미션은 성공! (Mission Success!) Episode 5


Deretan rumah-rumah dengan berbagai model, warna dan ukuran bergerak cepat di hadapan mata Jessika yang sedang duduk sambil memeluk pinggang sang tukang ojeg. Bertumpangtindih dengan pemandangan yang ada di hadapannya, kenangan ikut muncul dalam kelebatan yang saling susul menyusul.

Tak banyak yang ia ingat tentang masa kecil. Ia hanya ingat bahwa di rumahnya pernah ada seorang pria yang ia panggil Papi dan seorang gadis yang bukan sekedar berbagi kamar tapi juga berbagi wajah dengannya. Mereka, Papi dan saudara kembarnya, kemudian menghilang dengan alasan yang awalnya terlalu rumit untuk bisa ia mengerti. Ketika itu Jessika hanya bisa merengek.


Sejak Mami bercerai dengan suami keduanya, Jessika mulai kehilangan kepercayaannya terhadap sesuatu bernama keluarga. Tak ada perlindungan, tak ada kasih saying, tak ada ketenteraman yang bisa ia temukan di sana. Mami juga lebih sering berada di luar daripada di rumah.

“Kiri depan, Mang!”

Jessika melompat turun dari motor kemudian menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepada sang tukang ojeg langganan. Matahari sudah tak nampak barang sedikit. Bumi seharusnya gelap gulita kini, tapi manusia tak pernah membiarkan ia bersembunyi. Mereka memasang lampu-lampu. Manusia begitu takut menjadi buta.

Tapi tak ada yang menarik hati Jessika. Lampu-lampu itu maupun yang diteranginya. Ia hanya ingin cepat sampai rumah, mandi, mempersiapkan perlengkapan untuk besok dan tidur.

Ketika sampai di rumah Jessika tak langsung menyalakan lampu. Ia duduk di ruang tengah. Ia rebahkan punggungnya yang lelah di atas sofa. Sejenak ia ingin bersembunyi dalam gelap. Menyamar bersama kursi, meja, tembok, atap dan semua yang menjadi buram tanpa cahaya. Ia lelah menjadi manusia yang selalu harus tampil sempurna. Atau setidaknya lebih baik dari yang lain.

Hidup manusia selalu dipenuhi komparasi. Manusia membuat rangking dan peringkat-peringkat. Dari mulai urutan murid terpintar di kelas, daftar orang-orang berpengaruh di dunia, sepuluh manusia terkaya, dan lain-lain. Prestasi manusia diakui melalui piala dan angka-angka. Keberhasilan, kekayaan, kebaikan bahkan cinta, tak luput dari penilaian dan pertandingan.

Seperti mami yang dengan pongah menakar cinta dua orang pria. Ia kira ia akan mendapat cinta yang lebih banyak dari yang lain, tapi ternyata ia malah kehilangan keduanya.


Jessika tak makan malam lagi. Sudah seminggu. Ia masih harus menurunkan lima kilogram lagi. Sambil memutar musik dari telepon genggamnya ia mematut diri di depan cermin. Setumpukan baju dengan berbagai warna dan gaya berserak di atas ranjang. Majalah-majalah tata busana yang ia punya telah dikeluarkan semua dari rak bukunya.

Bolak-balik Jessika membuka halaman demi halaman majalah-majalah itu. Sambil sesekali menyeruput susu coklat hangatnya ia memilih-milih gaya yang paling cocok dengannya. Besok ia harus tampil sempurna. Ia harus menjadi bintangnya. Dinky dan semua orang di grup cover dance harus mengakui pesonanya. Dan ia tak ingin gagal hanya karena salah pilih pakaian.

Jessika masih terjaga ketika semua jarum pada jam di dinding kamarnya kompak menunjuk angka dua belas. Dia masih galau tentang gaya rambut yang paling pas untuk baju yang –setelah berjam-jam dipikirkan, akhirnya—telah ia pilih. Layar komputernya sejak tadi telah sibuk menyajikan berbagai tutorial tata rambut. Wajah sang tutor pun telah beranti-ganti dari gadis mungil dengan mata sipit khas asia, menjadi gadis berambut pirang dengan perawakan tinggi langsing, lalu berubah kembali menjadi gadis berkulit coklat dengan senyuman yang manis, dan sederet perempuan-perempuan lain.

Tak hanya itu, Jessika juga menonton kembali semua MV dari girlband-girlband kesukaannya. Beberapa lagu Orange Caramel, 4minute, dan 2ne1 telah berkali-kali diputar, tapi Jessika masih belum juga membuat keputusan.

Lampu kamar Jessika baru dipadamkan pukul dua dini hari.

***

Dinky sudah berdiri tegap di bawah pohon beringin. Dengan celana jogger warna abu muda dan sepatu sneakers warna merah menyala ia berpatroli dengan matanya. Sepuluh menit lagi sebelum sesi evaluasi final dilakukan. Tapi belum ada satu pun dari anggota timnya yang datang. Semoga tidak ada yang terlambat. Dinky bisa marah besar jika ada yang datang tak tepat waktu.

Lima menit sebelum waktu yang dijanjikan. Dinky sudah mengerutkan kedua alisnya, wajahnya tegang. Kaki-kakinya tak mau diam, mondar-mandir ke sana ke mari sambil terus mengedarkan pandangan ke segala penjuru.

Tiga orang yang sedang berjalan santai dari arah timur tiba-tiba mempercepat langkah kaki mereka begitu melihat tingkah Dinky dari kejauhan. Firasat mereka mengatakan bahwa mereka akan dapat masalah besar jika tak cepat-cepat menyetor wajah. Untunglah, mereka sampai sebelum Dinky sempat marah-marah.

Tiga menit lagi. Dara langsung berjalan cepat begitu ia turun dari pintu angkot. Langkahnya langsung terarah ke area pohon beringin. Jessia menyusul langkah cepat Dara dan kemudian bersama-sama menuju titik perkumpulan.

Semua orang sudah datang kecuali Jessika.  Padahal jam tangan Dinky sudah menunjukkan angka 09:00. Dia telambat.

“Jess, cici lo gak dating?” dengan nada tak ramah Dinky bertanya pada Jessia.

“Gak tahu. Dia gak ngabarin.”

“Coba lo tanyain, dong!”

“Dia gak suka kalo gue sms, atau bbm, atau whatsapp. Dia bakal dateng kalo dia mau.”

“Gue butuh kepastian, Jess. Lo coba tanyain dulu apa susahnya, sih? Dia kan masih sodara lo.”

Jessia tak membantah juga tak menuruti permintaan Dinky. Perubahan air mukanya terlihat jelas bagi orang yang mau melihat. Tapi Dinky bukan salah satunya. Dara lah yang kemudian menengahi.

“Cukup Dinky. Jangan lupa, ada batas-batas yang gak boleh kamu lewati. Kamu bisa mulai evaluasinya jika kamu gak mau menunggu.”

Dinky mendengus kesal.

“Eh, itu kayaknya Kak Jessika tuh!” ujar Wicki bersemangat. Ia berharap Dinky bisa segera memadamkan amarahnya setelah melihat kedatangan Jessika.

Semua orang mengarahkan pandangan masing-masing ke tempat yang dituju telunjuk Wicki. Mengamati.

Gadis yang menjadi objek pengamatan mereka terlihat memakai atasan tanpa lengan berwarna hijau toska yang dipasangkan dengan rok bersusun bergelombang lembut. Bagian luar rok itu berwarna merah muda cerah sedangkan lapisan bawahnya yang sedikit lebih panjang berwarna senada dalam nuansa pastel. Rok itu tak sampai menutupi lutut. Kaki jenjang Jessika terlihat segar diterpa cahaya matahari pagi.

Rambutnya tergerai di sebelah sisi kepalanya. Rambutnya pun dibuat agak bergelombang di bagian bawah. Sisi kepalanya yang lain memperlihatkan daun kuping yang dipasangi anting-anting berwarna silver yang jatuh menjuntai.

Semakin ia mendekat semakin terlihat wajahnya yang cantik ternyata juga mengenakan make up full set. Bibirnya cerah dilapisi lipstik bernuansa jingga muda yang berubah menjadi kemerahan di bagian pangkal bibirnya. Kelopak matanya dipulas dengan eye shadow berwarna natural. Tidak terlalu mencolok tapi tetap berkesan. Kedua pipinya merona dengan bantuan blush on. Ketika angin membuat rambutnya menari-nari Jessika bahkan terlihat seperti model yang sedang menjalani pemotretan. Dia melenggang santai tanpa beban seolah tak sedang melakukan kesalahan.

Dia tampak cantik. Kecantikan yang selama ini tersembunyi dibalik seragam putih abu-abu ternyata mampu membuat semua orang sejenak terpana. Termasuk Jessia, ia tak tahu bahwa wajah itu –wajah yang ia miliki juga—ternyata bisa terlihat begitu mempesona.

Semua orang masih terkagum-kagum pada pemandangan yang mereka lihat, kecuali Dinky. Dengan tak sabar ia lalu  berjalan ke arah Jessika. Begitu mereka bertemu di tengan lapangan Dinky langsung menarik tangan Jessika dan menyeretnya tanpa ampun menuju area perkumpulan.

Rusak sudah sesi jalan cantik Jessika ketika ia terpaksa meringis sambil berusaha melepaskan genggaman Dinky dari tangannya. Keanggunan yang tadi dipertontonkan menguap tanpa sisa. Suara melengking Jessika terdengar menusuk-nusuk telinga.

“Dinky, lepasin!”

Dinky mencampakkan tangan Jessika begitu ia sampai di hadapan teman-temannya yang lain.
Jessika mengusap-usap pergelangan tangannya yang kini berwarna kemerahan.

“Lo rese banget sih, Dinky! Gue kan cuma telat satu menit tiga puluh detik doang. Duh, rambut sama make up gue jadi rusak deh.”

Dinky mendelik dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jessika.

“Gak usah sok cantik! Karena lo dateng telat, lo harus kena penalti.”

“Ya udah, apa? Ribet banget deh orang satu ini.” Jessika menggerutu tanpa merasa perlu memelankan suaranya.

“Lari keliling alun-alun tiga kali putaran.”

“Apa? Lo gak lihat, gue lagi pake heels.” Jessika membelalak kaget, begitu juga anggota tim yang lain.

“Bukan urusan gue! Heels bisa dilepas, lo lari telanjang kaki aja. Gampang!”

“Sialan lo Dinky. Jangan mentang-mentang lo yang paling jago terus lo ngerasa bisa nyuruh-nyuruh kita semau lo.”

“Udah gue bilang ribuan kali, jangan datang terlambat. Mau kalian sejago apapun kalo gak bisa datang tepat waktu, sama aja bohong. Kalo kita ikutan lomba mungkin udah didiskualifikasi sama panitia. Ketidakdisiplinan itu adalah racun yang berbahaya. Aku gak mau itu ada di tim kita. Disiplin, displin, disiplin! Itu prinsip utama yang harus kita pegang selamanya.”

Tak ada yang berani membantah, termasuk Jessika. Hingga Dinky kemudian berbicara kepada Jessika, “Sekarang pilihan ada di tangan lo, Jessika. Apakah lo mau terima hukuman atau mau pulang dan keluar dari tim ini selamanya?”


Jessika terdiam.

***
Yoga Palwaguna
Gambar (masih) dari Google.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar