-Esai Menyambut Hari Ibu-
“Surga ada di telapak kaki ibu” merupakan
dogma klasik yang mengakar dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Tapi
sepanjang sejarah, kekearamatannya seolah tak punya cukup kekuatan untuk menolak budaya patriarki.
Budaya yang seolah menyudutkan kaum wanita untuk mendapatkan hak otonomi dalam
berbagai sektor kehidupan (politik, sosial, budaya, dan ekonomi).
Adanya budaya patriarki, secara hierarkis
sosiologis, derajat wanita masih di bawah superioritas pria. Dari sudut
psikologis, wanita sering digambarkan
sebagai kaum pasif, emosional, penyayang, dan penurut. Sedangkan secara
fisiologis, wanita masih dianggap kaum lemah dan daya intelektualnya dipandang
kurang cerdas daripada kaum pria. Sebab disinyalir, ukuran otak pria lebih
besar daripada otak wanita.
Anggapan tradisional ini kian jelas oleh
fakta yang dibuktikan dengan banyaknya penindasan terhadap dirinya. Tengok saja
pemberitaan media massa tentang kasus perkosaan, pelecehan, penganiayaan,
bahkan pembunuhan, yang korbannya adalah wanita dan pelakunya adalah pria. Hal
ini merupakan bukti konkret bahwa wanita belum cukup mendapat porsi
subjektivitasnya ketimbang kaum pria sebagai pelaku kekuasaan secara universal.
Ia lebih cenderung hanya sebagai objek penderita di bawah tekanan sistem
kekuasaan yang lebih banyak ditangani kaum pria. Meski begitu, pada zaman
modern ini wanita terus menampakkan kiprahnya dalam wacana kekuasaan tersebut.
Lantaran ada ketidaksetaraan derajat
antara pria dan wanita dalam wacana kekuasaan, tak heran Simon De Beavoirk,
penulis The Second Sex dan juga
feminis radikal, tidak lagi percaya pada lembaga perkawinan. Menurutnya, lembaga itu hanyalah sarana legal kekuasaan
pria untuk ‘membeli’ cinta dari wanita, cinta yang merupakan insting untuk mengendalikan
kehidupan sesuai dengan hasrat-hasratnya serta obsesi-obsesinya. Akibatnya,
secara tak sadar, wanita telah menyerahkan kebebasan dan otonomi dirinya untuk
dikuasai pria. Meskipun begitu, ada juga
kelompok feminis lain yang masih mempercayai perkawinan dengan syarat kebebasan
individu wanita harus tetap dipertahankan.
Sedangkan dilihat dari perspektif
kapitalisme, Ivan Illich menyebutkan bahwa penindasan terhadap wanita di zaman
industrialisasi kapitalistik sudah mencapai taraf sangat parah dan perlu
diwaspadai. Sebab kemandirian dan produktivitas
wanita dalam sektor ekonomi telah dimanfaatkan oleh kekuasaan pria. Kaum
ini telah menempatkan kaum wanita sebagai objek komersial yang dapat
menghasilkan banyak uang. Misalnya, dalam efisiensi ekonomi dalam produksi,
nilai upah wanita lebih kecil daripada kaum pria. Maka, tak heran wanita yang
biasanya hanya berkecimpung di sektor domestik yang aproduktif, akhirnya
ter(di)libat(kan) juga dalam sektor publik yang lebih kontributif dan produktif
bagi pembangunan ekonomi.
Meski begitu, jebakan pragmatis ideologi
kapitalisme tersebut, di sisi lain kalau dicermati, sebetulnya bisa
menguntungkan dan mengangkat harkat wanita, dengan memutarbalikannya menjadi
bentuk kekuasaan pula, yaitu lewat
pembentukan citra kewanitaan atau kecantikan walaupun secara fisik hanya
terlihat permukaannya saja. Misalnya lewat model pakaian, tampilan paras
menawan, keelokan tubuh, ataupun gaya hidup. Kendati konsepsi ini cenderung
berciri pada konsepsi budaya massa (mass culture), ternyata kalau disikapi
justru akan menjadi ‘senjata’ untuk menaklukan kekuasaan pria.
Hal ini terbukti dengan makin banyaknya
kegiatan yang bersifat kewanitaan, seperti kontes kecantikan, seminar
kecantikan, peragaan busana, ataupun perawatan tubuh. Bahkan dalam industri
media massa, otonomi wanita sudah diakui dengan banyaknya penerbitan pers yang
memfokuskan wanita sebagai sumber utama berita sekaligus sebagai sasaran
pembacannya. Untuk menyebut beberapa nama: Majalah Femina, Cosmo Girl, Gadis,
dll.
Menurut novelis Ayu Utami, munculnya
penerbitan pers wanita merupakan indikator dari kapitalisme kecantikan yang
harus didukung secara positif dan pragmatis. Dia menilai, gejala tersebut bisa
menjadi strategi yang fungsional demi terciptanya suatu emansipasi.
Jadi, secara pragmatis, makin nampaklah
bahwa wanita terus berusaha mencapai kesetaraan dengan kaum pria untuk
menempati posisi penting dalam wacana kekuasaan meskipun cara ini nampak masih
bergantung pada kekuasaan pria juga, yaitu lewat keputusan atau penilaiannya
untuk menentukan seberapa jauh kapitalisme kecantikan bisa menarik perhatian
dirinya.
Kepemimpinan
Wanita
Dalam sektor politik, sosial, dan
ekonomi, wanita seringkali dihadapkan pada problem dilematis guna mendapatkan
hak otonomi. Ia ingin mempertahankan citra keibuan dalam suatu keluarga, namun
di sisi lain, ia juga ingin diakui sebagai pelaku penting di lingkungan yang
lebih luas. Sosoknya sebagai ibu
kadangkala berbenturan dengan kepentingan lain yang terpaksa harus dihadapi.
Dalam bidang politik misalnya, ada
beberapa wanita harus rela membagi tugas dan tanggung jawabnya sebagai ibu
rumah tangga dan sebagai politikus. Contohnya, yang masih aktual adalah
beberapa menteri dan anggota parlemen dalam pemerintahan negara sekarang ini.
Karena panggilan negara dan demi kepentingan rakyat banyak, mereka harus mempertaruhkan identitasnya
ketika dorongan publik secara tidak langsung mengkondisikan ruang geraknya
untuk berperan aktif dalam dua lingkungan yang berbeda.
Sementara dalam kehidupan sosial ekonomi,
wanita telah mampu mengambil alih posisi kepemimpinan yang biasa dipegang kaum
pria. Misalnya, dalam institusi rumah tangga, tak sedikit wanita yang mampu
berperan ganda, yaitu sebagai seorang ibu atau istri dan sebagai seorang kepala
keluarga.
Peran kepemimpinan itu mengemuka karena
ada suatu desakan dari sifat keibuan itu sendiri ataupun desakan ekonomi
keluarga. Kelebihan sifat wanita keibuan, seperti penyayang, penuh perhatian,
rajin, dan tanpa pamrih, boleh dikata modal utama sebagai pembangun figur seorang pemimpin
dalam keluarga. Sebagai contoh, ketika kondisi ekonomi keluarga macet karena
sang suami telah meninggal atau tak bekerja, sifat-sifat tersebut kapasitasnya
bisa lebih bertambah. Kendati dalam kondisi demikian sifat itu selalu dibarengi
sifat emosional pula, ternyata perhatiannya dalam mengatur rumah tangga dan
mempertahankan kelangsungan hidup keluarga terkadang bisa menyamai atau bahkan
lebih baik daripada sang suami. Hal ini karena wanita yang sudah menjadi ibu
biasanya relatif menafikan sifat gengsi dalam melakukan suatu pekerjaan, baik
itu pekerjaan di sektor domestik, maupun di sektor publik.
Namun, ketika wanita tengah berupaya
untuk mendapatkan hak otonomi dan kepemimpinan dalam wacana kekuasaan yang
biasa didominasi kaum pria, ia tetap saja dibebani oleh istilah “kodrat”.
Istilah ini seringkali dipakai dalam wacana normatif (keagaamaan, moral, etika)
untuk memberikan pembenaran yang dianggap sakral dan tidak dapat diganggu gugat
lagi atas pembedaan-pembedaan yang sebetulnya merupakan “kontruksi sosial”.
Pembedaan karena ideologi gender adalah kenyataan yang tak bisa ditolak.
Pembedaan inilah mengkondisikan wanita agar tetap patuh pada mitos keibuan.
Masyarakat Indonesia yang masih
menjunjung tradisi budaya selalu menempatkan mitos keibuan sebagai pembentuk
norma sosial sehingga wanita Indonesia masih berada dalam tabu-tabu yang
menyulitkan posisinya dalam meraih otonomi dan kepemimpinan dalam suatu
kekuasaan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi wanita selaku ibu rumah tangga
sekaligus pekerja jarang diperhitungkan dalam kebijaksaan public (Sue Ellen M.
Chariton, Jane Everett, & Katheleen Staudt, Women in the State and Development: 1989).
Tak lepas dari kenyataan itu, penolakan
pembedaan gender untuk menciptakan pola hubungan egaliter antara kaum pria dan
wanita agar terbangun keadilan dan ketentraman, ternyata bisa pula menimbulkan
masalah baru. Hal ini dilaporkan oleh Alam Bloom, seorang sosiolog Amerika. Ia
mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab disintegrasi keluarga di Amerika
Serikat adalah berubahnya struktur kehidupan dari yang patriarki ke arah yang lebih egaliter. Konsekuensi logisnya,
keluarga cenderung lebih anarki karena setiap individu mempunyai tujuan dan
keinginan sendiri-sendiri, yang bersifat
parallel dan tidak pernah mencapai titik temu. Akhirnya, terjadilah konflik
kepentingan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Oleh karena itu, ketulusan wanita dalam
menerima kodratnya tanpa terlalu memusingkan perbedaan gender adalah sikap yang
mencerminkan sebuah keyakinan akan rahasia keadilan Tuhan. Seperti yang
dianalogikan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah anekdot: “Mengapa ketika
melaksanakan sembahyang shalat, wanita harus berada di belakang pria?” Sebab
wanita adalah penuntun pria. Kalau diibaratkan, wanita adalah petani dan pria
adalah serombongan itik. Dalam menggembala, petani selalu berada di belakang
itiknya agar bisa menuntunnya ke jalan yang benar. Juga kalau dalam sembahyang
shalat wanita berada di depan pria atau membelakangi pria ketika ruku, mungkin
kaum pria tidak akan khusyu karena di depanya ada pantat wanita. ***
Yogira Yogaswara/Penulis adalah pencinta dan penyayang ibu, istri, dan apresiator wanita sealam dunia, kini aktif di Komunitas Kawah Sastra Ciwidey.
Tulisan saya ini pernah dimuat di sebuah media yang honornya sampai sekarang tak jelas.
Saya selalu tertarik dengan topik-topik seperti ini. Tulisan yang keren, kang. :D
BalasHapusTerima kasih Yoga. Maaf tulisannya serius ya..sebenarnya bukan tipikal selera saya menulis seperti ini, saya ingin lebih banyak humornya. Tapi karena tuntutan saat itu menyambut hari ibu, ya menulislah seperti ini. Semoga bermanfaat
HapusSaya selalu percaya bahwa adil tidak selalu berarti setara, tetapi menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Membaca tulisan ini mengingatkan saya akan status sebagai seorang wanita yang kelak menjadi seorang istri dan ibu pemegang kunci ranah domestik tetapi pengaruh pendidikan pun membuat diri ingin memiliki kiprah di luar rumah, dilema juga terjadi mengingat saya sebagai seorang wanita dan anak tunggal adalah generasi sandwich, generasi yang di usia dewasanya akan bertanggung jawab ke atas dan ke bawah. Agaknya kapitalisme sendiri menghadirkan dua sisi koin bagi wanita, pertama kesempatan, kedua : tak luput juga tekanan.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHebat euy komentarnya. Penilaian dari perempuan pisan. Asli, saya menulis ini dulu belum ada internet, bahan-bahannya riset dari buku dan artikel, hehehe
HapusKomentar teh lupita menarik sekali untuk dibahas lebih jauh. Biar sebagai lelaki saya bisa mendapatkan insight langsung dari sudut pandang perempuan.
BalasHapusKapan-kapan bahas di KSC bisa dong, ya? Mungkin bisa sekalian dijadwalin aja biar saya nyari2 referensi buat diskusi dan nyiapin pertanyaan-pertanyaan sekealian. :D
Bisa kang, bisa banget :)
Hapus