Berkorban : Kata yang Kurobek dari Kamusku


Ketika berbicara tentang berkorban pikiran kita pasti akan menangkap sesuatu yang tercium begitu heroik, tentang keringat yang rela diperas seperti kita hendak menjemur handuk, atau darah yang mengalir hingga membuat pucat. Namun berkorban tentu saja tidak selamanya tentang keringat dan darah, banyak hal yang tidak bisa diraba bagai materi namun juga merupakan wujud pengorbanan yang tak kalah masif. Waktu, pikiran, perasaan, bahkan masa depan, cita-cita, prinsip juga adalah komponen yang seringkali manusia korbankan dalam hidup, entah untuk orangtua, pasangan, anak-anak, pendidikan, karir, bahkan kemanusiaan. Pengorbanan semacam ini tentu saja terdengar amat suci, jauh dari noda, dan begitu tulus.

Sejenak saja kita menjenguk KBBI[1] maka akan kita jumpai arti dari kata ‘berkorban’, yaitu menyatakan kebaktian, kesetiaan, dsb; menjadi korban; menderita (rugi dsb); Berkorban walaupun terdengar sesejuk angin surgawi namun tetap saja terasa sakit, penuh derita, berkurangnya kesenangan dan kehilangan. Hingga seringkali orang yang berkorban memandang hasil baik dari pengorbanannya dengan senyum yang berbingkai air mata, proses penuh kesakitan yang dilaluinya selama ini ternyata berbuah manis juga.

Saya tergelitik ketika membaca buku berjudul Rich dad, Poor Dad-nya Robert. T Kiyosaki, ketika ayah miskinnya ditanya mengapa ia miskin? Maka ia menjawab, “Karena ayah punya kamu.” Jawaban realistis ini tentu saja sesuai dengan kondisi mayoritas orangtua yang berkurang himpunan hartanya untuk membesarkan, menyekolahkan, dan memenuhi keinginan anak. Tak heran sudah terpatri dalam benak masyarakat bahwa orangtua akan berkorban segalanya bagi anak-anak mereka. Namun ketika Kiyosaki bertanya pada ayah kayanya mengapa ia kaya? Maka ayah kayanya menjawab, “Karena ayah punya kamu.”

Menilik dua alasan yang sama namun memberikan efek yang berbeda pada dua pertanyaan di atas seharusnya membuat kita curiga dan berusaha mengorek apa yang sebenarnya terjadi dibalik pengorbanan. Mengapa kita masih saja dituntut untuk merasa lelah, sakit, kekurangan, dan kehilangan untuk mencapai sesuatu? Membuktikan cinta dan kasih sayang? Bahkan untuk menuju kekekalan yang membahagiakan kelak? Tidak bisakah kita merasakan proses yang manis untuk mendapatkan hasil yang lebih manis ketimbang terus-menerus berpikir bahwa perjuangan yang berat, terjal, dan berliku adalah satu-satunya cara untuk bisa menelan madu kesuksesan? Nyatanya buah yang manis justru didapat dari bibit yang baik, pupuk yang berkualitas, dan tanah yang subur bukan dari tanah yang diterjang badai.

Ayah kaya Kiyosaki jelas memahami ini, bahwa cara terbaik untuk mendukung kesuksesan anaknya secara finansial adalah dengan menjadi kaya, sederhana saja karena anak-anak perlu makanan, pendidikan, dan fasilitas yang baik untuk perkembangan mereka. Dalam membesarkan anak-anaknya ayah kaya Kiyosaki tidak merasa berkorban, kepayahan, dan menderita karena ia juga menikmati proses menjadi kaya, tersenyum ketika mampu menyekolahkan anaknya ke tempat terbaik, dan melihat keluarganya hidup dalam kesejahteraan. Bayangkan jika ayah kaya Kiyosaki ‘hanya’ memutuskan untuk berkorban demi keluarga, bekerja siang dan malam dengan penghasilan yang merana, mengumpulkan sen demi sen untuk mencukupi kebutuhan yang tidak pernah tercukupi persis seperti yang dilakukan oleh ayah miskin-nya. Alasan yang sama, anak; bisa menjadikan seseorang terbakar semangatnya untuk meraih pencapaian atau justru tenggelam pada alur pengorbanan yang menyesakkan. Kemungkinan mengerikan dalam hal ini; ayah kaya Kiyosaki lebih baik dalam mengantarkan anak-anaknya pada keberhasilan di masa depan ketimbang ayah miskinnya yang begitu merasa kepayahan dalam berkorban.

Saya tidak sedang bicara sarkas ataupun meninggikan materi, tidak. Saya hanya ingin mengajak untuk merenung, sebegitu agungkah berkorban sehingga harus sekali kita lakukan? Seperti yang sudah disinggung di awal, berkorban bagaimana pun akan menimbulkan perasaan lelah, payah, dikurangi, diambil, dicerabut, hal itu bukankah justru hanya akan membuat kita merendah (baca : menjadi rendah) karena hanya bisa memberikan apa yang ada pada diri hingga terpotong-potong, berkurang, dan lenyap sama sekali. Idealnya daripada berkorban mengapa kita tidak berusaha menjadikan diri mampu, mungkin akan                                            sama-sama berkeringat atau bahkan juga berdarah, tetapi menjadikan diri mampu akan mengangkat kita ke atas bukan sebaliknya.

Berkorban dibandingkan dengan menjadikan diri mampu ternyata bisa memiliki alasan yang sama, bahkan tindakan yang diambil pun bisa jadi serupa. Ayah miskin Kiyosaki bekerja seharian, ayah kaya Kiyosaki mungkin saja hanya sedikit tidur untuk mengurusi bisnisnya, namun perbedaan paling mendasar bisa diamati dari sini yaitu adanya perbedaan mind set yang lanjutnya akan memengaruhi heart set.

Mind set orang-orang yang berkorban hanya dipenuhi oleh pikiran ‘berikan segalanya hingga tak tersisa’ lalu otaknya akan mengirimkan sinyal berupa perasaan ciut, lelah, hilang dsb. Sedangkan orang-orang yang menjadikan diri mampu memiliki mind set ‘tingkatkan dirimu tanpa sisa hingga kaubisa memberikan segalanya’ maka heart set-nya pun akan merasakan semangat, kekuatan, dan optimisme sehingga dalam lika-likunya ia akan menikmati perjalanan bukan mengutuk kerikil.

Berkorban tidak pernah bisa menjadi tempat bertumbuh, berkorban juga mustahil berbanding lurus dengan berbahagia dalam prosesnya. Jiwa yang tidak berbahagia tidak bisa seutuhnya membahagiakan orang lain, padahal jika kita geser sedikit saja mind set kita dari berkorban menuju memberikan kesempatan kepada diri untuk bertumbuh maka kita berpotensi mendapat dua keuntungan sekaligus yaitu memperoleh tujuan dari berkorban dan mengalami ekskalasi diri. Singkatnya pembeda utama dari berkorban dengan menjadikan diri mampu adalah rasa dan hasil yang diperoleh. Berkorban hanya memunculkan rasa yang tidak mengenakkan dan tanpa peningkatan kualitas diri. Sedangkan menjadikan diri kita layak memberi lebih justru menumbuhkan perasaan mampu, berdaya, dan bahagia.

Memilih menjadikan diri mampu untuk memberi lebih, membahagiakan orang lain, dan mencapai tujuan hidup serta mendapatkan apa yang dinginkan adalah cara terbaik dalam merobek kata berkorban dalam kamus kehidupan. Ingatlah berkorban hanya dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya harus menjadi korban.
--------------------------------------------------
Penulis : Aya Sofi Rumaisha
Silakan saja untuk tidak setuju dengan tulisan ini karena tulisan ini bukan sebuah mosi yang harus disetujui, haha. Tulisan ini cuma 'pelampiasan' penulis atas pemikiran yang entah bagaimana caranya harus dimuntahkan oleh otak daripada dia terus berputar-putar dan menjadi mual.



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia

1 komentar:

  1. Membaca tulisan ini mengingatkan saya pada quotes dari Mother Theresa: "I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love."

    Dan jadi kepingin baca buku Richd Dad, Poor Dad. Hihi.

    BalasHapus