Dialog Garis Miring


Dialog Garis Miring


Orang-orang di negeriku sungguh para perampok jatidiri. Mau jadi apa memang bebas tapi ditentukan asal sesuai dengan stereo di masyarakat. Kalau gak dokter ya insinyur, kalau gak menejer ya PNS. Padahal dunia ini tak hanya butuh itu saja. Aku juga tak hanya menggerutu itu saja. Tapi hidup dalam siklus yang seperti ini kurasa lebih baik mati saja.

Hey! Jangan Sompral!

Ya, aku tahu ini berlebihan.  Lalu harus apa? Apa bedanya hidup kalau hanya sekedar hidup? Mengapa tempatku ini tak melegalkan hak untuk mati saja? Kurasa itu jauh baik bak mati dengan terhormat.

Omong kosong! Tidak ada mati bunuh diri dengan terhormat.

Lalu harus bagaimana? Aku muak berbuat baik. Aku muak harus bertingkah baik padahal rusak tak terelakkan. Apa salahnya memilih jalan tujuan sesuai dengan yang kita inginkan? Apa salahnya melangkah asalkan itu tak mendorong orang untuk terjatuh dan tertekan? Ini hanya aku yang tertekan! Apanya yang untuk masa depan?!

Ya maka lakukanlah! Apalagi?

Kau tahu ini tidak mudah, aku tak sanggup memaksa, aku tak sangguh untuk berbelok arah. Orang-orang akan menganggapku buangan. Tak banyak orang menerima bahkan orangtuaku pasti menutup muka. Aku dianggap beban. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin bom yang bisa meledak keras dan merubah pandangan negeri ini.

Maka mengapa tak kau coba jadi bom saja? Semakin kau banyak berkata semakin tak ada yang akan terjadi.

Kau benar. Tapi sulit. Memangnya kau bisa?

Ini aku yang bermasalah atau kau yang bermasalah?

Oke. Aku hanya tak ingin mengecewakan mereka. Hati kecilku tetap berkata untuk berjalan searah dengan apa yang diinginkan dunia. Kuliah, kerja, menikah, bahagia hasil dari rumusnya. Tapi ini seperti mengubur diriku yang sebenarnya. Orang-orang selalu menilai sesuatu dari hasilnya, dari citraannya, bukan proses dan maknanya. Aku tak ingin tersiksa karena salah mengambil langkah. Lalu mana yang lebih tersiksa, berdiam dan tak bahagia atau melangkah dengan penuh resiko yang tak ada habisnya? Aku tak bisa menjawabnya.

Mungkin saat kau bahagia, walaupun sedikit. Kau bisa melewati semuanya. Itu saranku. Tak ada yang perlu kau repotkan lagi. Berjalanlah, hadapilah, dengarkan, hempaskan, kau sendiri tahu setiap hal akan ada salahnya di mata orang. Jadi tunggu apa lagi? Setiap langkah memang akan ditilai salah. Namun lebih baik daripada kau terus menyalahkan diri sendiri karena tak mampu jujur pada apa yang ingin dilalui. Ini percakapan panjangku, semoga kau berhasil menemukan tujuanmu. Mati bukan berarti semuanya selesai. Kau ini sompral saja seperti tidak punya Tuhan.

 Jalani saja. Tujuan kita adalah berbuat baik, bagi diri sendiri dan juga orang lain.  Sudah.



Penulis: Rosi Risalah P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar