Pesan Rindu Jam 2 Pagi





Seperti malam-malam sebelum ini, saya terbangun dini hari. Jam dinding itu, yang selalu setia berdetak walau tak ada yang melihat, lurus menunjuk angka dua. Udara terasa dingin bukan main. Punggung saya terasa sakit karena tertidur di lantai tanpa memakai alas. Saya bergegas bangkit menuju dapur, mengambil cangkir lalu menyeduh kopi.

Seperti malam-malam sebelum ini, saya senang terbangun dini hari. Ketika malam telah benar-benar sepi, ketika kodok-kodok dan jangkrik pun telah pulas terbuai mimpi. Hanya ada saya, secangkir kopi panas dan suara jam dinding yang tetap setia berdetak walau tak ada yang melihat. Ketika itulah saya bisa leluasa untuk telanjang. Melucuti topeng-topeng yang sepanjang hari saya pasang. 

Saya mulai melepas sekrup-sekrup senyum, membiarkan sudut-sudut bibir saya perlahan turun. Saya mulai meredupkan binar mata, mengijinkannya menjadi sendu. Saya mulai berhenti menopang dagu dan merelakannya jatuh tertunduk. Dan yang paling penting, saya mulai merobohkan tembok-tembok penghalang dalam kepala saya, merestuinya untuk kembali ingat setelah sepanjang hari saya paksa untuk berpura-pura lupa.

Ketika siang masih benderang, saya tak pernah punya waktu untuk berterus terang. Saya tak bisa menjadi lemah dan hanyut dalam perasaan. Saya harus setia pada waktu yang terus berdetak tanpa menunggu perintah siapa-siapa. Pada zaman yang terus melaju tanpa tahu ampun, tanpa peduli pada rintih masa lalu yang tak ingin disekap dalam ruang bisu. Saya harus tetap berfungsi menjalankan pekerjaan-pekerjaan selayaknya orang-orang normal. Kemana-mana membawa senyum atas nama pencitraan, karena orang-orang hanya boleh tahu saya dalam keadaan bahagia, siap melayani semua urusan pekerjaan selama dua puluh empat jam, hanya dengan cara itu saya bisa bertahan. Tak ada yang mau berdagang dengan orang yang masih sibuk dengan urusan perasaan. Dalam dunia yang sesibuk ini tak ada ruang yang tersisa bagi duka dan kesedihan, padahal mereka bagian dari manusia juga, bukan?

Karena itulah, seperti malam-malam sebelum ini, saya senang terbangun dini hari. Karena saya bisa telanjang tanpa beban, melucuti topeng-topeng yang sepanjang hari saya pasang, untuk mulai berterus terang, setidaknya pada bayangan saya sendiri. Karena saya bisa merayakan apa-apa yang sebelumnya tak bisa saya rasakan. Duka, kesedihan, dan kerinduan.

Baru saat itu kamu bisa sepenuhnya datang. Menjelma menjadi ilusi yang bisa dengan leluasa saya percaya tanpa perlu khawatir tentang dunia nyata. Saya betah di sini. Di mana batas antara masa kini dan masa lalu menjadi sedemikian saru. Seolah hanya dihalangi sebuah gerbang tak berdaun pintu. Saya dan kamu bisa saling berinteraksi. Dalam bahasa dan cara yang tak perlu dimengerti, atau diamini. Oleh dunia yang sudah lupa pada pentingnya hati. Hanya peduli pada angka-angka yang dilibatkan dalam transaksi. Setiap napasnya dijejali jual-beli.

Di dunia itulah saya tertinggal. Dan di sanalah kita terpisah. Karena kamu telah lebih dulu menemukannya.  Sebuah dunia yang membuatmu terpana dan lupa pada kesenangan versi kita. Kita jadi tidak cocok lagi. Yang saya suka menjadi hal yang kamu benci. Yang saya kagumi menjadi hal yang membuatmu jijik. Yang saya syukuri menjadi hal yang kamu sesali. Padahal dulu, saya pun kamu yang ajari.

Ketika itu, kamu tak tertarik untuk menunggu. Kamu meninggalkan saya yang masih belum bisa melihat apa yang kamu lihat. Apalagi merasakan apa yang kamu rasakan. Kamu meninggalkan saya yang masih belum mengerti apa yang terjadi. Tentang apa yang tiba-tiba membuatmu terasa lebih asing dari salju yang turun di tengah gurun.

Daripada membimbing saya berlajan menuju apa yang kamu lihat sebagai cahaya terang, kamu lebih memilih untuk buru-buru menyeberang. Melalui jembatan yang sampai sekarang masih belum saya temukan.

Saya masih terikat di sebuah dunia yang memberikan kehidupan dengan cara mencekik leher para penghuninya. Saya terpasung dalam dunia yang dipenuhi para saudagar. Semua hal ditakar dan dihargai dengan tarif yang kadang tak bisa ditawar-tawar.  Saya menjadi palsu, sepalsu bahagia yang saya kejar sepanjang waktu. Tak ada lagi masa tersisa bagi saya untuk mencari jalan agar bisa menyusul kamu.

Oleh karena itu, meski saya hanya bisa bertemu dengan ilusi kamu yang saya buat sendiri, saya tetap ingin bilang:

"Saya kangen makan cakue hangat jam dua pagi. Tapi harus saya akui, surga menawarkan banyak hal yang lebih menyenangkan untuk dilakukan ketimbang sekedar makan cakue hangat jam dua pagi. Mungkin karena itulah saya kehilangan teman makan cakue hangat jam dua pagi.

Sampaikan salam saya pada-Nya, jika memang di sana kamu menemukan apa yang membuat kamu meninggalkan saya."




2015, Desember 13. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar