Allen.
Aku
pasti pindah sekolah, semuanya terasa asing bagiku. Tapi perasaan asing ini
mungkin bukan parameter yang benar, selain aku yang merasa asing semua murid di
kelas ini pun sepertinya mengasingkanku. Mungkin itu terdengar kejam, baiklah
mari perhalus sedikit, mereka belum mengenalku. Aku mungkin saja murid baru.
Kepalaku sering berdenyut-denyut, bertalu-talu
menyakitkan. Sepertinya inilah alasan mengapa hanya dua hal yang bisa aku
ingat, pertama namaku sendiri, kedua adalah jeritan kakak perempuanku di malam
kematiannya. Aku mengingat namaku sendiri mungkin karena kakakku menyebut
namaku dalam jeritannya, jadi sebenarnya apa yang bisa aku ingat dapat
diringkas menjadi satu hal saja, jeritan kakak perempuanku di malam
kematiannya.
Aku sudah dua kali menangkap tatapan gadis itu, sekarang
aku yakin sekali bahwa ia menoleh ke arahku bukan tembok di belakangku atau
jendela di samping kiriku. Ia menengok lagi kepadaku, ketiga kalinya, mata kami
bertemu dan ia cepat-cepat membalikkan lagi pandangannya.
Jam pelajaran telah usai, ada udara kesenangan yang
menghembus ke atmosfer. Semua murid mengemasi buku-buku mereka, beberapa
melakukannya dengan cepat. Aku sama sekali tidak tertarik bergabung dalam
euforia itu, untuk apa? Aku bahkan tidak tahu harus pulang ke mana. Mungkin
seseorang akan menjemputku, jadi menunggu saja sepertinya adalah pilihan tebaik
bagiku.
Semuanya keluar meninggalkan kelas, kecuali lima orang.
Mereka sama sekali tidak beranjak dari kursi walaupun meja mereka sudah rapi.
“Ayo kita pulang!” Ucap gadis yang menoleh tiga kali ke
arahku sepanjang hari ini.
“Nanti ah, aku masih ingin di sini.” Temannya, gadis
berambut sebahu menyahut.
“Iya, santai saja!” Seorang teman lelakinya menjawab. “Di
bawah pastinya masih ramai.”
“Tapi di sini sudah sepi, ini kan kelas satu-satunya di
lantai ini.” Gadis yang menoleh ke arahku bicara lagi.
“Ah kau takut ya pada dua kelas yang masih direnovasi di
samping kelas kita?” Seorang gadis berpostur tinggi tampak menggodanya.
Gadis yang menoleh ke arahku itu mendengus kesal.
“Aku ingin menelepon, aku di luar sebentar ya!” teman
lelakinya yang lain tiba-tiba berbicara sambil berdiri, lalu pergi keluar
meninggalkan kelas.
“Violin, antar aku ke toilet!” Ucap gadis berambut sebahu
pada gadis berpostur tinggi seraya menarik pergelangan tangannya.
“Ah kau juga penakut,” ucap gadis berpostur tinggi tampak
malas-malasan.
“Andi, ayo kita duduk di luar!” ucap gadis yang menoleh
ke arahku pada teman lelaki yang duduk di depannya.
“Kalau sama saja duduk, ya di sini saja.”
“Ayolah, aku bosan berada di kelas.”
“Kaubawa minum tidak?”
“Tidak. Aku kan tidak biasa bawa minum.”
“Aku beli minuman dulu di kantin ya!” Teman lelakinya
bangkit dari tempat duduk.
“Aku ikut!” Gadis itu ikutan berdiri.
“Tidak usah, aku tidak akan lama.” Langkah teman
lelakinya cepat sekali, begitu saja ia sudah mencapai pintu.
Gadis itu mengejarnya, “Jangan tinggalkan aku…”
Teman lelakinya sudah menutup pintu dari luar dan
terdengar bunyi ‘klik’ tepat ketika gadis itu mencapai pintu. Gadis itu
menggerak-gerakkan daun pintu tapi percuma saja, pintu kelas sudah terkunci
dari luar. Keempat muka teman-temannya muncul dari jendela di samping pintu,
mereka semua mengikik. Teman lelakinya bernama Andi menggoyang-goyangkan sebuah
kunci.
“Bye!!”
Gadis itu tampak jengkel, ia mengacungkan tinjunya. “Awas
saja kalian!”
Aku masih mengamatinya, ia berkacak pinggang memandangi
pintu. Ia mematung dalam posisi seperti itu selama beberapa saat, kemudian ia
menoleh ke arahku. Lagi.
Aku tersenyum kepadanya, ia membalas senyumku meski
tampak jengah.
“Hai!” Aku mencoba menyapanya.
“Hai!” Balasnya canggung.
“Apa kau mengenalku?”
“Ha??” Alisnya terangkat sebelah, tampak terkejut namun
tidak terlalu.
“Namaku Allen.” Aku memperkenalkan diri. Aku menunggu
beberapa detik, tapi sepertinya ia tak akan balas menyebutkan namanya.
“Baiklah, aku sepertinya mengalami semacam….amnesia. Aku ingat namaku tapi
memoriku terlihat gelap. Aku tak bisa mengingat apapun kecuali satu kenangan
yang sangat mengerikan. Kupikir aku murid baru karena tampaknya tak seorangpun
mengenaliku, makanya aku ingin meyakinkan diriku dengan bertanya padamu.”
Sekarang kedua alis gadis itu justru bertaut, “Untuk
ukuranmu kau banyak bicara.”
Untuk ukuranku? Apa maksudnya? Dia pasti belum pernah
merasakan cedera otak. Ah, apapun
namanya!
“Jadi apa kau mengenalku?”
Gadis itu menggeleng pelan, kemudian cepat-cepat. Ia
menegaskan, “Tidak, aku tidak mengenalmu sebelumnya.”
“baiklah, jadi siapa namamu?”
Ia terdiam.
Aku menaikkan kedua alisku, meminta jawaban.
Ia masih terdiam. Mungkin saat kecil ia diajari untuk
tidak mudah memperkenalkan diri pada orang asing. Tapi ayolah, aku hanya teman
baru di kelasnya. Aku terus menatapnya, ia tampak risih.
“Franda.” Akhirnya ia mengucapkan enam huruf sakral itu.
“Pulanglah!”
Sungguh gadis yang tidak sopan, setelah mengenalkan diri
ia langsung mengusirku. Memangnya sekolah ini milik ayahnya apa? Eh, bisa jadi
kan?
“Bagaimana aku bisa pulang, teman-temanmu kan mengunci
pintunya.”
Ia menghembuskan udara dari mulutnya.
“Apa teman-temanmu jahat?” Aku kembali bicara.
Ia mengedikkan kedua bahunya, “Tidak. Mereka teman yang
baik.”
“Lalu mengapa….” Aku belum tuntas bertanya namun
langkah-langkah kaki dengan cepat mendekat dan pintu mengeluarkan bunyi ‘klik’,
terbuka dan memasukkan empat orang murid ke dalam ruangan.
“Happy birthday,
Franda!” ucap mereka semua. Gadis berambut sebahu membawa sebuah kue cokelat
dengan lilin-lilin yang menyala di atasnya.
Franda tersenyum lalu tertawa kecil, ia pasti bahagia.
Teman-temannya mendekat dan menyanyikan lagu ulang tahun. Aku cukup tahu diri
untuk tidak mengganggu, aku melangkah dan keluar meninggalkan kelas.
Ternyata benar koridor panjang ini sepi sekali. Kelas
kami menempati sudut paling ujung, sebelum mencapai tangga menuju ke bawah aku
harus melewati dua kelas yang sedang direnovasi. Rasa penasaranku membuatku
melongok salah satu kelas itu dari jendelanya. Ruangannya besar, mungkin lebih
besar dari kelasku. Sudah tidak ada lagi kursi-kursi, hanya ada sebuah lemari
berukuran sedang, sebuah meja, dan beberapa balok kayu. Baru dua sisi temboknya
yang tampak sudah dicat baru.
Aku kembali melangkah melewati koridor dan sudah dekat
mencapai tangga. Namun kepalaku berdenyut-denyut lagi dan pandanganku
berdenyar-denyar menyajikan warna-warni yang memusingkan.
***
Aku duduk di tepi lapangan basket memandangi sisa-sisa
hujan yang menggenang, genting-genting masih basah dan bau tanah sesekali
menyeruak. Tiga orang murid perempuan di belakangku sepertinya sedang bercanda,
mereka terbahak. Aku menoleh dan melihat mereka saling menggelitik satu sama
lain hingga terpingkal. Salah satu dari mereka melepaskan diri, meloncat-loncat,
meledek kedua temannya. Gadis itu memancing untuk dikejar, teman-temanya
mendekat dan menggelitikinya lagi bahkan salah satu temannya mengacak rambut
gadis itu hingga ia menjerit-jerit. Mereka berkejaran di belakangku, gadis itu
masih menjerit-jerit sambil meloncat-loncat. Aku memalingkan pandanganku
kembali memandangi genangan air, namun suara hentakan kaki mereka terdengar
jelas di telingaku. Gadis itu masih saja menjerit malah semakin menjadi,
suaranya terdengar seperti lolongan di telingaku.
Genangan air di lapangan seketika memerah, mengubah wujud
menjadi kental. Aku tiba-tiba kembali melihat bercak-bercak darah yang
mengumpul malam itu, jeritan kakak memekak di telingaku. Tetes-tetes air yang
menimpa tanganku meluncur berwarna merah menuju kukuku dan jatuh ke tanah. Aku
bangkit dengan kesal dan menengok ke arah gadis-gadis itu.
“Apa kalian bisa diam?!” Aku meninggikan suara. Namun
tampaknya mereka tenggelam dalam suara mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak
mendengarku. Aku tidak tahan lagi dengan jeritan mereka yang membangun kembali
tembok-tembok traumaku. Aku berlari, mencari tempat sepi, masuk ke
perpustakaan. Aku duduk dan terengah-engah.
Deru napasku mereda, dadaku sudah mulai tenang kembali.
Aura perpustakaan yang senyap sepertinya berhasil menenangkanku. Tidak ada
siapapun di sini kecuali aku dan penjaga. Aku mengelilingi rak-rak buku dan
melihat-lihat judul buku, judul-judul yang asing karena aku tak ingat satupun
judul buku. Aku memilih duduk lagi namun kali ini di pojokan, menghadap pada
jendela yang hanya menyajikan pemandangan berupa dinding berlumut. Aku
menenggelamkan wajahku pada tumpukan kedua lenganku di atas meja.
Seseorang bernyanyi pelan. Pasti di dekatku ada murid
perempuan yang sedang mencari buku. Aku tidak terusik jadi aku diam saja, tidak
tergugah untuk menegakkan kepalaku. Nyanyian itu masih terdengar, mendekat dan
mendekat. Apa ia duduk di sampingku? Entahlah, sepertinya tidak. Sejak tadi aku
tidak mendengar kursi di sampingku berderit. Suara itu kemudian menjauh,
semakin menjauh. Mendekat lagi, menjadi begitu dekat. Menjauh, terdengar sangat
jauh, namun sekonyong-konyong mendekat, dekat sekali. Aneh, pikirku. Aku
mengangkat kepalaku, penasaran dengan sumber suara. Kukitari ruangan dengan
pandanganku, tak ada siapapun di dekatku. Hingga aku terlonjak ketika ku
dongakkan kepala.
Seorang murid perempuan duduk di atas rak buku, matanya
menatap langit-langit dengan bibir yang tak henti bernyanyi lirih. Kaki-kakinya
bergerak-gerak ringan, memukul-mukul pelan buku-buku di belakang tumitnya. Aku
tak habis pikir mengapa penjaga bisa tidak melihat dia ada di sana.
“Turunlah, kau bisa jatuh!” Ucapku memeringatkan.
Mulutnya berhenti menyanyi. Ia menatapku lurus dengan
tatapan yang runcing. Entah mengapa aku merasakan tengkukku meremang.
Ekspresinya sendiri sulit diartikan, ia tidak marah karena teguranku tetapi
begitu dingin dan mengeras. Kali ini pandangannya jatuh ke tanah, dengan
seringan tisu ia juga menjatuhkan tubuhnya meninggalkan bagian atas rak buku.
Alih-alih mendengar bunyi berdebum, aku malah melihat ia ditelan tanah.
Tubuhnya menembus tanah. Begitu saja. Aku terkesiap, kedua tanganku
mencengkeram erat tepi meja baca yang kupunggungi. Setelah itu dengan aba-aba
yang cepat sekali, otakku menyuruh kakiku berlari.
Aku bersandar pada tiang koridor dengan dada yang naik
turun dan napas yang memburu. Apa aku baru saja melihat hantu? Pantas saja
penjaga perpustakaan tidak tahu gadis itu duduk di atas sana. Bulu kudukku
kembali berdiri jika mengingat kejadian barusan. Samar-samar aku melihat
seseorang yang kukenal, ia berjalan semakin dekat ke arahku.
“Franda!” Aku senang bisa melihatnya. “Kau mau kemana?”
“Kelas.” Ucapnya sambil tak menyurutkan langkah.
“Ayo bareng!” Aku mengikuti langkahnya.
Denyut-denyut itu hadir kembali di kepalaku, dan aku
mulai pening karena pandangan yang berdenyar-denyar. Lagi.
***
Pria bertubuh besar itu merenggut paksa ponsel dari
genggamanku, setelah itu ia melemparkanku ke dinding hingga wajahku menghantam
keras lantai dengan tertelungkup. Aku merasakan darah mengalir dari hidungku.
Hampir saja aku tak punya kekuatan untuk bangkit jika aku tak mendengar jeritan
kakak. Ia diseret oleh dua orang sekaligus, setiap kali lantai yang bergesekkan
dengan tubuhnya pasti dinodai cecer darah. Ia melawan dengan keras tapi
menggunakan perhitungan manapun dua orang lelaki itu lebih kuat darinya.
Aku
tak bisa membayangkan mereka melakukan sesuatu yang buruk pada kakak. Aku
menerjang dan kami berjibaku, lalu semuanya terasa cepat sekali. Kakak melolong
dan aku bisa melihat dengan jelas darah melumuri gaun tidur putihnya.
Aku
terbangun dengan jantung yang berdegup begitu kencang. Aduh, mengapa di sini
gelap sekali. Aku meraba tubuhku, rupanya aku tertidur masih berseragam
sekolah. Aku menyibak tirai untuk mengintip keluar dari jendela, ternyata masih
malam. Kusandarkan punggungku pada kepala dipan dan menarik selimut hingga ke
pundak. Aku merasa telapak tangan dan kakiku dingin sekali, trauma dan cuaca
sepertinya membuatku mimpi buruk. Anehnya aku malah teringat Franda di saat
seperti ini. Aku ingin pagi segera tiba, agar aku bisa melupakan mimpi burukku
dan bertemu dengan gadis itu.
***
“Franda!” Ada perasaan tenang yang menelusup dalam diriku
tiap kali aku memandang gadis itu dan bisa memanggil namanya. Ia sedang duduk
sendiri di bangku kebun sekolah.
Franda tidak menyahut tapi aku tahu ia telah melihatku.
Ia seolah enggan menatapku, mungkin ia tipikal yang terlalu pemalu. Meski aku
merasa keenganannya ini karena ingin menjarak, tapi aku tetap saja duduk di
sampingnya.
“Belum pulang?” Tanyaku.
“Aku masih di sini.”
Baiklah itu jawaban cerdas dan yang tadi itu pertanyaan
bodoh. Kubiarkan beberapa detik mensunyikan kita berdua. Kulihat tidak ada
sinyal ia akan berbaik hati membuka percakapan, jadi biarkan aku yang mulai.
“Kau tahu Franda, aku mengalami cedera otak ya sebut
sajalah begitu. Penjahat membenturkan kepalaku ke dinding. Memoriku kehilangan
segalanya kecuali namaku dan jeritan kakakku, kejadian berdarah itu.” Aku
menghembuskan napas dengan berat, ada sesuatu yang menoreh jantungku begitu
dalam namun pelan sekali. Sehingga aku bisa menikmati
setiap goresannya. Untuk detik ini Franda menoleh dan menatap mataku, ia
tidak melepaskannya.
Aku melanjutkan kalimatku, “Hingga saat ini aku tidak
pernah mengingat detail, sepertinya selama beberapa hari ini ah bahkan aku
tidak ingat sudah berapa hari, hanya sedikit sekali yang bisa kuingat.
Perkenalan denganmu di hari kau ulang tahun dan ke kelas bersamamu, kemarin
mungkin? Aku sepertinya juga kehilangan orientasi terhadap waktu. Oh ya, juga
gadis di perpustakaan tapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Maksudku
aku ingat wajahnya tapi aku tidak ingat bagaimana ia, apakah duduk membaca buku
atau berdiri ketika aku melihatnya.”
Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan seluruhnya
dari mulut, “Seharusnya aku tidak…” ia tidak menghabiskan kalimatnya, gadis itu
memejamkan matanya dan menunduk.
“Apa?” Aku memandangi wajahnya dari sisi.
Ia menggeleng.
“Franda!” Terdengar suara seorang lelaki dari seberang
kami.
Franda bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan cepat
menghampiri murid laki-laki yang memanggilnya. Aku menatap sosoknya yang
menjauh dariku.
***
Franda.
Aku menaruh cangkir berisi teh itu di atas meja, kemudian
membuka biskuit kaleng. “Silakan dicicipi, Andi.”
Andi menyesap teh hangat buatanku, setelah itu ia
berbicara. “Kau mau bicara apa denganku?”
“Kau tahu aku hanya bisa bercerita tentang ini kepadamu.
Tidak pada yang lain, hanya kau yang kupercaya.” Selapis tipis bening air
menyelaputi kedua bola mataku.
“Ceritalah kepadaku, Franda.” Andi menepuk-nepuk bahuku.
“Aku sahabatmu sejak lama.”
“Namanya Allen Cakranestya,” sebulir hangat jatuh ke
pipiku. Kulihat mata Andi sedikit membelalak, aku tahu ia terkejut.
“Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, Andi. Tak
akan ada yang lain lagi. Tak akan ada lagi setelah Rivano teman les piano-ku.
Aku tak ingin merasakan pilu itu lagi, rasanya begitu menyiksa. Aku lelah
dengan semua itu, rasanya kebahagiaan tersedot dari dalam diriku dan aku tidak
ingin mengalami itu lagi. Aku ingin mengatakan cukup, cukup pada diriku. Tapi
perang dalam dadaku selalu dimulai lagi.”
“Kau memberitahu namamu?” Andi mengernyitkan keningnya.
Aku mengangguk, “Dorongan itu selalu tak tertahankan. Dan
kali ini sangat kuat.”
“Kapan?”
“Empat hari yang lalu, ketika kalian meninggalkanku di
kelas untuk membeli kue ulang tahun.”
“Ya Tuhan.”
“Aku sudah memulainya, Andi. Aku pun yang harus
mengakhirinya. Tapi aku bukan malaikat, apakah aku egois?”
Andi menggeleng, “Aku akan membantumu.”
***
Penulis: Aya Sofi Rumaisha
Penasaran nih
BalasHapusPengen tau kelanjutan ceritanya
BalasHapusNantikan ya nantikan ;)
HapusNyesel deh bacanya jam dua pagi. Haha.
BalasHapusYou know how to make people wondering. Memberikan Informasi yang cukup sehingga pembaca mulai bertanya-tanya kemudian berspekulasi, dan tak sabar untuk baca kelanjutannya untuk mengkonfirmasi spekulasi itu.
Susah uy bikin cerpen horor yg nakutin tuh. Thanks for appreciate it :)
BalasHapusiya, susah, ya. saya juga pengen belajar, euy. hihi
Hapus