Pindah Sekolah (Part 1)





Pindah Sekolah  (Part 1)

Allen. 
Aku pasti pindah sekolah, semuanya terasa asing bagiku. Tapi perasaan asing ini mungkin bukan parameter yang benar, selain aku yang merasa asing semua murid di kelas ini pun sepertinya mengasingkanku. Mungkin itu terdengar kejam, baiklah mari perhalus sedikit, mereka belum mengenalku. Aku mungkin saja murid baru.
            Kepalaku sering berdenyut-denyut, bertalu-talu menyakitkan. Sepertinya inilah alasan mengapa hanya dua hal yang bisa aku ingat, pertama namaku sendiri, kedua adalah jeritan kakak perempuanku di malam kematiannya. Aku mengingat namaku sendiri mungkin karena kakakku menyebut namaku dalam jeritannya, jadi sebenarnya apa yang bisa aku ingat dapat diringkas menjadi satu hal saja, jeritan kakak perempuanku di malam kematiannya.
            Aku sudah dua kali menangkap tatapan gadis itu, sekarang aku yakin sekali bahwa ia menoleh ke arahku bukan tembok di belakangku atau jendela di samping kiriku. Ia menengok lagi kepadaku, ketiga kalinya, mata kami bertemu dan ia cepat-cepat membalikkan lagi pandangannya.
            Jam pelajaran telah usai, ada udara kesenangan yang menghembus ke atmosfer. Semua murid mengemasi buku-buku mereka, beberapa melakukannya dengan cepat. Aku sama sekali tidak tertarik bergabung dalam euforia itu, untuk apa? Aku bahkan tidak tahu harus pulang ke mana. Mungkin seseorang akan menjemputku, jadi menunggu saja sepertinya adalah pilihan tebaik bagiku.
            Semuanya keluar meninggalkan kelas, kecuali lima orang. Mereka sama sekali tidak beranjak dari kursi walaupun meja mereka sudah rapi.
            “Ayo kita pulang!” Ucap gadis yang menoleh tiga kali ke arahku sepanjang hari ini.
            “Nanti ah, aku masih ingin di sini.” Temannya, gadis berambut sebahu menyahut.
            “Iya, santai saja!” Seorang teman lelakinya menjawab. “Di bawah pastinya masih ramai.”
            “Tapi di sini sudah sepi, ini kan kelas satu-satunya di lantai ini.” Gadis yang menoleh ke arahku bicara lagi.
            “Ah kau takut ya pada dua kelas yang masih direnovasi di samping kelas kita?” Seorang gadis berpostur tinggi tampak menggodanya.
            Gadis yang menoleh ke arahku itu mendengus kesal.
            “Aku ingin menelepon, aku di luar sebentar ya!” teman lelakinya yang lain tiba-tiba berbicara sambil berdiri, lalu pergi keluar meninggalkan kelas.
            “Violin, antar aku ke toilet!” Ucap gadis berambut sebahu pada gadis berpostur tinggi seraya menarik pergelangan tangannya.
            “Ah kau juga penakut,” ucap gadis berpostur tinggi tampak malas-malasan.
            “Andi, ayo kita duduk di luar!” ucap gadis yang menoleh ke arahku pada teman lelaki yang duduk di depannya.
            “Kalau sama saja duduk, ya di sini saja.”
            “Ayolah, aku bosan berada di kelas.”
            “Kaubawa minum tidak?”
            “Tidak. Aku kan tidak biasa bawa minum.”
            “Aku beli minuman dulu di kantin ya!” Teman lelakinya bangkit dari tempat duduk.
            “Aku ikut!” Gadis itu ikutan berdiri.
            “Tidak usah, aku tidak akan lama.” Langkah teman lelakinya cepat sekali, begitu saja ia sudah mencapai pintu.
            Gadis itu mengejarnya, “Jangan tinggalkan aku…”
            Teman lelakinya sudah menutup pintu dari luar dan terdengar bunyi ‘klik’ tepat ketika gadis itu mencapai pintu. Gadis itu menggerak-gerakkan daun pintu tapi percuma saja, pintu kelas sudah terkunci dari luar. Keempat muka teman-temannya muncul dari jendela di samping pintu, mereka semua mengikik. Teman lelakinya bernama Andi menggoyang-goyangkan sebuah kunci.
            “Bye!!”
            Gadis itu tampak jengkel, ia mengacungkan tinjunya. “Awas saja kalian!”
            Aku masih mengamatinya, ia berkacak pinggang memandangi pintu. Ia mematung dalam posisi seperti itu selama beberapa saat, kemudian ia menoleh ke arahku. Lagi.
            Aku tersenyum kepadanya, ia membalas senyumku meski tampak jengah.
            “Hai!” Aku mencoba menyapanya.
            “Hai!” Balasnya canggung.
            “Apa kau mengenalku?”
            “Ha??” Alisnya terangkat sebelah, tampak terkejut namun tidak terlalu.
            “Namaku Allen.” Aku memperkenalkan diri. Aku menunggu beberapa detik, tapi sepertinya ia tak akan balas menyebutkan namanya. “Baiklah, aku sepertinya mengalami semacam….amnesia. Aku ingat namaku tapi memoriku terlihat gelap. Aku tak bisa mengingat apapun kecuali satu kenangan yang sangat mengerikan. Kupikir aku murid baru karena tampaknya tak seorangpun mengenaliku, makanya aku ingin meyakinkan diriku dengan bertanya padamu.”
            Sekarang kedua alis gadis itu justru bertaut, “Untuk ukuranmu kau banyak bicara.”
            Untuk ukuranku? Apa maksudnya? Dia pasti belum pernah merasakan cedera otak. Ah,  apapun namanya!
            “Jadi apa kau mengenalku?”
            Gadis itu menggeleng pelan, kemudian cepat-cepat. Ia menegaskan, “Tidak, aku tidak mengenalmu sebelumnya.”
            “baiklah, jadi siapa namamu?”
            Ia terdiam.
            Aku menaikkan kedua alisku, meminta jawaban.
            Ia masih terdiam. Mungkin saat kecil ia diajari untuk tidak mudah memperkenalkan diri pada orang asing. Tapi ayolah, aku hanya teman baru di kelasnya. Aku terus menatapnya, ia tampak risih.
            “Franda.” Akhirnya ia mengucapkan enam huruf sakral itu. “Pulanglah!”
            Sungguh gadis yang tidak sopan, setelah mengenalkan diri ia langsung mengusirku. Memangnya sekolah ini milik ayahnya apa? Eh, bisa jadi kan?
            “Bagaimana aku bisa pulang, teman-temanmu kan mengunci pintunya.”
            Ia menghembuskan udara dari mulutnya.
            “Apa teman-temanmu jahat?” Aku kembali bicara.
            Ia mengedikkan kedua bahunya, “Tidak. Mereka teman yang baik.”
            “Lalu mengapa….” Aku belum tuntas bertanya namun langkah-langkah kaki dengan cepat mendekat dan pintu mengeluarkan bunyi ‘klik’, terbuka dan memasukkan empat orang murid ke dalam ruangan.
            “Happy birthday, Franda!” ucap mereka semua. Gadis berambut sebahu membawa sebuah kue cokelat dengan lilin-lilin yang menyala di atasnya.
            Franda tersenyum lalu tertawa kecil, ia pasti bahagia. Teman-temannya mendekat dan menyanyikan lagu ulang tahun. Aku cukup tahu diri untuk tidak mengganggu, aku melangkah dan keluar meninggalkan kelas.
            Ternyata benar koridor panjang ini sepi sekali. Kelas kami menempati sudut paling ujung, sebelum mencapai tangga menuju ke bawah aku harus melewati dua kelas yang sedang direnovasi. Rasa penasaranku membuatku melongok salah satu kelas itu dari jendelanya. Ruangannya besar, mungkin lebih besar dari kelasku. Sudah tidak ada lagi kursi-kursi, hanya ada sebuah lemari berukuran sedang, sebuah meja, dan beberapa balok kayu. Baru dua sisi temboknya yang tampak sudah dicat baru.
            Aku kembali melangkah melewati koridor dan sudah dekat mencapai tangga. Namun kepalaku berdenyut-denyut lagi dan pandanganku berdenyar-denyar menyajikan warna-warni yang memusingkan.
***
            Aku duduk di tepi lapangan basket memandangi sisa-sisa hujan yang menggenang, genting-genting masih basah dan bau tanah sesekali menyeruak. Tiga orang murid perempuan di belakangku sepertinya sedang bercanda, mereka terbahak. Aku menoleh dan melihat mereka saling menggelitik satu sama lain hingga terpingkal. Salah satu dari mereka melepaskan diri, meloncat-loncat, meledek kedua temannya. Gadis itu memancing untuk dikejar, teman-temanya mendekat dan menggelitikinya lagi bahkan salah satu temannya mengacak rambut gadis itu hingga ia menjerit-jerit. Mereka berkejaran di belakangku, gadis itu masih menjerit-jerit sambil meloncat-loncat. Aku memalingkan pandanganku kembali memandangi genangan air, namun suara hentakan kaki mereka terdengar jelas di telingaku. Gadis itu masih saja menjerit malah semakin menjadi, suaranya terdengar seperti lolongan di telingaku.
            Genangan air di lapangan seketika memerah, mengubah wujud menjadi kental. Aku tiba-tiba kembali melihat bercak-bercak darah yang mengumpul malam itu, jeritan kakak memekak di telingaku. Tetes-tetes air yang menimpa tanganku meluncur berwarna merah menuju kukuku dan jatuh ke tanah. Aku bangkit dengan kesal dan menengok ke arah gadis-gadis itu.
            “Apa kalian bisa diam?!” Aku meninggikan suara. Namun tampaknya mereka tenggelam dalam suara mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak mendengarku. Aku tidak tahan lagi dengan jeritan mereka yang membangun kembali tembok-tembok traumaku. Aku berlari, mencari tempat sepi, masuk ke perpustakaan. Aku duduk dan terengah-engah.
            Deru napasku mereda, dadaku sudah mulai tenang kembali. Aura perpustakaan yang senyap sepertinya berhasil menenangkanku. Tidak ada siapapun di sini kecuali aku dan penjaga. Aku mengelilingi rak-rak buku dan melihat-lihat judul buku, judul-judul yang asing karena aku tak ingat satupun judul buku. Aku memilih duduk lagi namun kali ini di pojokan, menghadap pada jendela yang hanya menyajikan pemandangan berupa dinding berlumut. Aku menenggelamkan wajahku pada tumpukan kedua lenganku di atas meja.
            Seseorang bernyanyi pelan. Pasti di dekatku ada murid perempuan yang sedang mencari buku. Aku tidak terusik jadi aku diam saja, tidak tergugah untuk menegakkan kepalaku. Nyanyian itu masih terdengar, mendekat dan mendekat. Apa ia duduk di sampingku? Entahlah, sepertinya tidak. Sejak tadi aku tidak mendengar kursi di sampingku berderit. Suara itu kemudian menjauh, semakin menjauh. Mendekat lagi, menjadi begitu dekat. Menjauh, terdengar sangat jauh, namun sekonyong-konyong mendekat, dekat sekali. Aneh, pikirku. Aku mengangkat kepalaku, penasaran dengan sumber suara. Kukitari ruangan dengan pandanganku, tak ada siapapun di dekatku. Hingga aku terlonjak ketika ku dongakkan kepala.
            Seorang murid perempuan duduk di atas rak buku, matanya menatap langit-langit dengan bibir yang tak henti bernyanyi lirih. Kaki-kakinya bergerak-gerak ringan, memukul-mukul pelan buku-buku di belakang tumitnya. Aku tak habis pikir mengapa penjaga bisa tidak melihat dia ada di sana.
            “Turunlah, kau bisa jatuh!” Ucapku memeringatkan.
            Mulutnya berhenti menyanyi. Ia menatapku lurus dengan tatapan yang runcing. Entah mengapa aku merasakan tengkukku meremang. Ekspresinya sendiri sulit diartikan, ia tidak marah karena teguranku tetapi begitu dingin dan mengeras. Kali ini pandangannya jatuh ke tanah, dengan seringan tisu ia juga menjatuhkan tubuhnya meninggalkan bagian atas rak buku. Alih-alih mendengar bunyi berdebum, aku malah melihat ia ditelan tanah. Tubuhnya menembus tanah. Begitu saja. Aku terkesiap, kedua tanganku mencengkeram erat tepi meja baca yang kupunggungi. Setelah itu dengan aba-aba yang cepat sekali, otakku menyuruh kakiku berlari.
            Aku bersandar pada tiang koridor dengan dada yang naik turun dan napas yang memburu. Apa aku baru saja melihat hantu? Pantas saja penjaga perpustakaan tidak tahu gadis itu duduk di atas sana. Bulu kudukku kembali berdiri jika mengingat kejadian barusan. Samar-samar aku melihat seseorang yang kukenal, ia berjalan semakin dekat ke arahku.
            “Franda!” Aku senang bisa melihatnya. “Kau mau kemana?”
            “Kelas.” Ucapnya sambil tak menyurutkan langkah.
            “Ayo bareng!” Aku mengikuti langkahnya.
            Denyut-denyut itu hadir kembali di kepalaku, dan aku mulai pening karena pandangan yang berdenyar-denyar. Lagi.
***
            Pria bertubuh besar itu merenggut paksa ponsel dari genggamanku, setelah itu ia melemparkanku ke dinding hingga wajahku menghantam keras lantai dengan tertelungkup. Aku merasakan darah mengalir dari hidungku. Hampir saja aku tak punya kekuatan untuk bangkit jika aku tak mendengar jeritan kakak. Ia diseret oleh dua orang sekaligus, setiap kali lantai yang bergesekkan dengan tubuhnya pasti dinodai cecer darah. Ia melawan dengan keras tapi menggunakan perhitungan manapun dua orang lelaki itu lebih kuat darinya.
Aku tak bisa membayangkan mereka melakukan sesuatu yang buruk pada kakak. Aku menerjang dan kami berjibaku, lalu semuanya terasa cepat sekali. Kakak melolong dan aku bisa melihat dengan jelas darah melumuri gaun tidur putihnya.
Aku terbangun dengan jantung yang berdegup begitu kencang. Aduh, mengapa di sini gelap sekali. Aku meraba tubuhku, rupanya aku tertidur masih berseragam sekolah. Aku menyibak tirai untuk mengintip keluar dari jendela, ternyata masih malam. Kusandarkan punggungku pada kepala dipan dan menarik selimut hingga ke pundak. Aku merasa telapak tangan dan kakiku dingin sekali, trauma dan cuaca sepertinya membuatku mimpi buruk. Anehnya aku malah teringat Franda di saat seperti ini. Aku ingin pagi segera tiba, agar aku bisa melupakan mimpi burukku dan bertemu dengan gadis itu.
***
            “Franda!” Ada perasaan tenang yang menelusup dalam diriku tiap kali aku memandang gadis itu dan bisa memanggil namanya. Ia sedang duduk sendiri di bangku kebun sekolah.
            Franda tidak menyahut tapi aku tahu ia telah melihatku. Ia seolah enggan menatapku, mungkin ia tipikal yang terlalu pemalu. Meski aku merasa keenganannya ini karena ingin menjarak, tapi aku tetap saja duduk di sampingnya.
            “Belum pulang?” Tanyaku.
            “Aku masih di sini.”
            Baiklah itu jawaban cerdas dan yang tadi itu pertanyaan bodoh. Kubiarkan beberapa detik mensunyikan kita berdua. Kulihat tidak ada sinyal ia akan berbaik hati membuka percakapan, jadi biarkan aku yang mulai.
            “Kau tahu Franda, aku mengalami cedera otak ya sebut sajalah begitu. Penjahat membenturkan kepalaku ke dinding. Memoriku kehilangan segalanya kecuali namaku dan jeritan kakakku, kejadian berdarah itu.” Aku menghembuskan napas dengan berat, ada sesuatu yang menoreh jantungku begitu dalam namun pelan sekali. Sehingga aku bisa menikmati setiap goresannya. Untuk detik ini Franda menoleh dan menatap mataku, ia tidak melepaskannya.
            Aku melanjutkan kalimatku, “Hingga saat ini aku tidak pernah mengingat detail, sepertinya selama beberapa hari ini ah bahkan aku tidak ingat sudah berapa hari, hanya sedikit sekali yang bisa kuingat. Perkenalan denganmu di hari kau ulang tahun dan ke kelas bersamamu, kemarin mungkin? Aku sepertinya juga kehilangan orientasi terhadap waktu. Oh ya, juga gadis di perpustakaan tapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Maksudku aku ingat wajahnya tapi aku tidak ingat bagaimana ia, apakah duduk membaca buku atau berdiri ketika aku melihatnya.”
            Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan seluruhnya dari mulut, “Seharusnya aku tidak…” ia tidak menghabiskan kalimatnya, gadis itu memejamkan matanya dan menunduk.
            “Apa?” Aku memandangi wajahnya dari sisi.
            Ia menggeleng.
            “Franda!” Terdengar suara seorang lelaki dari seberang kami.
            Franda bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan cepat menghampiri murid laki-laki yang memanggilnya. Aku menatap sosoknya yang menjauh dariku.
***
Franda.
            Aku menaruh cangkir berisi teh itu di atas meja, kemudian membuka biskuit kaleng. “Silakan dicicipi, Andi.”
            Andi menyesap teh hangat buatanku, setelah itu ia berbicara. “Kau mau bicara apa denganku?”
            “Kau tahu aku hanya bisa bercerita tentang ini kepadamu. Tidak pada yang lain, hanya kau yang kupercaya.” Selapis tipis bening air menyelaputi kedua bola mataku.
            “Ceritalah kepadaku, Franda.” Andi menepuk-nepuk bahuku. “Aku sahabatmu sejak lama.”
            “Namanya Allen Cakranestya,” sebulir hangat jatuh ke pipiku. Kulihat mata Andi sedikit membelalak, aku tahu ia terkejut.
            “Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, Andi. Tak akan ada yang lain lagi. Tak akan ada lagi setelah Rivano teman les piano-ku. Aku tak ingin merasakan pilu itu lagi, rasanya begitu menyiksa. Aku lelah dengan semua itu, rasanya kebahagiaan tersedot dari dalam diriku dan aku tidak ingin mengalami itu lagi. Aku ingin mengatakan cukup, cukup pada diriku. Tapi perang dalam dadaku selalu dimulai lagi.”
            “Kau memberitahu namamu?” Andi mengernyitkan keningnya.
            Aku mengangguk, “Dorongan itu selalu tak tertahankan. Dan kali ini sangat kuat.”
            “Kapan?”
            “Empat hari yang lalu, ketika kalian meninggalkanku di kelas untuk membeli kue ulang tahun.”
            “Ya Tuhan.”
            “Aku sudah memulainya, Andi. Aku pun yang harus mengakhirinya. Tapi aku bukan malaikat, apakah aku egois?”
            Andi menggeleng, “Aku akan membantumu.”
***

Penulis: Aya Sofi Rumaisha



6 komentar:

  1. Pengen tau kelanjutan ceritanya

    BalasHapus
  2. Nyesel deh bacanya jam dua pagi. Haha.
    You know how to make people wondering. Memberikan Informasi yang cukup sehingga pembaca mulai bertanya-tanya kemudian berspekulasi, dan tak sabar untuk baca kelanjutannya untuk mengkonfirmasi spekulasi itu.

    BalasHapus
  3. Susah uy bikin cerpen horor yg nakutin tuh. Thanks for appreciate it :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, susah, ya. saya juga pengen belajar, euy. hihi

      Hapus