Tikus Percobaan


Tikus Percobaan
Ah! Sudah hari Selasa lagi. Kerajaan tikus putih Galur Wistar yang manis itu kembali diselimuti kegelisahan. Manusia semester lima sudah menjelma menjadi pembunuh. Para tikus itu mulai resah, gundah, terutama tikus putih berukuran kurang lebih 20 gram beratnya yang akan menjadi target percobaan minggu ini; pengujian Antidiare.
Perlengkapan sudah disiapkan. Para manusia ber-jas putih itu masuk ke ruangan laboratorium farmakologi dengan menunjukan mimik muka biasa saja. Tapi jelas saja tidak dengan mimik muka kami para tikus putih yang dipanggil ‘mencit’ karena berukuran kecil. Mengapa kami dipanggil mencit? Panggilan yang dalam bahasa Sunda (bahasa manusia) itu artinya ‘bunuh/potong’, aaarrhhh tidaaak! Apa kami ditakdirkan untuk dibunuh? Dipotong? Dicabik tubuhnya? Dimusnahkan? Sungguh mengenaskan!
Suasana hening sekejap, ada manusia berpostur lebih besar dari yang lainnya serta berkostum berbeda dari yang lainnya, yang mereka sebut-sebut sebagai asdos (asisten dosen). Terhitung setelah asdos itu memberi responsi praktikum, kemudian sangkar kami mulai dibuka, saat itu perasaan kami bergejolak menolak hari itu terlalui. Rasanya, jika boleh bilang pada para praktikan itu begini: “Kami senang bertemu kalian yang cantik-cantik dan tampan-tampan serta tampak gagah dan elegan dengan jas putih kalian. Tapi, jujur. Semuanya berubah menjadi seperti neraka, kalian menjelma menjelma menjadi pembunuh bersamaan dengan tugas praktikum kalian sudah usai.”
Kami dielus-elus, ada yang membawa kami ke pangkuan tangan lembut dengan senyum kemenangan tersungging di wajah para praktikan yang lebih layak disebut pembunuh itu. Tapi kami tak banyak berbuat, ketika tubuh kami memang tak mampu, hanya sesekali saja kami berontak menunjukan ketidaksukaan kami dipegang dan sedikit dicekik yang membuat beberapa praktikan manja menjerit-jerit karena ketakutan.   
Kami ditimbang, tepatnya seperti di ruang posyandu yang akan diberi vaksin polio dan disuntik imunisasi. Yeah! Ini memang untuk kesehatan kami! Manusia memang baik. Tetapi bayangan itu seketika pudar, setelah kami merasa obat uji antidiare yang disonde pada mulut kita membuat kami sebal, obat itu pahit, wueekk!
Satu jam berlalu, kami disonde kembali dengan Oleum Ricini sebagai induksi diare, dan itu membuat perut kami sakit, mual, merasa tak karuan seperti diperas, aaarrhhgg sakit, kami pun mengerang. Beberapa diantara kami ada yang masih terlihat baik-baik saja, oh, mungkin karena obat uji yang diberinya cukup bagus kualitasnya.
Setelah 90 menit kemudian, kami ditempatkan pada permukaan yang kasar, mungkin beralaskan kawat. Lalu, ekor kami dipegang, pada tengkuk kami ditekankan tongkat dengan satu tangan praktikan kejam itu, kemudian tangan lainnya menarik ekor kami dengan keras, sehingga leher kami terdislokasi dan kami pun dalam sekejap sudah berada di dunia lain. Ya, di dunia yang fana ini tinggal raga kami yang tak berdaya yang siap dikuliti bagian perut serta diambil bagian usus dengan sangat hati-hati agar tak putus, karena itulah usus kami yang berisi kotoran akan dijadikan data pengamatan dalam praktikum kali ini.
Praktikum usai. Nyawa kami pun hilang. Para praktikan pun meninggalkan ruangan laboratorium farmakologi dengan tenang, walau perilaku pembunuhan baru saja mereka lakukan. []

*dislokasi : membunuh dengan cara menekan leher hingga tulang patah
*induksi : merangsang sakit / dibuat sakit
*sonde : memberikan obat melalui mulut pada tikus
Srea
Bercerita di lembaran modul farmakologi
Bandung, 20 Februari 2015

1 komentar:

  1. Menggelikan... dikemas dengan apik... kapan2 bikin cerita tikus got yg gede2 itu srea

    BalasHapus