Satu hal yang menjadi tidak bisa di rumah, selalu menjadi tidak biasa, adalah bahwa ada satu hal yang akan selalu terasa hilang, entah kenapa. Saat kita merindukan suatu tempat, terkadang kita tidak merindukan tempat itu, tapi kita merindukan kenangan yang tercipta di tempat itu, dan terkadang kita sadar bahwa kenangan di tempat itu takkan tercipta lagi.

Inilah yang selalu aku rasakan saat merindukan rumah, saat merindukan rumah, bukan bentuk rumahnya lah kurindukan, tapi kenangan disana, dan mau tak mau harus diakui bahwa kenangan itu takkan pernah tercipta lagi.

Aku hanya bisa terdiam manis menunggu Katty –Pacarku– yang sedang berusaha kabur dari rumah majikannya, perbedaan sangat jelas antara aku dan Katty membuatku tidak percaya kita ini satu spesies.

Katty terlalu cantik, bulunya yang putih semua sangat terlihat menawan, dia memang gendut, tapi aku suka kucing gendut, manusia pun begitu, meski manusia tidak suka manusia gendut. Bulunya begitu indah, putih bersih, dia jarang memiliki kutu, dari semua spesies kucing yang pernah kutemui, sepertinya Katty adalah yang tercantik.

Sedangkan aku, kucing jalanan yang biasa disebut kucing garong, berbulu hitam, dengan mata yang tajam, banyak manusia membenciku, karena memang aku tak semanis Katty, atau bahkan diantara kucing jalanan, aku adalah kucing terjelek, tak bisa ku mengerti kenapa Katty bisa mencintaiku.

source iamge: https://www.igpile.com/media/1153260213554402031_1512955019

Wahai, yang sedang menikmati Sabtu pagi dan siap menyambut Sabtu siang, sore dan malam. Aku turut berbahagia untuk siapapun yang berbahagia di dalamnya, dan turut berduka untuk siapapun yang ruang hatinya tergores luka.
Baiklah, kutekankan, itu bukan basa-basi, sungguh.
Aku tak tahu harus memulai dari mana, yang jelas detik ini aku sedang ditemani calon skripsiku yang baru saja melewati satu langkah pertama #seminarproposal di ruang dua gedung dua, 2 Februari lalu.
Kita sama-sama tahu, skripsi merupakan salah satu syarat untuk menempuh gelar sarjana setelah melewati sekurang-kurangnya 4 tahun kuliah. Skripsi menjadi simbol pernyataan bahwa seseorang mampu untuk menerima gelar sarjana tertentu, terlepas dari bagaimana pertanggungjawabannya.
Kukira setiap orang punya indera perasa berbeda dalam mencicipi hingga melahap skripsinya, ada yang merasa manis, ada pula yang merasa pahit, ada yang campuran. Lantas apa yang menjadikan rasa itu tercipta?
Apakah tergantung seseorang tersebut mendapatkan dosen pembimbing?  Jika mendapatkan dosbim yang killer dan sulit ditemui, maka skripsi semudah apapun akan terasa sangat sulit? (karena buat ngomong “YA” atau “TIDAK” aja susah minta ampun! Atau dosbim ingin membuktikan kesungguhan si mahasiswanya?)

Oleh: SJ. Munkian

Dan kepadamulah aku melabuh
layar berkembang telah tamat
jangkar terpaut ke dasar palung
awak kapal nakal pun berhijrah
mustahil bagiku melaut pergi darimu

Engkaulah daratanku
destinasi terakhir petualanganku
julukan pelaut ulung kutanggalkan
kupilih engkau wahai daratanku
lautan rela kutinggalkan

Kau berlari, merengek, tertawa
Sesuka hatimu
Kau pergi, pada tempat yang kaubangun sendiri
Bertemu, pada orang yang hanya ingin kautemui
Rindui
Kau degil, sialan, penurut
Hanya seperti maumu

Kaumembungkus semua cerita
Kaukunyah di belakang mata
Bersila di atas organ pemikir
Setia menampungmu
di setiap lekuk