Toko paman Budi yang kujaga siang
ini ramai sekali, bahkan ada beberapa pembeli yang tak kukenali wajahnya.
Sepertinya banyak dari mereka yang bukan warga kampungku, terbukti dengan
penampilan mereka yang cukup perlente. Tapi ada satu hal yang membuatku
bertanya-tanya, mengapa kebanyakan yang dibeli adalah sebotol air mineral?
Ketika liburan kuliah tiba dapat
dipastikan aku akan kembali ke kampung halamanku. Untuk mengisi waktu biasanya
aku membantu bapak di sawah sampai tengah hari, setelah itu menjagai toko
pamanku hingga asar.
Pembeli masih juga berdatangan
padahal waktu salat asar telah tiba,aku harus segera ke masjid dan menutup toko
hingga Rangga anak paman Budi menggantikanku menjaga toko.
“Air mineralnya sebotol, Mas!” Dua orang ibu-ibu
meneriakkan pesanan yang sama padaku seraya mengacungkan telunjuk tangan kanan
mereka.
“Tapi tokonya mau tutup, Bu! Nanti habis salat buka
lagi!” Seruku, lagipula aku sudah ambil air wudu.
“Cepatlah Mas, butuhnya sekarang kok!” Ibu-ibu itu
memaksa, sedangkan iqamat telah berseru.
“Uang pas ya, Bu!” Aku menyorongkan dua botol
mineral dan mengambil uangnya. Segera kututup rolling door toko dan setengah berlari ke arah masjid. Salat telah dimulai.
Aku heran kenapa rumah di seberang
masjid itu penuh sekali, tapi aku tak punya waktu untuk bertanya-tanya. Aku
segera bergabung ke dalam barisan salat laki-laki yang kutaksir jumlahnya
paling hanya belasan orang.
***
Samar-samar aku mendengar obrolan
ibu dengan tetangga sebelah di teras ketika melintasinya menuju rumah.
“Awalnya bagaimana kok bisa begitu?”
Suara ibu terdengar penasaran.
“Katanya setelah bermain di sungai
anak itu dapat batu, ternyata batu itu bisa menyembuhkan segala penyakit!”
Aku menduga itu pasti berita dari
televisi, bukankah kulit pisang berwajah manusia saja bisa jadi berita? Lucu
sekali.
Kakak perempuanku yang sedang
menyuapi anaknya menyapaku ketika aku duduk di ruang tengah, “Toko paman Ali
ramai, Di?”
“Lebih ramai dari biasanya Kak, tapi
kebanyakan cuma beli air mineral!”
“Ada-ada saja ya, Di.”
Aku benar-benar tidak paham dengan
maksud kakakku, apanya yang ada-ada saja?
“Apanya, Kak?” Aku mengerutkan
kening.
“Memangnya kamu belum dengar, Di?
Kalau Ponirah anaknya ibu Sanirah itu sekarang bisa menyembuhkan orang,” papar
kakakku. Anaknya terus saja meraih-raih sendok berisi bubur di tangannya,
keponakanku ini memang tidak bisa diam.
Setahuku si Ponirah itu masih kecil,
ingusan dan suka main di sungai jadi tak mungkin kalau dia tiba-tiba jadi
dokter kan?
“Kok bisa kak?” Tanyaku.
“Katanya dia menemukan batu antik di
sungai, terus batunya malah dia cemplungin
ke bak kamar mandi. Ternyata adiknya yang kudisan itu tiba-tiba sembuh, jadi
warga kampung tahunya itu batu bisa menyembuhkan,” tukas kakakku.”Sekarang
kayaknya orang luar kota juga sudah banyak yang tahu.”
Sekarang aku mengerti mengapa
orang-orang itu ramai-ramai membeli air mineral.
***
“Andi!”
“Andi!”
Panggilan ibuku membangunkanku yang tertidur
di kursi selepas dari sawah bersama bapak, sambil menunggu azan zuhur biasanya
aku beristirahat sebentar di rumah.
“Iya, Bu!” Aku segera
menghampirinya. Ibu menungguku di dapur sambil merapatkan tutup botol yang
berisi air putih.
“Kamu pergi ke rumahnya bu Sanirah
ya, minta si Ponirah celupin batunya
ke sini!” Peritah ibu dengan memberikan sebotol air putih yang sedari tadi
digenggamnya.
Aku sudah tahu cerita mengenai si
Ponirah itu dari kakakku, aku paham apa yang diinginkan ibu.
“Maaf Bu, tidak bisa!” Aku tegas
menolak.
“Eh, Mengapa?” Air muka ibu langsung
berubah ketika aku ‘berani’ menolaknya. “Ini buat bapakmu lho, biar encoknya
itu hilang!”
“Nanti biar Andi ajak bapak ke Puskesmas,
Bu!” Aku menawarkan solusi lain.
“Buat apa ke Puskesmas, mending minta disembuhkan si Ponirah saja!” Elak
ibu. “Dia kan sekarang punya batu penyembuh!”
“Musyrik Bu, tidak boleh! Itu
namanya khurafat!”
Sepertinya ibu mulai naik pitam,
“Ini anak mulai berani melawan orangtua ya?!”
***
Kakakku tertawa pelan, “Habis kalau kamu mau kasih tahu ibu itu ya
pelan-pelan, Di!”
“Tapi kan itu haram kak, percaya pada kekuatan
selain Allah!” Cetusku.
“Iya Di, kakak paham kok. Tapi kalau sama ibu kamu
pakai istilah yang mudah dipahami, kamu bilang saja itu takhayul dan itu
dilarang agama,” kakak menepuk pundakku. “Kamu tahu nggak tadi ibu merepet, ‘Kurapat, kurepet. Di sekolahkan
tinggi-tinggi jadinya sok pintar!’”
Aku tersenyum kecut mendengar cerita kakak.
“Tantangan dakwah, Di!” Kakakku tersenyum.
“Bicaralah dengan bahasa kaum dan jangan bersikap keras. Kalau tidak, mereka
akan lari.”
***
Selepas salat asar aku sempat
duduk-duduk di halaman masjid, kebetulan pak RW juga duduk tidak jauh dariku.
“Pak, mengapa kegiatan penyembuhan si Ponirah itu
tidak dihentikan saja?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Kenapa harus dihentikan? Kan bagus kalau masyarakat
pada sehat?” Tanggap pak RW.
“Tapi kan itu namanya berharap pada kekuatan selain
Allah, Pak.” Ujarku. “Padahal kan yang menyembuhkan itu cuma Allah.”
“Dik Andi, dengar ya. Batu itu yang menciptakan
siapa? Allah kan? Jadi batu itu cuma jadi perantara saja, yang menyembuhkan ya
tetap Allah.” Itulah argumen pak RW.
“Tapi orang-orang percayanya batu itu yang
menyembuhkan Pak, bukan yang menciptakannya.”
“Eh, siapa bilang?!”
***
Kakaku kembali tertawa mendengar
ceritaku, aku menghela napas mengingat argumen pak RW.
“Berilah pelajaran dan nasihat
dengan hikmah, Di.” Tutur kakakku. “Di, mengapa kaum Quraisy pada saat
Rasulullah berdakwah lebih sering disebut kaum musyrik daripada kafir?”
Aku berpikir sebentar, “Karena
mereka masih menganggap benar ajaran yang dibawa Ibrahim, hanya saja mereka
beribadah kepada Allah dengan perantaraan berhala.”
“Persis Di, seperti itulah. Islam
turun untuk memurnikan keesaan Allah yang sebelumnya telah ‘dinodai’ oleh
pemikiran-pemikiran semacam yang diyakini kaum musyrik Quraisy bahkan oleh
Ahlul Kitab sendiri.” Papar kakakku seraya menyisir rambutnya yang sedari tadi
sibuk di acak-acak oleh anaknya dalam pangkuan. “Laa Illaha illallah, jika Allah berarti Tuhan yang Mahamenciptakan,
maka Illah berarti Tuhan yang menjadi tempat bergantung. Syahadat bermakna
bahwa kita mengakui bahwa tiada tempat bergantung selain Allah.”
***
Semakin hari orang-orang semakin
ramai mendatangi rumah bu Sanirah, tidak hanya orang-orang yang berharap
kesembuhan tapi juga wartawan surat kabar bahkan wartawan televisi nasional. Si
Ponirah sekarang lebih terkenal daripada pemenang pertama lomba menyanyi
tingkat kelurahan.
Dari teras masjid aku mendengar
keriuhan mereka, beberapa dari mereka bahkan berkata,
“Anak ini benar-benar bagai
mukjizat…”
“Batu mukjizat yang ditemukan
anak ini…”
“Sungguh luar biasa dan ajaib
sekali….”
Aku kembali ke dalam masjid,
tidak tertarik bergabung dalam keramaian yang ada. Mereka menyebut mukjizat. Ah, mukjizat. Aku melangkah menuju rak di
samping kanan masjid dan mengambil salah satu kitab yang berderet itu, tulisan ‘Laa yamassuhu illal muthaharun’[1]
dan ‘Tanzilul mirrabbil’alamiin’[2]
menyapaku di bagian sampulnya. Mukjizat ini kini lebih sering berdebu di
dalam rak.
Penulis
: Aya Sofi Rumaisha
*Cerpen
ini dibuat sekitar tiga tahun yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar