Namaku Lakuna, dan aku perempuan.
Menjadi perempuan itu tidak mudah.
Perempuan selalu terkekang oleh norma-norma keluarga
yang terlalu kaku, terkurung oleh peraturan-peraturan semu namun tabu. Seakan
terperangkap dalam penjara tak kasat mata.
Tak seperti laki-laki yang bisa melakukan hal-hal
sederhana tanpa batas ruang ataupun waktu. Mereka bisa membicarakan semua
keresahan tanpa batasan malu maupun ragu.
Semesta tak pernah mempercayai perempuan dalam banyak
hal. Semesta lebih percaya pada laki-laki sebagai pemimpin, sebagai otak dalam
segala hal. Agama bahkan mempercayai laki-laki sebagai pemimpin, pendeta dan
paus adalah lelaki. Nabi dan rosul juga lelaki. Bahkan mayoritas pemimpin negara
juga lelaki.
Mereka seakan lupa bahwa Joan Of Arc yang merebut kembali
tanah Prancis dari Inggris adalah perempuan. Mereka tak tahu bahwa logam
merkuri diambil dari penemunya, perempuan bernama Marry Currie.
Semesta memang kadang tak pernah menganggap kita ada. Kita
diperlakukan layaknya ‘anak bawang’ dalam permainan petak umpet. Kita hanya
berlari bersembunyi merasa bahwa kita adalah bagian dari permainan, sebenarnya
tak pernah ada yang menganggap kita benar-benar bermain.
Apakah kita hanya budak para lelaki?
Entahlah.
Kekerasan terhadap perempuan masih menjalar di sepanjang
lekuk tubuh Bumi. Ketidakadilan terhadap perempuan sudah mendarah daging dari
masa ke masa.
Para Adam selalu
menganggap Hawa adalah pengacau karena tergoda oleh buah terlarang, menyebabkan
kita semua terusir dari Surga, dan terdampar di Bumi antah-berantah ini.
Pembakaran perempuan sudah biasa pada jaman
pertengahan, laki-laki menganggap kita adalah penyihir, dan membakar kita
sampai hanya menjadi abu. Eropa Timur masih saja melakukan perdagangan
perempuan, menganggap kita adalah barang berharga yang mungkin bisa saja
ditawar.
Sedangkan Afrika masih melakukan perbudakan perempuan. Sementara
itu di seluruh seluk Beluk bumi pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan
sedang terjadi.
Padahal, kita tak pernah berdoa pada Tuhan untuk
dilahirkan sebagai perempuan.
Jika saja kita adalah lelaki, yang bisa dengan enaknya
menguasai setiap inci kepercayaan, yang tak terkekang oleh aturan dan norma
yang kejelasannya tak bisa dipahami, yang dalam pikirannya takkan ada hal-hal
rumit seperti lipstik dan teman-temannya, yang tak peduli pada omong kosong
soal keindahan dan kecantikan luar, yang takkan pernah merasa kesakitan
melahirkan.
Semua hal ini, membuatku bertanya.
Apa hakekat utama dari eksistensi perempuan di Semesta
ini?
(Namaku Lakuna, kepingan puzzle terakhir, yang kadang terlupakan tapi
menyempurnakan. Akulah perempuan).
TAMAT