Pindah Sekolah (Part 2)
Allen.
Kelas sudah kosong. Aku tak tahu
harus kemana. Aku tak ingat aku harus pulang ke mana. Hanya Franda-lah yang
berenang-renang di benakku, bukan alamat rumahku. Sayangnya.
Duduk berdiam diri tentu saja tidak
akan membuatku berada di rumah. Aku memutuskan untuk meninggalkan kelas. Aku
tampaknya harus menyusuri koridor panjang yang hening, hingga ke ujung menuju
tangga aku tidak melihat seorang pun. Rupanya ada kelas yang sedang diperbaiki
di sebelah kelasku, aku penasaran dan melongok ke dalam melalui jendela tetapi
pandanganku terhalang oleh balok-balok kayu. Aku mundur beberapa langkah dan
mencapai pintu ruangan itu. Aku mencoba sedikit mendorongnya, rupanya tidak
dikunci.
Kelas ini terlihat temaram karena
cahaya yang masuk hanyalah dari celah pintu yang kubuka, rasa ingin tahuku
mendorongku untuk masuk. Aku melihat sisa-sisa cipratan cat di lantai. Astaga
siapa itu?!
Seorang perempuan berambut cokelat
panjang tergantung dengan tali yang mencekik lehernya. Kaki dan tangannya
menjuntai ke bawah.
“Nona apa kau bisa mendengarku?!”
Aku berteriak panik. Sialnya tak ada seorang pun di sekitar sini. Perempuan itu
tampak sudah tidak bergerak.
Segera saja aku menarik meja dekat
lemari yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku menariknya hingga tepinya
berada di bawah kaki perempuan itu, kemudian aku menaiki meja itu untuk
mengurai tali yang menjerat lehernya. Sialan, tali ini kencang sekali. Aku
takut usahaku justru akan membuat tali ini semakin menjeratnya.
Ia masih bergeming, aku harap
perempuan ini hanya pingsan bukan mati kehabisan napas. Tetapi kemudian ia
menoleh kepadaku, ternyata ia masih hidup. Hanya saja aku tidak melihat
wajahnya karena tertutupi oleh rambut. Tangan kiriku kemudian menyibak rambut
dari wajahnya. Namun aku dikejutkan karena sama sekali tidak kudapati mata
ataupun hidung di sana. Aku terjatuh dari meja.
***
Franda.
Aku ingat sekarang, dompetku
tertinggal di kelas. Barusan ketika aku membayar pembelian asam sulfat pada
Ersa aku lupa untuk memasukkannya kembali ke dalam tas, aku hanya menaruhnya di
atas meja.
Kegiatan di lantai dasar sekolah
masih hidup, beberapa orang murid dan guru belum meninggalkan sekolah. Aku
mencapai lantai dua, dan kegiatan sepenuhnya sudah mati. Aku masih harus
menaiki satu lantai lagi untuk mencapai kelasku.
Jantungku terlonjak ketika nyaris
saja bertubrukan dengan Allen, ia berlari cepat sekali dari lantai tiga. Lantai
dimana kelasku berada. Allen tidak kalah terkejut dariku.
“Franda!” Napasnya terengah namun
air mukanya berubah senang ketika melihatku, “Kau mau kemana?”
“Dompetku tertinggal di kelas.” Aku
menghindar menatap matanya. Aku melangkah maju melewatinya.
Allen menyergahku, tangannya meraih
pergelangan tanganku. Sejenak aku membeku, kemudian ia berkata. “Aku temani,
jangan ke atas sana sendirian!”
“Mengapa?” Nada bicaraku mendingin.
Efek tangannya di pergelanganku?
“Nanti saja aku ceritakan padamu.”
Aku mendapati dompetku di atas meja,
syukurlah. Aku kembali turun ke bawah dan Allen mengkutiku, ia menyeimbangkan
langkah cepatku agar tetap berjalan bersampingan.
Aku berhenti dan tanpa sedikit pun
menoleh padanya, kubicara. “Jangan mengikutiku.”
Untuk sekitar sepuluh detik ia
menurut, tapi kemudian ia berseru. “Franda, kau harus menunjukkanku jalan
pulang!”
Sebuah perasaan seketika mencelus
jantungku.
“Hei, anggap saja itu sebagai
bayaran karena aku tadi mengantarmu mengambil dompet.”
Apa-apaan ini? Bayaran? “Aku tidak
memintamu mengantarku.”
“Kalau aku tidak mengantarmu, mukamu
pasti sudah pucat sekarang!”
“Apanya?” Kedua alisku nyaris
bertemu.
“Aku rasa aku bisa melihat hantu.”
***
“Kejadiannya sebulan yang lalu kan,
ketika tiga orang bersenjata merampok rumah kakak beradik Cakranestya. Sekitar
pukul satu malam, karena rumah mereka di tepi kota, terpisah dari yang lain dan
dikelilingi kebun pribadi yang luas maka tak ada seorang pun yang bisa
mendengar teriakan Miranda Cakranestya,” papar Andi. Tangan kanannya mengambil
sebuah biskuit dan melahapnya.
“Apakah dia sendirian pada malam
itu?” Aku bertanya.
“Ya, dan sayangnya ia memutuskan
untuk melawan. Ia pasti kehabisan banyak darah.” Tanpa sadar Andi bergidik.
“Lalu jam berapa Allen tiba di
rumah?”
“Ah, siapa yang tahu pasti. Malam
itu aku saja tiba di rumah sekitar pukul dua belas, Allen pasti lebih lama
sampai di rumah. Jaraknya kan jauh dari sekolah, sialnya ia tentu saja tiba
ketika perampokan di rumahnya tengah berlangsung.”
“Takdir?” Suaraku terasa getir,
bahkan terecap oleh lidahku sendiri.
“Jadi bagaimana dia…?” Andi
mengedikkan bahu, tampak bingung dengan pertanyaannya sendiri.
“Kemarin aku bicara dengannya. Ia
ceria, tersenyum dan tertawa. Seperti biasanya. Itulah yang justru
menggangguku, setiap kali mata kami beradu, benteng ini runtuh. Aku kehabisan
tenaga, terutama karena kali ini begitu berbeda. Kau sendiri pasti tahu
mengapa, haruskah aku mengulang semua ceritaku selama setahun lebih? Tapi
Rivano adalah penghabisan, aku tak bisa menerima siapa pun lagi. Aku sudah
berjanji pada diriku sendiri, dan aku bukan tipikal pelanggar janji.” Aku
meloloskan air mata yang sedari tadi kupenjara. “Aku mengantarkan Allen ke
rumahnya.”
“Tapi di sana sudah tidak ada siapa
pun…?”
“Lalu kemana lagi?”
“Selanjutnya?”
“Dia masuk, aku pulang. Hari ini aku
tak melihatnya.” Ucapku terisak. “Jadi sebenarnya bagaimana nasib Miranda?”
“Dia kritis, tapi sebenarnya ia
sempat di bawa ke rumah sakit. Berita di media berhenti sampai di situ.”
***
Allen.
“Allen!” Franda menyebut namaku,
terlebih dulu. Ini hujan musim kemarau.
Franda!” Aku tak ingin menyembunyikan
kegembiraanku. Ia duduk di sampingku. Kami duduk di koridor lantai dua.
“Apa saja yang kaulihat di rumahmu?”
Aku menggeleng, “Tak ada yang bisa
kuingat. Kepalaku pasti berdenyut-denyut lagi waktu itu. Terakhir yang kuingat
adalah kau meninggalkanku di depan gerbangnya.”
Aku tersentak ketika tiba-tiba
tangan Franda menyentuh tanganku dan menggenggamnya, “Kau dapat melalui ini
semua, percayalah. Aku berada di sisimu.”
“Tanganmu hangat,” ucapku seraya
tersenyum ke arahnya. “Terima kasih.”
“Hujannya deras ya?” matanya menatap
guyuran air dari langit. “Lapangan bawah kosong, di sana sudah tak ada orang.
Mau hujan-hujanan?”
Aku tertawa heran, “Serius?”
Ia mengangguk mantap, wajahnya
sumringah.
“Oke!” Aku mengiyakan.
Ia menggenggam tanganku dan
menarikku menuruni tangga. Kami tertawa bersama hingga tumpahan air yang deras
membasahi kami di lapangan. Franda berputar-putar dan aku memegangi tangannya,
ia berteriak senang. Teriakannya sama sekali tidak menggangguku, ajaib.
“Apa kau senang?” tanyaku.
“Aku bahagia.” Ia menghentikan
putarannya dan meloncat mendekap pundakku.
Dari balik tiang Andi mengamati
Franda yang sedang berputar-putar riang. Hujan yang deras sedang menyurutkan
kesedihan gadis itu. Andi bergumam, “Tampak seperti sihir.” Meski ia sadar
jarum-jarum hujan yang sedang membahagiakan sahabatnya adalah jarum-jarum yang
membuat hatinya berdarah.
***
Franda.
“Gadis itu masih hidup.”
“Benarkah? Miranda masih hidup?”
Andi mengangguk, “Ia kritis,
kehilangan banyak darah, tapi nyawanya masih tertolong.”
“Di mana ia? Kembali ke rumah orang
tuanya?”
“Belum. Ia sedang menunggu keputusan
pindah kuliah, seluruh nilainya harus ditransfer lebih dulu. Kini ia tinggal
bersama paman dan bibinya, bulan baru ia akan kembali ke ibu kota.”
“Dari mana semua informasi ini
kaudapat?”
“Temanku adalah kerabat bibinya.
Keluarga Cakranestya tidak ingin berita perampokan itu menyebar begitu banyak,
mereka menimbunnya dengan rapi. Sedikit sekali yang bisa diketahui
orang-orang.”
“Kita harus menemui Miranda.”
“Baiklah, kapan?”
“dua hari lagi?”
Andi mengiyakan.
***
Hujan belum turun tetapi tangannya
sudah dingin. Aku bertanya-tanya apakah memang sedingin ini? Dari sekian jiwa
yang tiba baru kali ini aku ingin merengkuh tangan, hanya pada Allen.
“Tanganmu hangat,” ucapnya. Seperti
waktu itu.
“Tanganmu yang dingin.”
“Oh ya?”
“Ya.”
Kami menghabiskan sisa perjalanan
dengan berdiam diri, entah mau membicarakan apa, tidak banyak yang bisa
diingatnya, apalagi tentang aku. Bis memuntahkan kami di depan sebuah jalan
kecil namun masih bisa dilalui mobil. Kemudian kami berjalan hingga depan
gerbang rumah Allen.
“Tidak ingat?” tanyaku.
Ia menggeleng.
“Kita kemari beberapa hari yang
lalu,” sambungku.
“Lalu bagaimana caranya aku masuk? Adakah
seseorang yang akan membukakan pintu?” Ia melirik ke arahku, ekspresi
keheranannya tampak lucu. Aku suka. Andai saja kamera ponselku bisa
mengabadikannya, pasti sudah kulakukan.
Tanganku menggapai kedua pundak
Allen dan memutarkan tubuhnya hingga benar-benar menghadap gerbang rumahnya.
Setelah itu aku menaikkan kedua telapak tanganku hingga menutupi kedua matanya.
Allen tertawa.
“Pejamkan matamu dan hitunglah
sampai tiga puluh, kau akan masuk.”
“Oh ya?” ia terkikih seolah aku
sedang bergurau.
“Percaya sajalah!”
Ia terpejam dan telah menghitung
sampai lima saat aku melepaskan kedua telapak tanganku dan mengendap pergi.
***
“Itu bukan cinta,” nada bicara Andi
terasa tajam di dadaku.
“Aku tahu. Lebih tahu. Lebih tahu
dari dirimu!” ucapku jengkel.
“Kalau begitu nona, siumanlah! Kau
hanya dipermainkan perasaanmu sendiri. Saat ini dia hanya membutuhkanmu.” Ucap Andi seraya menyandarkan punggung pada kepala
kursi.
“Aku tidak memintamu untuk mengerti
ini, tapi setidaknya dengarkan saja aku. Kau mungkin saja berpikir aku sinting,
memang hanya untuk kasus ini aku memilih tidak waras. Hanya ini kesempatanku
untuk bisa begitu dekat dengannya,” aku merasakan napasku memberat.
Andi mendengus, “Hanya setelah ia…”
“Cukup!” Aku tahu mukaku pasti
memerah.
“Dia tidak lebih nyata dari
bayangan, kau harus terjaga untuk menyadari itu!” Andi berkata sambil menatapku
lekat-lekat meski karena marah aku memalingkan muka darinya. “Aku bicara
seperti ini karena menyayangimu. Aku sahabatmu sejak lama.”
“Kau tidak akan mengerti,” aku
mengembuskan napas dan menggelengkan kepala. “Apakah kau pernah mencintai
seseorang begitu dalam?”
“Pertanyaan itu tidak cocok diajukan
kepadaku.”
***
Seorang laki-laki muda membukakan
pintu untuk kami. Ia bertanya, “Kalian mau bertemu siapa?”
“Miranda Cakranestya tinggal di
sini?” Ujarku.
“Kalian siapa?”
“Kami teman sekelas adiknya.”
“Masuklah,” ucapnya sambil
mempersilakan kami masuk. “Akan kupanggilkan Miranda.”
Aku menghembuskan napas lega.
Sekitar lima menit kemudian seorang gadis berambut panjang agak ikal
menghampiri dan duduk di hadapan kami.
“Kalian teman sekelas Allen? Apa ada
masalah?” Miranda memulai dengan bertanya.
“Sebenarnya aku ingin menceritakan
sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk kauterima,” aku bicara dengan perlahan.
“Apa itu?” Miranda jelas sekali
tampak bingung.
“Aku telah terhubung dengan adikmu.”
“Terhubung? Maksudmu kalian berdua
pacaran?” Alis kiri Miranda sedikit naik.
Aku nyengir, “Aku berharap itu
pernah terjadi.”
Andi kemudian menyenggol lenganku
dengan sikut kanannya seolah memberi tanda, ‘ini bukan waktunya bercanda.’
Aku lanjut berbicara, “Bukan,
maksudku sudah sejak minggu lalu kami berkomunikasi…, di sekolah.”
Bola mata Miranda membulat dan
mulutnya sedikit menganga, “Bagaimana…bisa?”
“Aku punya kemampuan seperti
cenayang, dan adikmu memerlukan bantuan. Entah bagaimana alam seperti mengirim
dia padaku, sudah sejak lama aku bisa menangkap frekuensi orang-orang yang
kukenal kemudian pergi namun tidak membawa serta jawaban atas pertanyaan terbesarnya,”
paparku. ”Seperti adikmu, ia mewujud di hadapanku dan kami baru bisa
berkomunikasi ketika kumemberi pertanda bahwa aku menyadari keberadaannya.”
Seorang wanita berusia sekitar empat
puluhan hadir dan menyajikan tiga cangkir sirup jeruk dan beberapa toples
berisi makanan ringan. Miranda mengucapkan terima kasih kepadanya. Meski
bendungan di mata gadis itu perlahan ambruk namun air mukanya mengentalkan rasa
tidak percaya.
“Benarkah? Rasanya aku sulit
percaya…,” Miranda menggelengkan lehernya perlahan.
“Aku tahu, dan aku sudah
mengatakannya padamu. Ini memang sulit dipercaya. Tapi ini sungguhan,
Miranda….adikmu harus tahu kau masih hidup. Hanya itulah hal yang perlu ia
tahu.” Tiba-tiba saja aku menjulurkan tangan karena ingin sekali menggenggam
kedua tangan Miranda, isakan berat terdengar pelan dari dadanya yang naik
turun. “Semenjak kejadian itu, sudahkah kaukembali ke rumah lagi?”
Miranda menggelengkan kepalanya yang
tertunduk.
Aku menghembuskan napas melalui
mulut, “Kau harus ke sana, itulah cara membuat ia tahu.”
Gadis itu sejenak tampak ragu,
“Maukah kalian menemaniku…sekarang?”
Aku melirik ke arah Andi dan
samar-samar ia mengangguk.
“Baiklah Miranda, sebaiknya kita
memang segera ke sana.”
Miranda tersenyum dan sunggingan
bibir itu mengingatkanku pada seulas senyum milik adiknya, senyum yang
membuatku jatuh cinta. Gadis itu berkata, “Kita bisa pakai mobilku.”
“Bagaimana akhirnya kalian bisa
tinggal berdua di kota ini?”
“Tahun pertamaku kuliah adalah saat
yang sama dengan Allen menginjak sekolah menengah, karena sejak kecil tinggal
dan selalu menyaksikan keramaian ibu kota akhirnya membuat kami memilih untuk
melanjutkan sekolah di kota yang lebih tenang. Kebetulan orang tua kami memiliki sebuah rumah di tepi kota ini,
walaupun aksesnya kurang baik dan jarak tempuh ke sekolah dan ke kampus terasa
jauh namun kami memutuskan untuk tinggal di sana dan merasa lebih tenang dan
sejuk,” kedua lengan Miranda yang mengendalikan setir menegang. “Meski mungkin
keputusan itu adalah hal yang paling kusesali seumur hidupku.”
Tidak
perlu menyesali apa yang telah terjadi, seharusnya aku mungkin bicara
seperti itu. Tapi sepertinya kata-kata itu tidak akan berguna, hanya mencirikan
bahwa kita sama sekali tidak ikut merasakan kesakitan. Aku tersenyum, ngilu. Dada
ini juga pernah mati ketika pertama kali mendengar berita itu.
Rumah itu berdiri, dingin. Kebunnya
yang luas memberikan perasaan senyap dan berjarak. Miranda membuka pintunya dan
memberi isyarat untuk masuk. Udara yang lembab seketika memeluk kami.
“Bagaimana kaupunya kemampuan
seperti itu?” Miranda bertanya kepadaku.
Aku mengangkat ringan kedua bahu,
“Entahlah. Sejak berumur tujuh tahun aku sudah memilikinya, itulah pertama kali
aku bisa berinteraksi dengan jiwa-jiwa seperti adikmu.”
“Bagaimana rasanya?” Miranda
tersenyum. “Berinteraksi dengan mereka?”
“Melelahkan. Energiku rasanya
tersedot dari seluruh sel-sel tubuhku, maaf ini mungkin terdengar berlebihan.
Tapi aku sungguh merasa demikian, komunikasi pada tingkat frekuensi yang
berbeda sepertinya memang menuntut hal itu. Itulah mengapa aku selalu ingin
menolak tiap kali ada jiwa yang tiba, karena kau juga harus merasakan kesakitan
dan penderitaan yang mereka alami. Aku akan menjadi pemurung ketika mengalami
hal ini.” Jelasku. Samar-samar hidungku menangkap bau udara lembab.
“Bagaimana rasanya berinteraksi
dengan adikku?”
Aku tersenyum simpul, “Tidak
terkatakan. Melelahkan namun membahagiakan, kaubisa membayangkan itu?”
Miranda tertawa. Aku senang
melihatnya, sesaat kesedihan memudar dari wajah cantiknya. Ia mendekat dan
meraih pundakku dengan lengan kanannya.
“Jadi sekarang kita harus
bagaimana?” tanyanya sambil menyandarkan pipi kanannya pada pelipisku.
Aku menarik napas dengan cepat,
“Begini Miranda, ada hal-hal yang tak perlu kita usahakan untuk terjadi. Ia
akan tercipta begitu saja.”
Miranda kembali tertawa, “Semacam
cinta?”
“Aku tidak yakin,” Andi tiba-tiba
menyahut.
***
“Apa
yang sebenarnya terjadi?” Tanya Allen dengan menatap nanar pusara di
hadapannya, pusara bertuliskan namanya sendiri.
“Malam itu kaulah yang terbunuh.
Mereka menusukmu di dada dan kau terhuyung menimpa Miranda, darahmu tumpah
padanya. Itulah mengapa kau selalu melihat Miranda berdarah dalam benakmu. Dan
kau pergi dengan keinginan sangat
kuat agar kakakmu selamat, itulah yang membuatmu datang kembali.” Aku menatap wajahnya yang sayu. Aku ingin sekali
memeluknya tapi akal sehatku mengatakan tidak. “Para penjahat itu pergi ketika
mendengar sirine polisi, mereka ketakutan. Tapi sayangnya kau sudah tidak
bernapas.”
Allen mengarahkan pandangannya
kepadaku, “Terima kasih Franda, kau telah sangat menolongku. Melihat Miranda
baik-baik saja kini membuatku tenang. Andai saja aku bisa membalas seluruh
kebaikanmu.”
“Kau bisa membalas kebaikanku,” aku
menundukkan pandangan ke tanah.
“Dengan apa?” Allen bertanya
sungguh-sungguh.
“Biarkan aku mengatakan satu
kalimat.”
Kedua tangan Allen meraih kedua
tanganku. Tatapannya masih saja membuatku membeku, “Katakanlah.”
Saat ini aku hanya ingin balas
menatap matanya lekat-lekat tanpa rasa takut dan berkata, “Aku rasa aku bisa
melihat hantu.”
***
GOOD BYE, ALLEN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar