Rahman,
adik bungsu Ros, menyadari bahwa ia datang terlambat ketika melihat lantai
papan di ruangan gudang telah terbuka. Ia masuk ke rumah Rukmana dengan
menggunakan kunci cadangan yang diberikan Ros beberapa hari yang lalu, namun ia
tak dapat menemukan keponakannya. Sakti telah melarikan diri.
Tanpa
pikir panjang ia pun bergegas untuk menjalankan amanat yang ia terima: menjaga
Sakti. Ros telah berpesan bahwa ini tidak akan menjadi pekerjaan yang mudah,
dan memang ia tidak salah sama sekali.
Rahman
terhenti di pinggir sungai, matanya memicing menyaring cahaya di gelapnya malam
Cimeri, mengira-ngira kemana perginya Sakti. Kaki-kakinya yang besar bergantian
masuk ke dalam aliran sungai dalam langkah-langkah yang lebar, membawanya ke
tepian. Di seberang sana ia menemukan jejak pada semak-semak yang merunduk
bekas diinjak, membentuk sebuah jalur kecil. Mengikuti jalur itulah kini ia
berlari dengan kecepatan penuh. Sepenuh yang bisa ia tempuh di belantara semak
dan akar-akar pohon yang bisa mencuat di mana saja.
Setelah
sekitar sepuluh menit pengejaran akhirnya Rahman melihat sosok yang dari tadi
ia cari sedang berlari dengan kepayahan. Menyaksikan keponakannya yang masih
ingusan itu berusaha kabur dengan segala kebocahannya membuat hati Rahman tiba-tiba
mencelos. Setelah semua hukuman yang ia terima dari Rukmana, masih beruntung Sakti
tak pingsan karena kelaparan, dan Rahman bersyukur karena ia kini telah menemukannya.
Rahman
terpaksa membekap mulut Sakti agar ia tak berteriak, sekaligus mengunci
tubuhnya yang masih berusaha melawan. Rahman tak perlu berusaha keras untuk
menjatuhkan golok yang teracung di tangan Sakti, anak itu sudah terlalu lemah.
Sekujur badannya panas. Rahman bisa merasakan keringat dingin bercucuran di
wajah Sakti. Dan tak lama kemudian akhirnya Sakti tak sadarkan diri.
***
Langkah
Ros terasa semakin ringan setelah ia meninggalkan semua keraguan dan
penyesalannya di pinggir sungai, ia hanyutkan bersama daun-daun yang beguguran
dari dahan-dahan pohon. Kesedihan-kesedihan yang selama ini membebani hatinya
telah ia buang, kemalangan-kemalangan yang terus menghinggapi nasibnya sudah
tak ia perhitungkan lagi. Yang ada dalam pikirannya kini hanyalah Agni.
Ia
harus bertahan demi anak perempuannya. Ia harus selamat. Ia dan anaknya harus
bahagia. Karena itulah, sedikit sisa daya yang ia punya tak boleh dipakai untuk
hal yang sia-sia, seperti menghitung-hitung kemalangan dan nasib sial. Sudah
banyak tenaga yang terkuras ketika menjalani kesusahan-kesusahan itu dulu, tak
perlu lah diingat-ingat lagi ketika semua sudah berlalu, itu hanya akan
menguras peluh. Semua itu tak ada yang perlu.
Yang
Ros dan Agni perlukan saat ini hanyalah sepasang kaki yang kuat berjalan
menembus pohon-pohon. Sepasang mata yang siaga menangkap cahaya, waspada
memindai bahaya, memilih jalan yang paling mudah dan aman bagi mereka berdua. Juga
sebuah hati tanpa malu yang terus meminta pertolongan Tuhan.
Maka
perempuan itu terus berjalan, selangkah demi selangkah. Membawa harapan yang
kini memancar dari dalam hatinya. Harapan yang telah lama padam disiram
kekecewaan kini menyala kembali oleh api yang dibawa oleh kehidupan itu
sendiri. Oleh sebuah nyawa mungil yang terlahir dari dalam rahimnya.
Ia
kini berjalan membawa Agni, api yang menjadi penerang jalannya. Menembus rimba,
melumat jarak, mengabaikan lelah. Ia jadikan aliran sungai sebagai petunjuk
arahnya. Tak terhitung waktu yang telah ia lewatkan untuk berjalan, tapi ia tak
berniat untuk berhenti. Meski telapak kakinya terasa teramat sakit, ia hanya
menggigit bibir. Tak ada waktu untuk mengeluh, tak ada waktu untuk menyerah. Ia
hanya berjalan, berjalan, berjalan.
***
Sakti
mengenakan seragam barunya, kemudian bercermin pada kaca jendela berdebu di
kamar Rahman. Warnanya benar-benar merah dan putih, tidak pucat seperti
seragamnya yang dulu biasa ia pakai. Kainnya masih terasa agak kasar di kulit. Sakti
mengendus-endus kain yang ia pakai itu, benar-benar beraroma khas baju baru. Suara
musik dangdut terdengar dari kamar sebelah. Rahman sedang keluar membeli
sarapan.
Setelah
merapikan rambut, Sakti mengeluarkan sehelai kain dari bawah tumpukan beberapa
helai baju dalam lemari. Sebuah saputangan putih berhiaskan sulaman
warna-warni. Ia pandangi saputangan itu dengan matanya yang coklat dan mungil.
Tiga
bulan telah berlalu sejak ia dibawa pergi oleh Rahman. Mereka meninggalkan
Cimeri dan pindah ke tempat ini. Sebuah tempat yang jauh berbeda dengan
tempat tinggalnya dulu. Di sini ada banyak sekali rumah-rumah. Jalanan selalu ramai
dengan mobil-mobil dan motor berbagai jenis, warna dan ukuran. Jalanannya pun
terbuat dari aspal yang permukaannya halus bukan batu-batu kali seperti jalan
menuju Cimeri. Oh, ya, di dekat kontrakan Rahman, Sakti bahkan bisa melihat
kereta api.
Rahman
pulang membawa dua bungkus nasi kuning. Rahman telihat gagah memakai kemeja
berwarna putih dengan celana hitam panjang yang terlihat mahal dan bersih.
Tidak kotor seperti pakaian para pekerja perkebunan. Mereka berdua makan dengan
lahap.
Kerinduan
tak pernah sedikit pun beranjak dari dada mereka, tapi mulut mereka tak pernah
membicarakannya. Setelah semua usaha untuk mencari kabar berujung gagal, mereka
sepakat untuk melanjutkan hidup sambil tutup mulut. Membicarakan kesedihan tak
akan membuatnya menghilang atau menjadi lebih ringan. Rahman mendapatkan
pekerjaan dan Sakti didaftarkan ke sekolah dasar. Rahman bekerja, Sakti
belajar. Matahari terbit dan tenggelam. Bukan sebagai usaha untuk lupa, tapi
semata-mata karena hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam pencarian yang
sia-sia. Kehidupan yang sempat terhenti kini dimulai kembali, di tempat baru,
bersama orang-orang baru, meski ia yang memilih hilang, selamanya tak akan
pernah terganti.
***
Seperti
yang telah ia janjikan kepada dirinya sendiri, ia baru akan menangis jika telah
sampai pada tujuan. Maka ketika ia berdiri memandang hangat fajar yang menyala
jingga di balik pegunungan nun jauh di sana, barulah ia jatuh terduduk di atas
rumput.
Matanya
menyapu pandangan pada lampu-lampu yang menyala di bawah sana. Atap-atap rumah
dengan genting berlumut, asap-asap yang mengepul dari dapur-dapur warung dan
satu dua kendaraan yang berlalu lintas di jalan membuat hatinya tenang. Ia
telah sampai.
Perjalanan
sepuluh hari di dalam hutan kini telah berakhir. Air matanya ia biarkan keluar
membanjir. Sedangkan bibirnya yang kering itu tersenyum lebar hingga
gigi-giginya yang berjajar rapi terlihat dengan begitu jelas. Ia tertawa sambil
menangis. Ia bersyukur melalui air mata.
Dengan
girang ia angkat bayinya tinggi-tinggi. Ia hadapkan wajah Agni ke arah fajar.
Juga ke arah perkampungan.
“Kita
selamat, nak!”
***
Sedikit ucapan:
Terima kasih bagi teman-teman yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca Rosvati dari bagian pertama hingga bagian kelima--yang akan menjadi bagian terakhir cerita bersambung Rosvati di Blog Kawah Sastra. Senang sekali rasanya jika sedikit penggalan cerita mengenai Ros, Sakti dan Agni bisa dinikmati anda semua. Mohon maaf atas segala kekurangan penulis yang menyebabkan ketidaknyamanan anda dalam membaca cerita ini. Sekali lagi, mohon maaf dan terima kasih.
Rosvati sendiri akan tetap hidup dan berjuang dengan harapan bisa berkembang menjadi sebuah naskah novel yang utuh dan dapat kembali dinikmati oleh pembaca. Semoga harapan ini dapat terlaksana dalam penantian paling singkat.
Sekali lagi, terima kasih banyak. Salam dari Ros, Sakti dan Agni.
Ahhhh tamat:(
BalasHapusTakut pada bosen soalnya. Ditunggu sekali masukan dan kritikannya. :D
BalasHapus