Tulisan
ini sebenarnya hanyalah sedikit dari pengalaman saya dan refleksi atas apa yang
saya analogikan mengenai ketiganya. Ya, jurusan kuliah, rancangan percobaan,
dan agama. Tulisan ini akan sederhana saja, sepraktis apa yang menjadi dasar
pemikiran saya. Semoga tulisan ini bisa menjadi cemilan ringan setelah makan
berat ya.
Saya tidak tahu mulanya gagasan ini
muncul dari mana, siapa yang mengemukakan, hingga sering saya dapati pada
status-status di media sosial tapi saya sendiri menemukannya dalam film PK yang
diproduksi pada tahun 2014 dan dibintangi oleh Aamir Khan, bahwa unsur-unsur
dasar yang menjadi identitas kita ditentukan beberapa menit setelah kelahiran
kita seperti nama, kewarganegaraan, bahkan agama dan hal-hal inilah yang
melekat sepanjang hidup kita bahkan kita bela hingga mati. Padahal identitas
tersebut dilekatkan kepada kita jauh sebelum kita memiliki kemampuan untuk
memilih, namun kebanyakan dari kita percaya bahwa identitas itu memang yang
harus kita kenakan sepanjang hayat. Begitu?
Karya : Grace
Berada dalam kehidupan
Namun, tak merasakan hidup
Bahkan tak tahu
Apa itu hidup?
Apa hidup hanya bernapas?
Atau, makan juga bergerak?
Katanya, kehidupan tak akan bersua
Bila tidak ada sosialisasi
Yah... Itu yang selalu terdengar
Karya : Yosep Hendry
Gambar : Google
Malam ini bintang terlihat jelas
seakan-akan mendukungku untuk menikmatinya, bulan berwarna kuning cerah memberi
cahaya pada orang-orang berlalu lalang berpasang-pasangan, dan kepada
orang-orang yang sendiri tanpa kepastian.
Pedagang
yang ikut meramaikan malam ini diantaranya mereka berdagang
menjajakan souvenir untuk orang-orang yang sedang memadu kasih, ada
juga yang berdagang makanan yang khusus untuk di nikmati berdua salah satunya
martabak cinta ; sebuah martabak manis yang berbentuk hati dan biasanya ini di
sajikan hanya untuk dua orang.
Di jembatan ini banyak sekali
pasangan-pasangan yang berkeliaran, mereka bergandengan tangan kadang juga
saling merangkul. Aku melihat ada mereka mengobrol dan kertawa-ketawa, ada juga
orang yang saling menatap dengan tatapan tajam lalu bergandengan tangan dan ada
juga orang yang datang sendiri mungkin ia sedang meratapi kesepian yang tak
kunjung pergi.
Sedangkan aku berjalan sendiri karena
sedang menunggu seseorang yang spesial yaitu sahabatku ia sudah berteman dengan
aku sangat lama dari SD sampai SMA kita selalu barengan bahkan selalu sekelas
dan selalu sebangku maka engga heran ketika temen-temenku bilang bahwa kita itu
pacaran karena hubungan persahabatan kita tak lazim aku sering bermain
kerumahnya, dan dia juga sering bermain kerumahku dan rumah kita pun selalu
menerima satu sama lain.
Karya : Rian Ibayana
Kau
ledakan kangen ke seluruh kota
Masuk
lewat mata
Juga
liang telinga
Mengisi
kepala.
Dingin
yang begitu kental
Dingin
yang begitu dikenal
Dingin
yang tak bisa dipahami
Oleh
sekedar mantel
Maupun
selimut
Ya,
wujud yang kadang-kadang berkabut.
Namaku Lakuna, dan aku perempuan.
Menjadi perempuan itu tidak mudah.
Perempuan selalu terkekang oleh norma-norma keluarga
yang terlalu kaku, terkurung oleh peraturan-peraturan semu namun tabu. Seakan
terperangkap dalam penjara tak kasat mata.
Tak seperti laki-laki yang bisa melakukan hal-hal
sederhana tanpa batas ruang ataupun waktu. Mereka bisa membicarakan semua
keresahan tanpa batasan malu maupun ragu.
Semesta tak pernah mempercayai perempuan dalam banyak
hal. Semesta lebih percaya pada laki-laki sebagai pemimpin, sebagai otak dalam
segala hal. Agama bahkan mempercayai laki-laki sebagai pemimpin, pendeta dan
paus adalah lelaki. Nabi dan rosul juga lelaki. Bahkan mayoritas pemimpin negara
juga lelaki.
Mereka seakan lupa bahwa Joan Of Arc yang merebut kembali
tanah Prancis dari Inggris adalah perempuan. Mereka tak tahu bahwa logam
merkuri diambil dari penemunya, perempuan bernama Marry Currie.
Semesta memang kadang tak pernah menganggap kita ada. Kita
diperlakukan layaknya ‘anak bawang’ dalam permainan petak umpet. Kita hanya
berlari bersembunyi merasa bahwa kita adalah bagian dari permainan, sebenarnya
tak pernah ada yang menganggap kita benar-benar bermain.
Apakah kita hanya budak para lelaki?
Entahlah.
Kekerasan terhadap perempuan masih menjalar di sepanjang
lekuk tubuh Bumi. Ketidakadilan terhadap perempuan sudah mendarah daging dari
masa ke masa.
Para Adam selalu
menganggap Hawa adalah pengacau karena tergoda oleh buah terlarang, menyebabkan
kita semua terusir dari Surga, dan terdampar di Bumi antah-berantah ini.
Pembakaran perempuan sudah biasa pada jaman
pertengahan, laki-laki menganggap kita adalah penyihir, dan membakar kita
sampai hanya menjadi abu. Eropa Timur masih saja melakukan perdagangan
perempuan, menganggap kita adalah barang berharga yang mungkin bisa saja
ditawar.
Sedangkan Afrika masih melakukan perbudakan perempuan. Sementara
itu di seluruh seluk Beluk bumi pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan
sedang terjadi.
Padahal, kita tak pernah berdoa pada Tuhan untuk
dilahirkan sebagai perempuan.
Jika saja kita adalah lelaki, yang bisa dengan enaknya
menguasai setiap inci kepercayaan, yang tak terkekang oleh aturan dan norma
yang kejelasannya tak bisa dipahami, yang dalam pikirannya takkan ada hal-hal
rumit seperti lipstik dan teman-temannya, yang tak peduli pada omong kosong
soal keindahan dan kecantikan luar, yang takkan pernah merasa kesakitan
melahirkan.
Semua hal ini, membuatku bertanya.
Apa hakekat utama dari eksistensi perempuan di Semesta
ini?
(Namaku Lakuna, kepingan puzzle terakhir, yang kadang terlupakan tapi
menyempurnakan. Akulah perempuan).
TAMAT
Ditulis oleh Jein
Postingan Unggulan
-
Seekor penyu pulang ke laut Setelah meletakkan penyu telurnya di pantai Malam ini kubenamkan butir-butir Puisiku di pantai hatimu P...
-
Gambar : Google Karen menyadari pilihannya salah, prediksinya tentang cuaca jelas tak masuk perhitungan sebelumnya. Ia ...
-
Di sekian, nyaris ribuan fajar yang kulewati sejak aku bertemu denganmu. Aku merasa biasa saja. Tak ada detak jantung yang terlal...
-
Judul Buku: Personality Plus Penulis: Forence Littauer Salah Satu #1 buku terlaris di dunia
-
: Pesan yai Do’a yang terpental Mari bersama-sama Hilangkan penghalang Aku memberi Kau menerima
Kategori
cerpen
(34)
puisi
(32)
cerbung
(11)
prosa
(11)
esai
(5)
artikel
(4)
sajak
(4)
resensi buku
(2)
sketsa
(2)
surat terbuka
(2)
FESADEY
(1)
Short Story
(1)
haiku
(1)
kawah sastra
(1)
reportase
(1)