Aku terlalu larut menyaksikan sepatu merah
yang berjalan berlalu. Sepatu kets dengan tali berwarna putih. Terlihat awet
walaupun sering dipakai si empunya. Sepatu yang menggambarkan petualangan,
dengan percaya diri. Merah berarti berani. Bagiku menggairahkan. Si empunya
pastilah gadis yang senang berjalan jauh daripada naik kendaraan. Gadis idealis
yang cinta akan lingkungan. Aku bertaruh dia bukanlah gadis manja.
Dari
caranya berjalan dia mudah membuat keputusan, mudah pula menyesalinya. Dia
benci memakai hak tinggi karena tak ingin mengambil risiko. Baginya cantik tak perlu dari
penampilan. Caranya berjalan itu anggun, namun tegas hingga tak ada yang mau
mengganggu.
Ukuran
sepatunya 38 berarti umurnya 17 tahun dan dia sudah berkuliah, karena tak
mungkin pergi kuliah memakai sepatu hak tinggi. Tak mungkin anak sekolah
berkeliaran di jam segini. Sepatunya berwarna merah dan anak sekolahan tidak
boleh memakai sepatu selain warna hitam putih. Dia kuliah di jurusan seni rupa,
karena ada bekas cat di antara
tangannya. Cat merah yang ia pikir sangat serasi dengan sepatunya.
“Kau
bisa membuat deduksi, ya?” temanku bertanya dari sebelah. Tanpa sadar aku
menyuarakan apa yang ada dalam pikiran.
“Gadis
itu penggemar berat Pablo Picasco, tapi ia selalu berpikir dirinya berbakat di
aliran surealisme. Merah adalah warna wajib dalam setiap karyanya. Dia akan
marah kalau kau mencampurkan warna merah dengan warna hitam, dia pikir merah
itu alami. Setiap manusia memiliki warna merah dalam dirinya; darah. Merah itu
kebencian, namun juga cinta. Dia sangat manis jika menjelaskan hal itu dengan
menggebu. Dia baru-baru ini putus dengan pacarnya. Dia yang memutuskan karena
pacarnya mencampurkan warna merah dengan hitam tanpa sengaja. Itu membuat
hidupnya berantakan, ujarnya.”
“Haha, konyol! Cukup, kau terlalu
banyak menebak, kau seperti membuat-buat karakter! Kalau gadis itu mendengar,
ia bisa marah!” Tambah temanku sambil sedikit tertawa.
Aku
tersenyum dengan asam, lebih asam daripada jeruk nipis tambah cuka.
“Akhirnya
mereka berjalan berjauhan, tak saling bertanya jika berpapasan. Oh sungguh, persetanlah
dengan warna merah.”
“Maksudmu?”
“Dia itu mantan pacarku, aku
mengetahui sedikit banyak dari dirinya.”
Hening.
Gadis itu bukan gadis terkaan yang aku
asal buat karakternya. Teman di sebelahku pun ikut mengamati perginya si
empunya sepatu merah. Seakan tahu perihnya aku saat aku kehilangan merahku.
Merah tak boleh dicampur warna hitam.
Kenapa?
Kau tak akan menemukan perbedaan benci
dengan cinta di sana.
***
Rosi Risalah P.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar