Pandangan mata kalian dengan rajin
menjilati sekujur tubuhku. Dari mulai ujung cabang-cabang rambut sampai
penghabisan jempol kaki tak ada yang lumut dari selidik picik penuh
penghakiman. Kalian menilaiku dari apa yang kalian lihat, menggunakan standar
yang kalian nilai paling benar. Padahal kebenaran yang kalian puja belum tentu
berlaku buatku. Iman yang menghunjam dalam dada kalian belum tentu menggetarkan
kalbuku. Dan mata yang kalian jadikan alat untuk melihat hanya mampu mendarat di lapisan
terluar kulit. Kalian tak tahu
ceritaku, tapi kalian dengan lihai menilaiku.
Kalian memaksaku menjadi replika kalian
dan nilai-nilai yang kalian junjung. Tanpa peduli keberadaanku sebagai individu
yang terpisah, bebas, dan mandiri. Mahluk yang punya kehendak sendiri. Aku,
sama juga seperti kamu, dan kalian, dipaksa menjadi homogen. Menghilangkan
warna yang masing-masing kita bawa untuk menjadi seragam. Dan ketika aku
menolak, aku dicurigai, dihakimi. Tidak sesuai tatanan, merusak norma, dan
seterusnya.
Aku menjadi sasaran tatapan liar kalian.
Membuatku merasa bersalah karena menjadi diriku sendiri. Kalian membuatku
merasa tak berarti. Aku harus bunuh diri, melenyapkan identitas diri yang
kukenal dan mengkonversinya ke dalam versi yang cocok dengan definisi kalian
tentang normal dan wajar. Aku dibunuh demi sebuah kenormalan yang kalian
agung-agungkan. Perbedaan menjadi tumbal bagi terciptanya dunia monokromatik.
Dan menjadi berbeda—baik karena dilahirkan ataupun dijadikan—akan menjadi
siksaan seumur hidup.
Tapi aku tak berharap kalian mau mengerti.
Kalian tak pernah menjadi aku.
***
Setelah berbagai teknik make up ternyata
masih belum cukup, aku putuskan untuk operasi plastik. Sedot lemak, potong
rahang, suntik hidung, dan tarik benang. Aku kini menjadi cantik. Sesuai
tuntutan kalian. Hidung mancung, dagu runcing, kulit putih dan kencang. Tak ada
yang kurang. Tapi semua tetap salah.
Ketika wajahku masih alami, kalian
memanggilku dengan sebutan “Si Hitam”. Aku diolok-olok di depan kelas, diejek
di kantin sekolah. Bukan hanya oleh satu atau dua orang, melainkan satu
sekolah. Tak enak menjadi jelek. Tak ada yang mau berbagi bangku denganku.
Selalu dijadikan buangan jika harus kerja kelompok. Kalian lebih senang bermain
dengan gadis-gadis cantik itu. Yang hidungnya mancung, dagunya runcing,
badannya langsing, kulitnya putih bersih, sudah begitu sejak lahir. Seharusnya
mereka tak perlu dipuji, karena kecantikan itu bukan mereka yang bikin sendiri.
Dunia menutup matanya bagi orang-orang
buruk rupa. Aku disimpan di bagian paling gelap sebuah restoran. Tak boleh
kelihatan oleh pelanggan karena bisa membuat mereka kehilangan nafsu makan.
Kami hanya diterima sebagai penyapu lantai, pembersih kamar mandi. jika
kebetulan kepala jelek ini menyimpan otak yang lumayan, mungkin masih ada
harapan kami bisa naik jabatan. Tapi itu pun harus dengan perjuangan
mati-matian. Tak seperti si cantik yang dengan mudah melenggang ke ruangan
atasan dan keluar sudah berganti jabatan. Mungkin jadi sekertaris pribadi, atau
istri simpanan.
Dan kini ketika aku berusaha dengan upaya
sendiri untuk mempercantik diri kalian kutuk aku sebagai manusia yang melawan
kodrat Tuhan. Jadi maksud kalian, aku memang dikodratkan untuk dihina? Dibully?
Dijadikan bahan olokan dan selalu disimpan di tempat paling belakang? Itukah
kodratku? Aku harus tetap menjadi si buruk rupa yang bisa kalian jadikan bahan
tertawaan. Begitukah seharusnya?
Seharusnya Tuhan tak perlu tersinggung.
Aku hanya memperbaiki apa yang menurutku bisa disesuaikan. Bukan menurut
keinginanku, tapi sesuai dengan kehendak kalian. Manusia-manusia yang terobsesi
dengan keindahan artifisial. Pajangan. Cangkang. Yang pada akhirnya akan lenyap
di makan cacing.
Jelek dihina, dandan ditertawakan, dan
memilih operasi plastik justru malah dikutuk. Jadi jelek itu serba salah, serba
disalahkan. Tapi aku tak berharap kalian mengerti, kalian tak pernah jadi aku.
***
Saya laki-laki yang kebetulan sedang jatuh
cinta dengan lelaki lain. Bukan berarti saya tak bisa jatuh cinta pada
perempuan. Tapi ketika rasa cinta itu mulai ada saya tak keburu mengecek ulang,
makhluk yang membuat saya terpesona itu menyimpan apa di balik celananya, penis
atau vagina. Karena yang saya suka bukan kelaminnya, melainkan entitas yang ada
di balik tubuh yang ia bawa. Hati yang menggerakan perasaannya, pikiran yang
mengomandoi tindakan-tindakannya. Gelak tawanya, pemikiran kritisnya, selera
humornya, dan kebaikan lakunya. Dan bagi saya,
itu semua jelas tak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kecuali jika ada orang
yang berbicara dengan penisnya, atau tertawa melalui vaginanya.
Tapi kalian berkata lain. Kalian
menganggapku anomali, penyimpangan. Padahal jatuh cinta pada lelaki tak lantas
membuatku menjadi beringas, gesit mencari korban lelaki untuk dinikmati. Aku
jatuh cinta tetap pakai etika. Bahkan mungkin lebih kolot dari kalian yang
berbeda jenis kelamin. Kami bahkan belum pernah bergenggam tangan.
Lalu muncul tuduhan lain, kalian bilang
kami menyalahi aturan, menggagalkan misi esensial manusia yaitu untuk
mempertahankan keberlangsungan spesiesnya. Ya, aku mengerti. Kalian mungkin
menganggap Tuhan menciptakan Adam dan Hawa hanya untuk berkembang biak, beranak
pinak seperti ternak. Dan bumi tak lebih dari sekedar kandang penangkaran
manusia. Aku bisa bilang apa, jika memang itu yang kalian percaya. Tapi semua
orang bisa punya pandangan yang berbeda-beda, sepertinya itu yang selalu kalian
lupa.
Kalian menyamakan kami dengan binatang,
karena menyukai sesama jenis. Bagi kami, justru itulah yang membedakan manusia
dengan binatang. Kami tak saling jatuh cinta hanya karena perlu mempertemukan
sperma dengan pasangannya demi terjadi proses pembuahan, agar bisa membuat
anak, untuk mempertahankan garis keturunan. Kami jatuh cinta tanpa mengharap
imbalan apa-apa, tanpa transaksi apa-apa. Tidak dalam bentuk anak atau apa pun.
Saya berani bertaruh, perasaan cinta yang
kami miliki tak akan kalah jika diadu ketulusannya dengan cinta yang kalian
punya. Tapi saya tak berharap kalian mengerti. Kalian tak pernah menjadi kami.
***
Saya diperkosa oleh seorang sopir angkot
dan kernetnya. Malam-malam sepulang kerja. Dengan susah payah saya pulang ke
rumah setelah digilir oleh mereka berdua. Tapi yang saya terima di rumah seolah
menumbuk hati saya yang telah hancur hingga menjadi serbuk yang kemudian hilang
dalam sekali tiup. Kalian ternyata malah menyalahkan saya.
Kalian bilang rok yang saya pakai terlalu
pendek. Kalian bilang riasan saya terlalu mencolok. Pantas jika orang
menjadikan saya target kekerasan seksual. Saya menjadi bulan-bulanan kalian
justru di saat saya membutuhkan perlindungan dan pertolongan. Kalian hanya
bilang bahwa semua akan membaik seiring waktu. Sambil tak henti-hentinya
mengingatkan saya untuk memakai rok yang lebih panjang, dan melarang saya
memakai riasan tebal. Sedangkan para pemerkosa itu tak pernah berusaha dikejar.
Saya jadi bertanya-tanya sebenarnya yang salah siapa?
Saya dibungkam, tak boleh melapor kepada
yang berwajib karena jika berita pemerkosaan saya tersebar, keluarga akan
menanggung malu yang teramat besar. Sedangkan luka dan trauma yang saya derita
tidak menjadi bahan pertimbangan, tidak kalian pedulikan.
Saya tak keberatan memakai baju serba
tertutup, jilbab atau bahkan niqab jika perlu. Karena pertimbangan saya memilih
baju bukan untuk pamer paha pada pria, melainkan pertimbangan kenyamanan
semata. Jika mengganti cara berpakaian bisa menjadi garansi bagi keamanan saya,
saya akan dengan senang dan ringan hati mengganti baju. Tapi saya ragu. Kain
bisa dirobek, pakaian bisa dicopot. ketika niat buas para penjahat itu siap
menerkam, akankah seratus lapis pakaian mampu menyelamatkan kehormatan saya?
Jadi yang perlu diperbaiki itu siapa?
Pakaian saya atau nafsu bejat mereka?
Bisakah kalian, yang tak pernah menjadi
saya, bantu menjawab?
***
Saya bunuh diri dua hari yang lalu. Mayat
saya yang sudah mulai berbau baru diturunkan dari gantungan. Saya bukan tak
sempat menulis surat, saya sengaja tak melakukannya. Karena sejauh yang saya
tahu, itu akan sia-sia. Bahkan ketika saya masih hidup kalian tak pernah
punya waktu untuk mendengar. Apalagi sekarang, ketika saya sudah tiada,
permasalahan saya sudah tak ada artinya lagi bagi kehidupan kalian. Tinggal
dimakamkan saja, maka hilanglah saya dari kehidupan ibu dan bapak.
Orang bilang saya akan masuk neraka karena
menyalahi aturan Tuhan. Tapi bagi saya, hidup di dunia pun sudah terasa seperti
neraka. Lantas, apa bedanya? Neraka saya hanya sekedar berganti dimensi.
Ketika saya pulang dari sekolah dengan
perut lebam habis dihajar teman-teman sekelas, bapak dan ibu tidak terlihat
gusar. Kalian hanya melihatnya sebagai sebuah kenakalan bocah belaka. Bukan
peringatan tentang tindakan penganiayaan. Ibu dan Bapak malah menyalahkanku
karena tidak melawan. Bapak bilang aku banci, pengecut. Nyali yang kupunya semakin
ciut. Kalian menyuruhku bangkit. Kalian menyuruhku tegar. Tapi kalian tak
mengerti berat beban yang saya tanggung.
Saya mulai menarik diri. Saya berhenti
bicara di sekolah. Guru-guru seolah berbicara dengan bahasa yang tiba-tiba
berbeda, hingga saya tak lagi mengerti
apa-apa. Saya hanya bisa duduk di pojok kelas. Pasrah dihajar ejekan yang
datang dari semua sudut dalam kelas. Saya tak ingin sekolah. Saya tak ingin
belajar. Saya hanya ingin kembali ke rumah. Bersembunyi di bawah kolong tempat
tidur, sebagaimana layaknya seorang pengecut.
Dan ketika saya ingin bercerita, kalian
tak pernah ada. Ketika saya butuh tempat bernaung, kalian tak acuh. Ketika saya
butuh perlindungan dan dukungan, kalian tak pernah datang. Akhirnya saya
beranikan diri untuk menarik kesimpulan: saya tak berarti. I am worthless. Dan karena itu saya memilih pergi.
Seandainya bisa, saya ingin menguburkan
jasad saya sendiri. Tapi sepertinya, untuk urusan itu saya masih harus
merepotkan ibu dan bapak. Saya
mohon maaf.
***
Read more: Lady GaGa - Till It Happens To You Lyrics | MetroLyrics
TILL IT HAPPENS TO YOU – LADY GAGA
You tell me "it gets better, it gets better,
in time"
You say I'll pull myself together, pull it together,
"You'll be fine"
Tell me what the hell do you know,
What do you know,
Tell me how the hell could you know,
How! could you know
in time"
You say I'll pull myself together, pull it together,
"You'll be fine"
Tell me what the hell do you know,
What do you know,
Tell me how the hell could you know,
How! could you know
Till it happens to you, you don't know
How it feels,
How it feels.
Till it happens to you, you won't know
It won't be real
No It won't be real
Won't know how it feels
How it feels,
How it feels.
Till it happens to you, you won't know
It won't be real
No It won't be real
Won't know how it feels
You tell me "hold your head up"
Hold your head up and be strong
Cause when you fall, you gotta get up
You gotta get up and move on."
Hold your head up and be strong
Cause when you fall, you gotta get up
You gotta get up and move on."
Tell me, how the hell
could you talk,
How could you talk?
Cause until you walk where I walk,
It's just all talk.
How could you talk?
Cause until you walk where I walk,
It's just all talk.
Till it happens to
you, you don't know
How it feels,
How it feels.
Till it happens to you, you won't know
It won't be real (how could you know?)
No It won't be real (how could you know?)
Won't know how I feel
How it feels,
How it feels.
Till it happens to you, you won't know
It won't be real (how could you know?)
No It won't be real (how could you know?)
Won't know how I feel
Till your world burns
and crashes
Till you're at the end, the end of your rope
Till you're standing in my shoes, I don't wanna hear nothing from you
From you, from you, cause you don't know
Till you're at the end, the end of your rope
Till you're standing in my shoes, I don't wanna hear nothing from you
From you, from you, cause you don't know
Till it happens to
you, you don't know
How I feel
How I feel
How I feel
Till it happens to you, you won't know
It won't be real (how could you know?)
No It won't be real (how could you know?)
Won't know how It feels
How I feel
How I feel
How I feel
Till it happens to you, you won't know
It won't be real (how could you know?)
No It won't be real (how could you know?)
Won't know how It feels
Till it happens to
you, happens to you,
Happens to you.
Happens to you, happens to you,
Happens to you ( how could you know?)
Happens to you.
Happens to you, happens to you,
Happens to you ( how could you know?)
Till it happens to
you, you won't know how I feel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar