Soal urusan buku murah, Jakarta
ada Kwitang, Yogyakarta ada Jalan Gejayan. Bandung pun bangga karena ada
Palasari, yang terkenal sampai ke luar negeri.
Selain
dikenal sebagai kota kunjungan wisata, Bandung pun termasyur sebagai kota
pendidikan.Pelajar dan mahasiswa berprestasi serta para intelektual banyak
terlahir dari kota Kembang ini. Hal ini karena Bandung menyediakan sarana
pendukung untuk kegiatan pengembangan ilmu mereka, di antaranya pasar buku murah
dan toko buku diskon yang tersebar di beberapa tempat.
Hadirnya
pasar dan toko buku murah di Bandung,menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat umum. Akhirnya yang datang ke tempat ini bukan hanya dari kalangan
akademisi, tetapi juga orang-orang yang kebetulan sedang singgah atau berwisata
di Bandung. Mereka yang kutu buku, tentu
saja lebih senang berwisata dengan berburu buku murah maupun langka. Salah satu
tempat penjualan buku di Bandung yang paling banyak diburu adalah Bursa Buku
(BB) Palasari.
Ya,
Palasari adalah kawasan legendaris kota Bandung dalam hal bursa buku murah.
Konon, nama Palasari sudah populer ke mancanegara, terutama negara-negara Eropa
dan Asia Tenggara. Namun popularitasnya sebagai pasar buku murah sempat terusik
beberapa kali sepanjang sejarahnya.
Sesepuh
BB Palasari, Muhammad Arif Datuk Majo Indo mengatakan, embrio munculnya BB Palasari
karena ide para pemuda Minangkabau di Bandung yang kebanyakan pengangguran pada
tahun 70-an. Dulu mereka menjual buku-buku di kawasan Alun-alun Bandung dengan
kondisi belum tertib, Kemudian mereka pindah berdagang di samping Gedung
Merdeka, Jl. Asia Afrika, lantas pindah lagi area Factory (di belakang Gedung
BRI. Baru pada tahun 1981, para pedagang buku murah ini pindah ke Pasar Inpres
Palasari.
Sejak
pindah ke Pasar Inpres Palasari, nama BB
Palasari kian terkenal dan kian meningkat pengunjungnya. Namun pada Januari
1993, musibah kebakaran terjadi di pasar ini. Para pedagang BB Palasari menduga
kuat bahwa musibah ini karena oknum developer yang ingin mengubah BB Palasari
seperti mall.
“Memang
dulu kami sempat ditawari developer untuk membangun tempat yang baru. Tapi kami
tidak sepakat. Beberapa waktu kemudian, kira-kira pukul 6 sore, kami melihat
ada orang yang pakai motor trail seperti membawa bahan kimia, mendekati pasar,
dan akhirnya tiba-tiba pasar mulai terbakar,” kenang Datuk.
Datuk
menambahkan, sejak musibah itu, para pedagang buku hendak dipindahkan ke pasar
Mohamad Toha atau Pasar Gede Bage, atau bahkan ke Sumedang. Tapi, para pedagang
menolaknya. Mereka pun didukung para mahasiswa untuk melakukan perlawanan agar
BB Palasari tidak dipindahkan.
“Tapi
Agustus 2007, pasar ini kebakaran lagi, yang terbakar sekitar 60 kios. Kami
menduga kuat penyebabnya tetap sama, yakni keinginan oknum developer. Untung
saja Pak Dada Rosada (Walikotamadya Bandung-red) berpendapat lain. Menurut dia,
keberadaan kios-kios buku di Palasari sangat dibutuhkan masyarakat, bahkan
dunia,” jelas Datuk.
Sejak
itulah, BB Palasari selalu dijaga keamanan. Para pengunjung pun merasa nyaman.
Mereka datang untuk berburu bermacam-macam jenis dan judul buku, seperti buku
pelajaran, ilmiah, agama, sastra, politik, sampai buku-buku langka, yang
harganya bisa mencapai jutaan rupiah, seperti buku tentang Soekarno, yang bisa mencapai
10 juta rupiah/eksemplar.
Rata-rata
buku yang dijual di Palasari berdiskon 30 persen. Tapi ada juga buku-buku bekas
yang hanya dijual sekitar 5000 sampai 15000 rupiah/eksemplar. Misalnya, harga
buku yang seharusnya dijual secara umum 60.000/eksemplar, di BB Palasari bisa
berharga 45.000/eksemplar.
“Selain
beli buku satuan, yang ke sini ada juga yang beli secara grosiran. Pembelinya
nggak cuma dari kita, tapi juga dari luar negeri, seperti dari Belanda,
Inggris, Amerika, Rusia, dan Malaysia,” ujar Datuk.
Ada
beberapa pedagang di BB Palasari yang masih bertahan sampai puluhan tahun.Salah
satunya Mawardi. Lelaki rantau asal Bukittinggi ini sudah berada di Bandung
sejak tahun 1959 dan sepanjang hayatnya banyak dihabiskan dengan berjualan
buku. Saat ditanya omsetnya dari penjualan buku, Mawardi menjawab diplomatis.
“Omsetnya nggak bisa ditentukan, tergantung banyaknya pembeli. Cukup nggak
cukup buat biaya hidup, ya namanya juga usaha,” kata Mawardi.
BB
Palasari setiap harinya buka mulai pukul 08.00 dan tutup pukul 18.00. Kalau
hari biasa, pengunjungnya bisa mencapai ratusan orang. Tapi kalau lagi musim
tahun ajaran baru, bisa mencapai sekitar 1000 pengungjung setiap harinya.
Setelah
berjalan puluhan tahun, BB Palasari tidak hanya dihuni oleh pedagang asal
Minangkabau, tapi juga rata-rata dari Sunda, Jawa, Batak, Palembang, dan
Lampung. Mereka berharap BB Palasari tidak dirubah, apalagi dipindahkan.
Pasalnya, BB Palasari sudah memiliki cirikhas tersendiri yang sudah menjadi
kebanggaan masyarakat Bandung.
Selain BB
Palasari, Bandung pun punya lokasi lain yang menjual buku-buku murah, yakni di
Pasar Suci, emperan Jl. Cikapundung, dan
emperan Jl Dewi Sartika.Kalau Pasar Suci lebih banyak menjual buku-buku
pelajaran, emperan Cikapundung dan Dewi Sartika cenderung menyediakan buku-buku
bekas dan langka.
“Di sini mah kebanyakan yang dijual buku bekas
dan majalah. Harganya ada yang 5 ribuan. Tapi, sering juga ada orang mencari
buku-buku langka. Kalau buku-buku langka harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah,
“ kata Mahmud, pedagang buku bekas di Cikapundung.
Fenomena
penjualan buku-buku murah di sejumlah tempat di Bandung, setidaknya memberikan
angin segar bagi masyarakat yang menilai harga buku selama ini dianggap mahal.
Namun,
menurut pengamat perbukuan sekaligus penulis buku dari Bandung, Edi Warsidi,
murah tidaknya buku sangatlah relatif, bergantung pada kepentingan pembaca.
Meski demikian, Edi tak memungkiri, adanya bursa buku murah di Palasari,
pencinta buku merasa diuntungkan, selain hadirnya juga toko atau gerai buku
indie, yang menjual buku diskon.
“Hadirnya sentra buku murah di Bandung, terutama
Pasar Buku Palasari, dianggap sebagai ’surga’ untuk para pencinta buku dan
pemangku kepentingan lainnya (stakeholders).
Selain beragam tema buku yang dijual, rabat yang tinggi merupakan pesona tersendiri
dari Pasar Buku Palasari,” jelas Edi, yang juga Dosen di Fakultas Sastra Unpad,
Jatinangor.
Namun Edi menilai sejauh ini
Palasari belum memungkinkan dijadikan tempat diskusi buku. Padahal kalau ada,
kawasan tersebut akan semakin menarik. Berbeda dengan pengelola tolo buku
diskon atau gerai buku indie yang selalu memfasilitasi komunitas pencinta buku
untuk diskusi buku baru.
“Uniknya, pengelola toko buku
semacam itu, selalu memberi rabat yang hampir sama dengan Palasari. Pada tempat
penjualan buku tersebut, konsumen dapat bertemu dengan kosumen dan terjadilah sharing wawasan.,” imbuh Edi. (laporan reportase: yogira)
Menarik tuh kang, seperti ide yang kemarin sempat diceritakan mbak-mbak gramedia itu, mungkin KSC bisa sekali-sekali wisata buku ke palasari, cikapundung dan dewi sartika. Hunting buku-buku bekas dan murah.
BalasHapusIya Yoga. Sejak kuliah, saya lebih sering belanja buku di sini, hingga ada toko langganannya. Sebenarnya, ini bisa jadi ladang kerjasama dengan KSC kalau kita mau jualan buku secara online, minimal kita pasang dulu foto sampul2 bukunya. (jangan dulu beli bukunya). Sistemnya pemesanan saja dari calon pembelinya. Tentu harganya sesuai dengan harga gramedia. Kita masih ada profit kalau belinya dari Palasari 'kan?. Apalagi nanti kalau sudah sering langganan. Ngutang juga bisa kayaknya, hahahaha
Hapuska film uing euy
BalasHapus