Dandelion


         


         Banyak orang bilang, kalau orang yang paling baik untuk jadi pasangan kita, adalah dia yang pernah ada di masa lalu kita, yang saat ini bersama kita, dan yang akan jadi masa depan kita. Mungkin itu kenapa mereka berdua masih bersama, sepasang keturunan Adam dan Hawa yang saling cinta namun selalu terhalang untuk bersama. Ini kisah mereka berdua, kala mereka belum mengenal kata cinta, kala mereka menangis karena berebut ayunan, bukan karena berdebat soal mantan, kala mereka masih seputih kertas tanpa ada goresan tinta peluka yang mengotorinya, Deli dan Garry kembali kala pertama kali mata mereka saling menatapi.
Siang itu, pertengahan bulan Mei, kala hujan sangat jarang untuk dijumpai, sesosok anak laki-laki dengan baju yang kotor dengan debu dan tanah, duduk di ayunan depan kelas taman kanak-kanaknya yang menggoyang tidak terlalu cepat namun tidak terlalu lambat juga, tatapannya tajam, memperhatikan teman-teman yang sudah dijemput oleh orang tuanya, tatapan itu terlalu tajam untuk wajah polos lucunya. Pipi chuby, mata belo, kulit putih, dan bulu mata yang melentik turunan dari ibunya, membuat dia jadi terlihat tampan dari pada teman-teman seusianya yang sebagian besar kulitnya coklat terbakar matahari. Bibirnya cemberut, jidatnya mengkerut, sekolah sudah sangat sepi, hanya tinggal beberapa anak-anak yang ada disini, ibunya tak kunjung datang, mungkin itu yang membuat wajah tampannya terselimuti rasa kesal, wajarlah anak kecil.
Tapi memang orang tuanya terlalu sibuk, terkadang ia hanya dijemput sopir, atau terkadang gurunya yang mengantarkan ia ke rumah. Mungkin itu juga yang membuat ia tak seramah teman-teman sebayanya. Kadang dia tidak mau bergantian bermain ayunan, atau kadang ia melayangkan tinju pada anak yang tidak mau turun dari ayunan, dia terlalu banyak berkelahi untuk anak seusianya, memang tidak selalu menang, namun dia tidak pernah takut, baginya lari adalah perbuatan paling hina.
Saat ini pandangannya tertunduk ke bawah, ayunan itu mulai berhenti bergoyang, dalam pikirannya dia tidak dapat membayangkan kalau hari ini dia akan diantar lagi oleh ibu gurunya ke rumah, bukan dijemput ibunya.
          “Permisi.”
Suara itu merubah posisi kepalanya yang menunduk jadi tegap ke depan, tatapan tajam itu memperhatikan anak perempuan dengan seragam sekolah yang sama, rambut pendek, wajahnya yang tidak jauh putih dengannya, dan tas dorong (koper mini) warna marah muda dengan motif barbie, disimpan dipinggir tubuhnya.
Anak laki-laki ini hanya menatapnya tanpa menjawab salam hangat dari anak perempuan yang berada di depannya.
          “Main ayunannya gantian boleh?” ucap anak perempuan itu malu-malu.
Dalam hati anak laki-laki ini pasti berkata “Siapa perempuan lancang ini, berani sekali dia memintaku berbagi ayunan, tidak bisa! Ucapkan itu dalam mimpimu nona!”
          “Tidak boleh!” Ucap anak laki-laki itu ketus.
          “Ih kok gak boleh, ini juga ayunan siapa hok?” Ucap anak perempuan itu mendebat.
          “Punya aku!” ucap anak laki-laki itu polos.
          “Bukan da punya sekolah!” anak perempuan itu mendebat sambil memeletkan lidahnya kali ini.
Kejadian selanjutnya, anak perempuan itu lari dan mendorong si anak laki-laki, tapi dorongan itu terlalu lemah, anak laki-laki itu tidak bergeming dari ayunannya, justru kini ia berdiri dan mendorong si anak perempuan sampai tersungkur jatuh.
          “bu guru!!!” si anak perempuan menangis, sambil membawa koper mininya menuju ruang guru sekolah itu.
Anak laki-laki itu benar-benar ketakutan, beruntunglah saat itu ibunya datang menjemput, anak laki-laki itu buru-buru berlari menuju ibunya dan langsung meminta pulang, padahal tadinya ibu anak laki-laki itu mau pamitan, namun anak laki-laki itu mengatakan bahwa tadi dia sudah pamitan pada gurunya. Di rumah, perasaan bersalah itu terus menghantui anak laki-laki itu, sejak saat itu dia bertekad untuk meminta maaf pada perempuan pertama yang ia buat menangis.
          Besoknya di sekolah, seperti biasa anak laki-laki itu dijemput paling terakhir, tapi anak perempuan yang ia buat tersungkur tidak ada, bahkan di hari-hari berikutnya pun seperti itu, perempuan itu tetap tidak ada. Rasa bersalah semakin menyelimuti anak laki-laki itu, pikiran bahwa anak perempuan itu bisa mati hanya karena sebuah dorongan pelan, terus menyelimuti imajinasinya.
Hingga pada akhirnya, di suatu sabtu sore, sepulang sekolah, anak laki-laki itu melihat sesosok perempuan yang ia buat jatuh tersungkur, anak perempuan dengan rambut pendek dan koper mini merah mudanya. Kali ini tujuannya bukan ayunan yang sering dimainkan anak laki-laki itu lagi, tapi ayunan untuk dua orang, yang menurut anak laki-laki itu, ayunan itu tidak cocok untuknya, karena dia jadi tidak bisa naik ayunan dengan gaya berdiri kalau pakai ayunan itu.
Kali ini keadaan berbalik, si anak perempuan yang terlihat ketus, dan anak laki-laki itu terlihat menyedihkan dengan wajah penuh bersalahnya. Perlahan anak laki-laki itu berjalan mendekati si anak perempuan, si anak perempuan terus memandanginya dengan bibirnya yang cembrut dan jidatnya yang mengkerut, baru mau mengucap sebuah kata “maaf” bibir anak perempuan itu sudah terbuka duluan.
          “Mau ngapain kamu ke sini? Mau buat aku jatuh lagi ya?” ternyata dari dulu anak TK sudah belajar pertanyaan retoris.
          “B-bukan.” Jawab anak laki-laki itu gugup
          “Sudah ah, kata mamah, aku gak boleh deket sama anak nakal kaya kamu.” Ucap si anak perempuan.
 Si anak perempuan kemudian pergi meninggalkan ayunan itu, si anak laki-laki tidak menyerah, dia mengejarnya, namun si anak perempuan yang merasa dikejar, dia mempercepat langkahnya dan mulai berlari, namun apa yang terjadi, sepatunya tersandung batu, dan akhirnya anak perempuan itu jatuh dan menangis, si anak laki-laki itu panik, sudah dua kali dia membuat anak perempuan ini menangis, lalu dia berlari ke warung, si anak perempuan menangis dan menatapnya aneh. Tak lama anak laki-laki itu membawa plester, anak laki-laki itu lalu menjilat jempolnya, dan mengeluskannya ke lutut si anak perempuan yang terluka, lalu menempelkan plesternya. Si anak perempuan hanya meringis kesakitan.
          “Kamu kuat jalan?” ucap si anak laki-laki
Si anak perempuan mengangguk, kini dia sudah mulai berhenti menangis, anak laki-laki itu membawa anak perempuan itu duduk di ayunan yang biasa ia mainkan setelah pulang sekolah, kala menunggu orang tuanya menjemput.
          “Kamu jangan nangis, kan ayunannya sudah aku kasih.” Ucap anak laki-laki itu lembut.
Kini anak laki-laki itu berjalan ke belakang dan mulai mendorong ayuannya.
          “Pegangan yang erat.” Ucap anak laki-laki itu.
Lama-kelamaan dorongan dan ayunan, mulai disertai dengan tawa dan kebahagiaan, suasana menjadi hangat, mereka mulai mengobrol meski tak tahu nama masing-masing.
          “Kamu baru ya main ayunan, tapi cuman jadi yang dorong doang.” tanya si anak perempuan.
Si anak laki-laki hanya mengangguk.
          “Aku sukanya naik ayunan itu sambil berdiri, terus orang lain dorongin.” Balas si anak laki-laki. Lalu keduanya mulai hangat dan berbincang, mulai dari kartun apa saja yang mereka suka lihat di televisi, makanan kesukaan, jajanan yang pernah dibeli, dan pernah dapat hadiah apa saja dari chiki jaguar.
          “Deli.”
          “Garry.”
Keduanya menengok ke sumber suara, kedua orang tua mereka sudah ada disana dengan senyuman manis dibibirnya. Sebelum mereka pergi ke orang tuanya masing-masing, Deli memetik sebuah bunga dengan bulu putih yang hampir tehempas angin di taman sekitar mereka bermain, lalu Deli memberikan bunga itu pada Garry.
          “Apa ini?” tanya Garry.
          “Ini benih bunga Dandelion, Kata ibuku, kalau kita bisikin sesuatu ke dia lalu meniupnya, bunga Dandelion itu bakal terbang dan nyampein pesan pada orang yang kita tuju.” Jawab Deli panjang lebar, syukurlah Garry mengerti.
Deli tersenyum dan berlari menjauh bersama ibunya, Garry hanya diam melihat senyum Deli, dia terkesima, sangat tidak normal untuk anak TK.
          “Eh tunggu, kita belum  berkenalan, namaku Garry, nama kamu siapa?” Teriak Garry, namun Deli sudah terlalu jauh untuk dikejar, tapi suaranya masih bisa terdengar
Deli berbalik ke arah Garry berhenti sejenak dan berteriak
          “Dandelion.” Teriak Deli.
          “Bukan bunga ini, nama kamu siapa?” pertanyaan itu tidak terjawab karena Deli sudah jauh, dan menaiki mobil, namun Garry tidak hilang akal, diambilnya bunga Dandelion yang di berikan Deli, lalu dia bisikan
          “Aku harap kita bisa bermain ayunan berdua lagi.” Sambil meniup bunga Dandelion yang  segera mengantarkan pesan, bersama angin sebagai penunjuk arahnya, dan hatimu sebagai alamatnya.
TAMAT

Note: Dandelion adalah benih bunga penjelajah dunia yang sebarkan pesan asmara

Penulis: (noe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar