Deretan rumah-rumah dengan
berbagai model, warna dan ukuran bergerak cepat di hadapan mata Jessika yang
sedang duduk sambil memeluk pinggang sang tukang ojeg. Bertumpangtindih dengan
pemandangan yang ada di hadapannya, kenangan ikut muncul dalam kelebatan yang
saling susul menyusul.
Tak banyak yang ia ingat
tentang masa kecil. Ia hanya ingat bahwa di rumahnya pernah ada seorang pria
yang ia panggil Papi dan seorang gadis yang bukan sekedar berbagi kamar tapi
juga berbagi wajah dengannya. Mereka, Papi dan saudara kembarnya, kemudian
menghilang dengan alasan yang awalnya terlalu rumit untuk bisa ia mengerti.
Ketika itu Jessika hanya bisa merengek.
Sejak Mami bercerai dengan
suami keduanya, Jessika mulai kehilangan kepercayaannya terhadap sesuatu bernama keluarga. Tak ada perlindungan, tak ada kasih saying, tak ada
ketenteraman yang bisa ia temukan di sana. Mami juga lebih sering berada di
luar daripada di rumah.
“Kiri depan, Mang!”
Jessika melompat turun
dari motor kemudian menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepada sang tukang
ojeg langganan. Matahari sudah tak nampak barang sedikit. Bumi seharusnya gelap
gulita kini, tapi manusia tak pernah membiarkan ia bersembunyi. Mereka memasang
lampu-lampu. Manusia begitu takut menjadi buta.
Tapi tak ada yang menarik
hati Jessika. Lampu-lampu itu maupun yang diteranginya. Ia hanya ingin cepat
sampai rumah, mandi, mempersiapkan perlengkapan untuk besok dan tidur.
Ketika sampai di rumah
Jessika tak langsung menyalakan lampu. Ia duduk di ruang tengah. Ia rebahkan
punggungnya yang lelah di atas sofa. Sejenak ia ingin bersembunyi dalam gelap.
Menyamar bersama kursi, meja, tembok, atap dan semua yang menjadi buram tanpa
cahaya. Ia lelah menjadi manusia yang selalu harus tampil sempurna. Atau setidaknya
lebih baik dari yang lain.
Hidup manusia selalu
dipenuhi komparasi. Manusia membuat rangking dan
peringkat-peringkat. Dari mulai urutan murid terpintar di kelas, daftar
orang-orang berpengaruh di dunia, sepuluh manusia terkaya, dan lain-lain.
Prestasi manusia diakui melalui piala dan angka-angka. Keberhasilan, kekayaan,
kebaikan bahkan cinta, tak luput dari penilaian dan pertandingan.
Seperti mami yang dengan
pongah menakar cinta dua orang pria. Ia kira ia akan mendapat cinta yang lebih
banyak dari yang lain, tapi ternyata ia malah kehilangan keduanya.
Jessika tak makan malam
lagi. Sudah seminggu. Ia masih harus menurunkan lima kilogram lagi. Sambil
memutar musik dari telepon genggamnya ia mematut diri di depan cermin. Setumpukan
baju dengan berbagai warna dan gaya berserak di atas ranjang. Majalah-majalah
tata busana yang ia punya telah dikeluarkan semua dari rak bukunya.
Bolak-balik Jessika
membuka halaman demi halaman majalah-majalah itu. Sambil sesekali menyeruput
susu coklat hangatnya ia memilih-milih gaya yang paling cocok dengannya. Besok
ia harus tampil sempurna. Ia harus menjadi bintangnya. Dinky dan semua orang di
grup cover dance harus mengakui pesonanya. Dan ia tak ingin gagal hanya karena
salah pilih pakaian.
Jessika masih terjaga
ketika semua jarum pada jam di dinding kamarnya kompak menunjuk angka dua
belas. Dia masih galau tentang gaya rambut yang paling pas untuk baju yang
–setelah berjam-jam dipikirkan, akhirnya—telah ia pilih. Layar komputernya
sejak tadi telah sibuk menyajikan berbagai tutorial tata rambut. Wajah sang
tutor pun telah beranti-ganti dari gadis mungil dengan mata sipit khas asia,
menjadi gadis berambut pirang dengan perawakan tinggi langsing, lalu berubah
kembali menjadi gadis berkulit coklat dengan senyuman yang manis, dan sederet
perempuan-perempuan lain.
Tak hanya itu, Jessika
juga menonton kembali semua MV dari girlband-girlband kesukaannya. Beberapa
lagu Orange Caramel, 4minute, dan 2ne1 telah berkali-kali diputar, tapi Jessika
masih belum juga membuat keputusan.
Lampu kamar Jessika baru
dipadamkan pukul dua dini hari.
***
Dinky sudah berdiri tegap di bawah pohon
beringin. Dengan celana jogger warna abu muda dan sepatu sneakers warna merah
menyala ia berpatroli dengan matanya. Sepuluh menit lagi sebelum sesi evaluasi final dilakukan. Tapi belum ada satu pun dari anggota timnya yang datang.
Semoga tidak ada yang terlambat. Dinky bisa marah besar jika ada yang datang
tak tepat waktu.
Lima menit sebelum waktu
yang dijanjikan. Dinky sudah mengerutkan kedua alisnya, wajahnya tegang.
Kaki-kakinya tak mau diam, mondar-mandir ke sana ke mari sambil terus
mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
Tiga orang yang sedang
berjalan santai dari arah timur tiba-tiba mempercepat langkah kaki mereka
begitu melihat tingkah Dinky dari kejauhan. Firasat mereka mengatakan bahwa
mereka akan dapat masalah besar jika tak cepat-cepat menyetor wajah. Untunglah,
mereka sampai sebelum Dinky sempat marah-marah.
Tiga menit lagi. Dara
langsung berjalan cepat begitu ia turun dari pintu angkot. Langkahnya langsung
terarah ke area pohon beringin. Jessia menyusul langkah cepat Dara dan kemudian
bersama-sama menuju titik perkumpulan.
Semua orang sudah datang
kecuali Jessika. Padahal jam tangan
Dinky sudah menunjukkan angka 09:00. Dia telambat.
“Jess, cici lo gak
dating?” dengan nada tak ramah Dinky bertanya pada Jessia.
“Gak tahu. Dia gak
ngabarin.”
“Coba lo tanyain, dong!”
“Dia gak suka kalo gue
sms, atau bbm, atau whatsapp. Dia bakal dateng kalo dia mau.”
“Gue butuh kepastian,
Jess. Lo coba tanyain dulu apa susahnya, sih? Dia kan masih sodara lo.”
Jessia tak membantah juga
tak menuruti permintaan Dinky. Perubahan air mukanya terlihat jelas bagi orang
yang mau melihat. Tapi Dinky bukan salah satunya. Dara lah yang kemudian
menengahi.
“Cukup Dinky. Jangan lupa,
ada batas-batas yang gak boleh kamu lewati. Kamu bisa mulai evaluasinya jika kamu
gak mau menunggu.”
Dinky mendengus kesal.
“Eh, itu kayaknya Kak
Jessika tuh!” ujar Wicki bersemangat. Ia berharap Dinky bisa segera memadamkan
amarahnya setelah melihat kedatangan Jessika.
Semua orang mengarahkan
pandangan masing-masing ke tempat yang dituju telunjuk Wicki. Mengamati.
Gadis yang menjadi objek
pengamatan mereka terlihat memakai atasan tanpa lengan berwarna hijau toska
yang dipasangkan dengan rok bersusun bergelombang lembut. Bagian luar rok itu
berwarna merah muda cerah sedangkan lapisan bawahnya yang sedikit lebih panjang
berwarna senada dalam nuansa pastel. Rok itu tak sampai menutupi lutut. Kaki
jenjang Jessika terlihat segar diterpa cahaya matahari pagi.
Rambutnya tergerai di
sebelah sisi kepalanya. Rambutnya pun dibuat agak bergelombang di bagian bawah.
Sisi kepalanya yang lain memperlihatkan daun kuping yang dipasangi
anting-anting berwarna silver yang jatuh menjuntai.
Semakin ia mendekat
semakin terlihat wajahnya yang cantik ternyata juga mengenakan make up full set. Bibirnya cerah dilapisi
lipstik bernuansa jingga muda yang berubah menjadi kemerahan di bagian pangkal
bibirnya. Kelopak matanya dipulas dengan eye shadow berwarna natural. Tidak
terlalu mencolok tapi tetap berkesan. Kedua pipinya merona dengan bantuan blush
on. Ketika angin membuat rambutnya menari-nari Jessika bahkan terlihat seperti
model yang sedang menjalani pemotretan. Dia melenggang santai tanpa beban seolah tak sedang melakukan kesalahan.
Dia tampak cantik.
Kecantikan yang selama ini tersembunyi dibalik seragam putih abu-abu ternyata
mampu membuat semua orang sejenak terpana. Termasuk Jessia, ia tak tahu bahwa
wajah itu –wajah yang ia miliki juga—ternyata bisa terlihat begitu mempesona.
Semua orang masih
terkagum-kagum pada pemandangan yang mereka lihat, kecuali Dinky. Dengan tak
sabar ia lalu berjalan ke arah Jessika.
Begitu mereka bertemu di tengan lapangan Dinky langsung menarik tangan Jessika
dan menyeretnya tanpa ampun menuju area perkumpulan.
Rusak sudah sesi jalan
cantik Jessika ketika ia terpaksa meringis sambil berusaha melepaskan genggaman
Dinky dari tangannya. Keanggunan yang tadi dipertontonkan menguap tanpa sisa.
Suara melengking Jessika terdengar menusuk-nusuk telinga.
“Dinky, lepasin!”
Dinky mencampakkan tangan
Jessika begitu ia sampai di hadapan teman-temannya yang lain.
Jessika mengusap-usap
pergelangan tangannya yang kini berwarna kemerahan.
“Lo rese banget sih,
Dinky! Gue kan cuma telat satu menit tiga puluh detik doang. Duh, rambut sama
make up gue jadi rusak deh.”
Dinky mendelik dengan
tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jessika.
“Gak usah sok cantik! Karena
lo dateng telat, lo harus kena penalti.”
“Ya udah, apa? Ribet
banget deh orang satu ini.” Jessika menggerutu tanpa merasa perlu memelankan
suaranya.
“Lari keliling alun-alun
tiga kali putaran.”
“Apa? Lo gak lihat, gue
lagi pake heels.” Jessika membelalak kaget, begitu juga anggota tim yang lain.
“Bukan urusan gue! Heels
bisa dilepas, lo lari telanjang kaki aja. Gampang!”
“Sialan lo Dinky. Jangan
mentang-mentang lo yang paling jago terus lo ngerasa bisa nyuruh-nyuruh kita
semau lo.”
“Udah gue bilang ribuan
kali, jangan datang terlambat. Mau kalian sejago apapun kalo gak bisa datang
tepat waktu, sama aja bohong. Kalo kita ikutan lomba mungkin udah
didiskualifikasi sama panitia. Ketidakdisiplinan itu adalah racun yang
berbahaya. Aku gak mau itu ada di tim kita. Disiplin, displin, disiplin! Itu
prinsip utama yang harus kita pegang selamanya.”
Tak ada yang berani
membantah, termasuk Jessika. Hingga Dinky kemudian berbicara kepada Jessika,
“Sekarang pilihan ada di tangan lo, Jessika. Apakah lo mau terima hukuman atau
mau pulang dan keluar dari tim ini selamanya?”
Jessika terdiam.
***
Yoga Palwaguna
Gambar (masih) dari Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar