Mission #1
Episode kedua
***
Episode kedua
***
Mereka berdiri saling
berhadap-hadapan di koridor depan ruangan perpustakaan. Wajah mereka tampak
begitu kaku. Ketegangan mereka berdua membuat udara di sekitar menjadi suram
dan sumpek seolah angin pun ikut menahan nafas.
“Lo udah ketemu
sama Erik?”
“Belum. Baru
nanti siang. Itu anak sok sibuk banget dari kemarin,” keluh Dinky.
“Gak usah, Dara.
Urusan gini-gini biar gue aja yang urus. Masih bisa gue tanganin kok.”
“Kita berdua
tahu gimana sifatnya Erik. Dia bakal sulit buat diajak ngobrol. Bahkan setelah
dua tahun kita coba diskusi, dia tetep gak mau denger pendapat kita. Apa lo
yakin bakal bisa bikin dia tiba-tiba berubah pikiran? Kemungkinannya hampir nol
Dinky.”
“Hampir nol itu tidak
sama dengan nol. Walaupun kemungkinannya sangat kecil, selama bukan mustahil
gak ada salahnya kita coba.”
“Makanya nanti
gue ikut ketemu Erik. Two is better than one, right? Mungkin kemungkinan
berhasilnya bakal bertambah kalo gue ikut, kayak yang lo bilang barusan,
mencoba itu gak ada salahnya kan?”
“Gak salah, sih.
Tapi nanti gue sama Erik bukan mau berantem. Apakah gue berhasil atau gagal gak
ada hubungannya sama berapa jumlah orang yang ada di pihak gue. I just need to
make him understand.”
“Ya, kita hanya
perlu bikin dia ngerti. Dan itulah yang selama dua tahun ini kita coba dan
hasilnya selalu nihil, gagal terus!”
Dara lantas
mengibas-ngibaskan rambutnya yang terurai, mengeluarkan ikat rambut berwarna
biru dari kantong seragam abu-abunya untuk kemudian mengikatnya menyerupai ekor
kuda.
Ia kemudian
melanjutkan, “Tapi ya, gue gak
bisa maksa. Kalo memang menurut lo gue gak perlu ikut gue gak akan dateng kok.
Terserah lo aja.”
Dara berbicara
sambil lalu kemudian berjalan meninggalkan Dinky. Ia pergi ke arah kantin,
mungkin mau bergosip dengan anak-anak lain yang sedang menyesaki ruangan kantin
Bi Imas yang luasnya tak seberapa itu.
Perut Dinky pun
sudah keroncongan sejak tadi. Dicekoki rumus-rumus Matematika selama empat jam
pelajaran kemudian disambung dengan hukum-hukum fisika dalam empat jam
berikutnya benar-benar membuat Dinky kehabisan energi. Jam istirahat hanya
tersisa sepuluh menit lagi. Sepuluh menit pertama tadi telah ia habiskan untuk mengejar-ngejar
Erik hanya demi membuat janji, lalu sepuluh menit habis untuk berdiskusi dengan
Dara, kesibukan-kseibukan ini membuat Dinky kehilangan waktu istirahatnya yang
berharga. Tapi Dinky hanya bisa menghela nafas. Inilah harga yang harus dia
bayar untuk mewujudkan keinginannya.
Ketika Dinky bersandar lemas di samping
lab komputer, Zen menghampiri sambil melemparkan sebotol teh sobo dingin. Kaos
longgar yang terpasang di badannya basah penuh keringat, Zen hampir selalu
menghabiskan waktu istirahatnya dengan bermain basket. Meski kadang ia hanya
berlari-lari sendiri tanpa ada yang menemaninya bermain. Jika Dinky sedang tak
sibuk biasanya mereka akan bermain basket berdua.
“Belakangan ini
kamu gak pernah keliatan nongol di lapangan basket tiap jam istirahat. Lagi
sibuk banget ya?” suara Zen yang berat dan dalam terdengar di sela tegukannya
menyesap teh dingin dalam kemasan.
Dinky
menuntaskan tegukannya sebelum ia menjawab. “Iya nih, lagi sibuk banget buat
nyiapain parade ekskul.”
“Memangnya
kalian udah fix ikut parade ekskul? Urusan sama erik udah beres?”
Zen dan Dinky
berdiri bersebelahan. Zen melihat Dinky menggeleng pelan yang kemudian diakhiri
dengan sebuah desahan panjang.
“Nanti siang
kita mau coba obrolin lagi soal ini sama Erik. Mudah-mudahan kali ini dia mau
dengerin apa yang aku omongin.”
“Ya, aku harap
semua bisa berjalan sesuai dengan harapan dan rencana kalian. Tapi inget, jika
Erik ternyata masih tetap keras kepala, aku akan dengan senang hati bantu kamu
jalanin rencana cadangan.” Sebuah senyum nakal terpasang manis di wajah Zen.
Bel kemudian
berbunyi.
“Zen, nanti sore kamu
pulang duluan aja, ya.”
“Oke.”
Mereka kemudian berpisah
menuju kelas masing-masing.
***
Dinky melirik
jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tiga belas dua puluh.
Masih ada sepuluh menit sampai waktu yang mereka sepakati. Erik meminta Dinky
untuk datang ke sebuah ruangan kelas yang sudah tak terpakai di bagian belakang
atas kompleks sekolah. Setelah kelas-kelas baru selesai dibangun dan mulai digunakan
oleh para siswa kelas ini tidak terpakai untuk beberapa waktu. Sekolah
berencana untuk mengalihfungsikan ruangan ini tapi hingga saat ini belum
dilakukan renovasi ataupun penataan ulang. Kursi-kursi lama yang sudah tak
terpakai masih dibiarkan di dalam kelas. Begitulah yang selama ini diketahui
Dinky.
Tapi ternyata
apa yang menanti Dinky di dalam kelas itu sungguh jauh berbeda dengan apa yang
ada di pikirannya hingga ia hanya bisa berdiri membatu di depan kelas. Kakinya
seolah-olah kaku dan tak bisa melangkah lagi. Pandangannya terkunci pada sesuatu
yang ia lihat dari jendela kelas. Hentakan musik pop electronik yang diremix
dengan sentuhan dubstep yang tadi hanya terdengar samar kini jelas
menggedor-gedor sepasang gendang telinganya. Ia benar-benar tak percaya dengan
penglihatan dan pendengarannya saat ini. Apa yang dia saksikan sekarang
benar-benar di luar dugaannya. Kelas tak terpakai ini telah benar-benar beralih
fungsi. Tapi bukan menjadi gudang sebagaimana yang ia duga melainkan sebuah
studio dance.
Kursi-kursi
bekas ditumpuk dan disusun rapi di belakang ruangan kelas. Menyisakan lahan
kosong di tengah ruangan. Dan di atas meja guru di sudut dekat papan tulis
sepasang pengeras suara yang memutar lagu-lagu dari sebuah telepon genggam yang
tersimpan di sampingnya.
Dan di tengah
ruangan yang seharusnya tak terpakai itu Dinky melihat mereka dengan giat berlatih
gerakan-gerakan koreografi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Meski tak
pernah berlatih dalam satu kelompok Dinky masih bisa mengamati gerakan-gerakan
yang biasa mereka bawakan. Sehingga Dinky pun menjadi familier dengan koreografi
yang biasa menjadi andalan Crown dalam membuat orang-orang yang menonton mereka
terpesona. Tapi gerakan-gerakan yang ia lihat kali ini benar-benar sesuatu yang
baru dan tak pernah ia saksikan di mana pun.
Di salah satu pojok ruangan
matanya bertumbuk dengan mata Raka yang sepertinya sudah sejak tadi
memperhatikan. Dia salah satu penari paling berbakat yang ada di ekskul MD. Badannya
yang tinggi kurus berdiri mencolok terbungkus kaos lengan panjang berwarna
hijau terang. Kacamata berbingkai lebar membuat wajahnya terlihat mungil. Dari bibirnya
yang kemerahan ia memberikan senyum samar sebagai sapaan jarak jauh.
Dengan ragu
Dinky membuka pintu ruangan kelas. Lidahnya masih seratus persen kelu, kakinya
macet tak mau maju. Ia hanya bisa berdiri menganga di ambang pintu. Sambil
mengumpat dalam hati, sial, mereka keren banget!
Erik yang dari
tadi berdiri di depan kelas sambil memerhatikan gerakan-gerakan yang
didemonstrasikan dengan begitu lihai oleh junior-juniornya terlihat berjalan ke
arah meja guru. Ia kemudian mematikan lagu yang diputar dari telepon
genggamnya. Musik yang sejak tadi menghentik sontak berhenti menyisakan
kesunyian yang langsung dibalas oleh riuh tepuk tangan dari para penonton. Tak
terkecuali Dinky.
Erik meminta
junior-juniornya yang baru selesai menari untuk bergabung bersama anak-anak
lain di pinggir ruangan kelas sambil beristirahat. Kemudian ia kembali
mengambil posisinya di tengah kelas. Pandangannya ia edarkan ke sekeiling
penjuru ruangan. Melihat semua
anggotanya telah beres menertibkan diri, ia alihkan pandangannya menuju Dinky.
“Temen-temen,
kita kedatangan tamu dari grup dance kpop, nih.” Kata Erik sambil mengisyaratkan
pada Dinky untuk maju.
Semua pandangan
di ruangan itu mengarah pada Dinky yang terlihat enggan berjalan mendekati Erik. Tapi begitu Dinky
sampai di depan Erik, Erik langsung mengulurkan tangannya dan meraih tangan
Dinky. Ia menyalami Dinky dan menarik tangannya hingga mereka berdiri
bersebelahan.
“Guys, kalian
udah pada kenal sama Dinky kan?” Erik kemudian mengedarkan pandangannya,
memburu reaksi teman-temannya. Beberapa orang mendengus jahil ketika mendengar
nama Dinky disebut, salah satunya Triyan.
“Dinky ini
anggota MD juga, tapi sayangnya dia dan beberapa temannya yang lain gak pernah
mau ikut latihan bareng sama kita. Makanya gak heran jika banyak di antara
kalian yang gak terlalu familiar dengan wajah Dinky. Ya, apa boleh buat? Dinky
dan teman-temannya lebih suka untuk memisahkan diri dan memilih untuk berlatih
Co..., Cov...,” Erik mengerutkan alisnya seolah-olah sedang berpikir, “ah,
Coward-dance? Iya kan?” Kemudian bahak tawa erik bergabung dengan riuh tawa
serupa yang terdengar dari sekeliling kelas.
Dinky merasa
dipermalukan. Yang keren rupanya hanya sebatas gerakan dance mereka saja, tapi
ketika bicara soal perilaku dan etika, mereka sungguh memprihatinkan.
Dinky kemudian
melangkah dari samping Erik dan kemudian berbalik. Kini Dinky dan Erik berdiri
berhadap-hadapan. Di belakang punggung Erik sisa anggota MD yang lain
melayangkan pandangan bernada meremehan ke arah Dinky. Tapi Dinky sudah tak
memerhatikannya lagi. Pikirannya kembali terfokus pada tujuan awal ia datang
menemui Erik.
“Let’s cut the
crap, ladies and gentleman!” ujar Dinky. Pandangannya ia sapukan ke semua orang
yang ada di hadapannya.
“Gue ke sini
buat mastiin slot waktu yang kami—tim coverdance—dapet buat parade ekskul
nanti. Menurut surat edaran dari pihak Osis setiap ekskul punya jatah lima
belas menit buat perform, maka gue minta bagian lima menit penuh buat anak-anak
coverdance tampil dan unjuk kemampuan. Sisa sepuluh menit bisa kalian pake
sepuasnya, we don’t need much time to take over the crowd anyway.”
“Dinky, my
friend, siapa yang bilang kalau pembagian waktu buat parade ekskul nanti lo
yang atur? So pathetic. Gue sebagai ketua MD yang resmi adalah satu-satunya
orang yang diberi wewenang buat ngatur pembagian waktu ekskul yang gue pimpin.
And who are you?”
“Well,
jawabannya sederhana. Gue ini anggota ekskul MD yang selalu bayar iuran rutin
setiap bulan. Dan di sini gue cuma minta hak gue dan temen-temen gue yang lain
sebagai anggota MD.”
“Sorry to say,
otoritas itu tetap ada di tangan gue, dan gue hanya akan memberikan waktu yang gue punya sama tim yang benar-benar layak
tampil. Gak ada tempat buat mediocre dan plagiat tanpa kreatifitas, gue hanya
akan ngasih kesempatan sama tiga tim terbaik buat tampil nanti.”
“Gimana lo tahu
yang mana tim terbaik kalo penilaian lo hanya berdasarkan subjektifitas yang
penuh dengan berbagai kepentingan dan ditentukan sesuai selera pribadi. Thats
is way too far from being fair.”
“Lo mau
pertandingan yang fair?”
“Dance battle!”
“Lo mau
nantangin kita? Gak liat pertunjukan tadi waktu lo dateng? Sama aja lo bunuh
diri.”
Erik kembali
tertawa mengejek.
“Lo gak usah
mengumbar hasil dari pertandingan yang bahkan belum dimulai. Shut your mouth
and start practice your routine, and get ready to be slayed.”
“Tim yang kalah
gak akan diperbolehkan untuk tampil di Parade ekskul, dan keanggotannya dari MD
akan diskors selama satu semester. Berani, lo?”
"Deal!" Dinky menyahut mantap.
***
Yoga Palwaguna
*sumber gambar: google
*sumber gambar: google
So cooolll.....
BalasHapusBtw, kantin bi imas? Ya ampuuuuun kangen bangeeett. Basreng, mi goreng, cireg isi. Kapan ya bisa nongki-nongki di sana lagi.
Cerita yang pas banget kalo dijadiin webtoons wkwk
BalasHapus