor Dad-nya Robert.
T Kiyosaki, ketika ayah miskinnya ditanya mengapa ia miskin? Maka ia menjawab,
“Karena ayah punya kamu.” Jawaban realistis ini tentu saja sesuai dengan
kondisi mayoritas orangtua yang berkurang himpunan hartanya untuk membesarkan,
menyekolahkan, dan memenuhi keinginan anak. Tak heran sudah terpatri dalam
benak masyarakat bahwa orangtua akan berkorban segalanya bagi anak-anak mereka.
Namun ketika Kiyosaki bertanya pada ayah kayanya mengapa ia kaya? Maka ayah
kayanya menjawab, “Karena ayah punya kamu.”
Menilik dua alasan yang sama namun
memberikan efek yang berbeda pada dua pertanyaan di atas seharusnya membuat
kita curiga dan berusaha mengorek apa yang sebenarnya terjadi dibalik
pengorbanan. Mengapa kita masih saja dituntut untuk merasa lelah, sakit, kekurangan,
dan kehilangan untuk mencapai sesuatu? Membuktikan cinta dan kasih sayang?
Bahkan untuk menuju kekekalan yang membahagiakan kelak? Tidak bisakah kita
merasakan proses yang manis untuk mendapatkan hasil yang lebih manis ketimbang
terus-menerus berpikir bahwa perjuangan yang berat, terjal, dan berliku adalah
satu-satunya cara untuk bisa menelan madu kesuksesan? Nyatanya buah yang manis
justru didapat dari bibit yang baik, pupuk yang berkualitas, dan tanah yang
subur bukan dari tanah yang diterjang badai.
Ayah kaya Kiyosaki jelas memahami
ini, bahwa cara terbaik untuk mendukung kesuksesan anaknya secara finansial
adalah dengan menjadi kaya, sederhana saja karena anak-anak perlu makanan,
pendidikan, dan fasilitas yang baik untuk perkembangan mereka. Dalam
membesarkan anak-anaknya ayah kaya Kiyosaki tidak merasa berkorban, kepayahan,
dan menderita karena ia juga menikmati proses menjadi kaya, tersenyum ketika
mampu menyekolahkan anaknya ke tempat terbaik, dan melihat keluarganya hidup
dalam kesejahteraan. Bayangkan jika ayah kaya Kiyosaki ‘hanya’ memutuskan untuk
berkorban demi keluarga, bekerja siang dan malam dengan penghasilan yang
merana, mengumpulkan sen demi sen untuk mencukupi kebutuhan yang tidak pernah
tercukupi persis seperti yang dilakukan oleh ayah miskin-nya. Alasan yang sama,
anak; bisa menjadikan seseorang terbakar semangatnya untuk meraih pencapaian
atau justru tenggelam pada alur pengorbanan yang menyesakkan. Kemungkinan
mengerikan dalam hal ini; ayah kaya Kiyosaki lebih baik dalam mengantarkan
anak-anaknya pada keberhasilan di masa depan ketimbang ayah miskinnya yang
begitu merasa kepayahan dalam berkorban.
Saya
tidak sedang bicara sarkas ataupun meninggikan materi, tidak. Saya hanya ingin
mengajak untuk merenung, sebegitu agungkah berkorban sehingga harus sekali kita
lakukan? Seperti yang sudah disinggung di awal, berkorban bagaimana pun akan
menimbulkan perasaan lelah, payah, dikurangi, diambil, dicerabut, hal itu
bukankah justru hanya akan membuat kita merendah (baca : menjadi rendah) karena
hanya bisa memberikan apa yang ada pada diri hingga terpotong-potong,
berkurang, dan lenyap sama sekali. Idealnya daripada berkorban mengapa kita tidak
berusaha menjadikan diri mampu, mungkin akan sama-sama
berkeringat atau bahkan juga berdarah, tetapi menjadikan diri mampu akan
mengangkat kita ke atas bukan sebaliknya.
Berkorban
dibandingkan dengan menjadikan diri mampu ternyata bisa memiliki alasan yang
sama, bahkan tindakan yang diambil pun bisa jadi serupa. Ayah miskin Kiyosaki
bekerja seharian, ayah kaya Kiyosaki mungkin saja hanya sedikit tidur untuk
mengurusi bisnisnya, namun perbedaan paling mendasar bisa diamati dari sini
yaitu adanya perbedaan mind set yang
lanjutnya akan memengaruhi heart set.
Mind set orang-orang yang berkorban
hanya dipenuhi oleh pikiran ‘berikan segalanya hingga tak tersisa’ lalu otaknya
akan mengirimkan sinyal berupa perasaan ciut, lelah, hilang dsb. Sedangkan
orang-orang yang menjadikan diri mampu memiliki mind set ‘tingkatkan dirimu tanpa sisa hingga kaubisa memberikan
segalanya’ maka heart set-nya pun
akan merasakan semangat, kekuatan, dan optimisme sehingga dalam lika-likunya ia
akan menikmati perjalanan bukan mengutuk kerikil.
Berkorban
tidak pernah bisa menjadi tempat bertumbuh, berkorban juga mustahil berbanding
lurus dengan berbahagia dalam prosesnya. Jiwa yang tidak berbahagia tidak bisa
seutuhnya membahagiakan orang lain, padahal jika kita geser sedikit saja mind set kita dari berkorban menuju
memberikan kesempatan kepada diri untuk bertumbuh maka kita berpotensi mendapat
dua keuntungan sekaligus yaitu memperoleh tujuan dari berkorban dan mengalami
ekskalasi diri. Singkatnya pembeda utama dari berkorban dengan menjadikan diri
mampu adalah rasa dan hasil yang
diperoleh. Berkorban hanya memunculkan rasa
yang tidak mengenakkan dan tanpa peningkatan kualitas diri. Sedangkan
menjadikan diri kita layak memberi lebih justru menumbuhkan perasaan mampu,
berdaya, dan bahagia.
Memilih
menjadikan diri mampu untuk memberi lebih, membahagiakan orang lain, dan
mencapai tujuan hidup serta mendapatkan apa yang dinginkan adalah cara terbaik
dalam merobek kata berkorban dalam kamus kehidupan. Ingatlah berkorban hanya
dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya harus menjadi korban.
--------------------------------------------------
Penulis : Aya Sofi Rumaisha
Silakan saja untuk tidak setuju dengan tulisan ini karena tulisan ini bukan sebuah mosi yang harus disetujui, haha. Tulisan ini cuma 'pelampiasan' penulis atas pemikiran yang entah bagaimana caranya harus dimuntahkan oleh otak daripada dia terus berputar-putar dan menjadi mual.