Memancing Hatimu di Situ Patenggang


“Kang, nanti pulangnya jangan terlalu malam, ya?” kata Dinda yang sedari tadi membantu menyiapkan alat mancing yang akan digunakan sang suami.
“Iya, Neng. Akang usahakan jam 4 sore sudah pulang, Neng jangan khawatir,jawab Marwan menenangkan.
“Baiklah. Sudah siap semua, Kang?”
“Siap!” jawabnya mantap.
“Akang sepertinya sangat senang ya?”
“Tentu saja, Neng. Sudah lama akang tidak memancing. Kali ini, pasti akan sangat menyenangkan, karena selain untuk syukuran, akang akan bernostalgia dengan teman-teman akang yang lain,jelasnya penuh semangat.
Dinda hanya tersenyum. Lalu segera pergi ke dapur untuk mengambilkan secangkir kopi pekat untuk suaminya. Marwan sangat menyukai kopi pekat, sudah menjadi kebiasaan jika akan pergi ke luar rumah harus diseduhkan kopi pekat oleh istrinya.
“Ini, Kang. Kopinya.” Sambil meletakkan kopi dan tersenyum. Namun, hati Dinda masih dibaluti rasa cemas dan khawatir, kepergian suaminya untuk memancing ikan nilem di Situ Patenggang kali ini tidak seperti biasanya. Wajar saja, beberapa waktu yang lalu Situ Patenggang mengalami luapan air yang cukup tinggi dan menggenangi tempat warga sekitar, dipercayakan bahwa itu terjadi karena tidak dilakukan syukuran pada awal pertengahan tahun, seperti yang sudah terjadi pada tahun 1998 dan 2002. Kini sudah memasuki bulan Maulud, pertanda bahwa keluarnya ikan-ikan nilem yang sebagian besar masyarakat sekitar akan memancingnya. Bersama ketua Kompepar Mikadeudeuh Situ Patenggang, Abah Ebed dan masyarakat sekitar Situ, akan diadakan syukuran.
Syukuran ini lebih kepada tasyakur, penghargaan terhadap ekosistem yang mengarah pada lingkungan Situ Patenggang yang mempunyai daya tarik masyarakat untuk memancing. Namun, ketika banyak yang dipancing, harus ada yang dikembalikan. Itu semua merupakan kearifan lokal yang sudah dilakukan sejak tahun 1970-an. 
Kegiatannya juga berupa laporan Kompepar, dzikir bersama, tausiah, tabur ikan mas, dan rencak tiga tumpeng. Untuk rangkaian rencak tiga tumpeng, angka tiga berarti air, tanah dan hutan. Ini potensi alam yang juga menjadi sumber kehidupan manusia. Filosifis tabur ikan mas merah itu juga menandakan ciri kejayaan dan keberkahan masyarakat Sunda, sedangkan emas adalah barang yang mulia.
“Neng, kopinya manis,kata Marwan sambil memandang istrinya itu.
“Oh? Maaf akang, terlalu banyak ya gulanya? Mau Neng buatkan yang baru?” jawab Dinda merasa bersalah.
“Tidak usah. Kopinya terlalu manis bukan karena banyak gulanya. Tapi, mungkin karena akang meminumnya sambil memandang wajah Neng.” Jelas Marwan mesra.
“Ih, akang mah,sahut Dinda dengan muka memerah.
Marwan pun terlihat senang dan semakin kagum dengan istrinya yang baru dinikahinya 2 bulan yang lalu. Mereka dipertemukan di Batu Cinta yang terletak di kaki gunung Patuha yang udaranya sejuk serta panorama alamnya yang indah dan terbentang sebuah danau yang disebut Situ Patenggang ini.
Mitos masyarakat sekitar bahwa Batu Cinta yang kini menjadi tempat paling banyak dikunjungi wisatawan itu adalah saksi bisu dipertemukannya dua insan yang telah lama berpisah, yaitu Ki Santang dan Dewi Rengganis.
 “Kang, seandainya Neng bisa ikut akang ke Situ.”
“Tidak usah, kekhawatiranmu begitu besar, Neng. Akang pergi ke Situ juga tidak sendirian. Neng kan sedang hamil 2 minggu, sebaiknya diam saja di rumah, tunggu akan pulang, ya?” jawab Marwan sambil mengusap kepala istrinya itu,
“Iya, Kang. Tapi....”
“Kenapa, Neng?” tatap Marwan penuh kasih.
“Neng khawatir akang memancing ikan-ikan yang lain. Seperti yang akang lakukan dulu terhadap Neng,jelasnya pelan namun Marwan langsung tersentak dan mengerti arah pembicaraan sang istri.
Astagfirullah, Neng,ucapnya kaget dan sontak meletakkan tubuhnya duduk di lantai menghadap istrinya. “Apakah Neng ketakutan bahwa akang akan selingkuh?”
Dinda hanya menunduk.
“Neng, dengar Akang. Maafkan Akang jika terlalu berlebihan mengekspresikan rasa senang Akang, sehingga Neng mengira Akang akan berbuat macam-macam. Maafkan Akang, Neng. Sungguh, tidak ada niatan sedikit pun untuk Akang membuat Neng kecewa.”
“Iya. Neng percaya, Insyaa Allah.”
“Tolong, Neng, jangan memberikan keraguan dalam memercayai Akang. Percayalah sepenuhnya.”
“Neng akan percaya sepenuhnya sama Allah, hanya Allah Yang Tahu.”
“Maka, doakan Akang.”
“Pasti, Kang.”
Marwan memeluk sang istri. Air mata Dinda kemudian jatuh membasahi pipinya. Bagaimana Ia bisa yakin dengan kata-kata suaminya tersebut, sedangkan dulu dia berperan sebagai ‘ikan’ lain yang tidak sengaja memakan kail dari sang suami yang dulu masih berstatus suami orang.
“Hati-hati, ya, Kang.” Sambil mengeratkan pelukan suaminya, erat sekali. “Eh, akang mau makan apa sehabis pulang nanti?” Kata Dinda sambil mengusap air matanya.
“Mmm... Akang mau nasi liwet, Neng. Kan nanti akang pulang bawa ikan nilem yang banyak. Neng siapkan bumbunya, ya?”
“Siap, Kang. Ikannya jangan banyak-banyak, sedikit pun tak apa, asal ikannya untuk dimakan kita berdua, bukan hanya untuk Akang.” Celetuknya lembut.
Marwan tersenyum. “Iya, Sayang,jawabnya disusul ciuman di kening sang istri. [ ]

Cerpen ini menjadi nominator lomba cipta cerpen bertema kearifan lokal dan dibukukan dalam bentuk antologi yang berjudul APAM (FAM Publishing, 2014)  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar