Di bawah lampu kamar yang kian remang Ros menorehkan garis
demi garis sulaman benang di atas sebuah saputangan berwarna putih bersih.
Setiap garis benang ia jahitkan setiap itu pula hatinya terasa ngilu. Semakin
dekat sulamannya itu pada keutuhan, semakin dekat pula ia pada waktu yang telah
ia janjikan pada dirinya sendiri.
Dengan mata berair, Ros meraba-raba gambar yang telah ia
lukiskan dalam ribuan tusukan jarum. Dahinya berkerut hingga kedua pangkal
alisnya yang tebal hampir bersentuhan.
Ia membatin dalam hati “hanya tersisa beberapa goresan lagi”. Ada
perasaan bersalah yang menghantuinya setiap kali Ros mengingat betapa giatnya
ia menyulam.
Saka Bramanti kini sudah berusia enam tahun kurang sebulan.
Ia tumbuh dengan begitu cepat. Badannya tinggi, otot-ototnya kecil namun kuat. Ia
terbiasa mengangkat beban-beban berat. Sejak kecil, Sakti—begitu cara Ros
memanggil anaknya—sudah rajin membantu ibunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
rumah, seperti membelah kayu-kayu bakar atau bahkan dalam waktu-waktu tertentu:
menyelamatkan diri. Pada usia lima tahun Sakti bahkan sudah pandai mencarikan
ikan-ikan di sungai untuk makan. Bagian yang paling ia sukai adalah kepala dan
ekornya, dengan begitu ia bisa memberikan bagian yang memiliki lebih banyak
daging pada ibunya.
Sakti adalah sebuah rahasia kecil di antara Ros dan anak
sulungnya itu. Ketika ia lahir, Ros bersikeras untuk menamainya Saka Bramanti
seperti wangsit yang ia terima dalam mimpinya kala usia kandungannya menginjak
usia empat bulan. Dan mimpi itu terulang kembali dua kali, yaitu ketika
kandungannya berusia tujuh bulan dan satu hari sebelum ia melahirkan. Tapi
bapak Ros beserta mertua lelakinya tak setuju dengan nama itu. Mereka tak
percaya pada mimpi seorang perempuan, bisa jadi itu bisikan setan, begitu
ucapnya. Mereka malah bertanya pada Rukmana kalau-kalau ia pernah bermimpi
tentang sesuatu ketika Ros hamil. Tapi Rukmana tampak tak peduli untuk sekedar
mengingat-ingat.
“Kita namai anak ini Karmana.” Begitulah keputusan para
tetua setelah yakin bahwa jari-jari kotor mereka membisikan sesuatu yang baik
tentang nama itu dalam hasil hitungannya.
Tapi Ros tak menerima putusan itu. Ros ialah satu-satunya
orang yang telah mengandung bayinya selama sembilan bulan. Kemaluannyalah yang
dirobek dukun beranak ketika ia melahirkan anaknya ke dunia. Ros memang tak
pernah tamat sekolah, tapi bahkan bagi pikirannya yang sederhana pun sungguh
tak masuk akal jika ia sebagai ibunya tak diberi hak bahkan untuk memberi nama. Padahal itu satu-satunya hal
yang akan anaknya bawa dari lahir hingga tak bernyawa. Setidaknya itu yang
ingin Ros hadiahkan bagi anaknya.
Maka tanpa mengindahkan ucapan para tetua, ketika hanya ada
mereka berdua, Ros akan memanggil anak sulungnya itu dengan sebutan Sakti—Saka
Bramanti. Itulah pemberontakan Ros yang pertama.
Bocah lelaki itu sedang tertidur tenang di hadapan Ros
dengan hanya berselimutkan sehelai kain panjang bermotif burung-burung merak yang
sedang berlenggak-lenggok. Di samping Sakti terbaring pula anak kedua Ros yang
kini berusia sepuluh bulan. Ros memanggilnya Agni Chandrawati.
Ketika Ros mengandung Agni, ia melakukan pemberontakannya
yang kedua. Dengan perutnya yang buncit—ketika itu pintu-pintu rumah telah
tertutup, tak ada lagi jendela-jendela yang terbuka dan orang-orang sudah
berselimut hendak pergi tidur—Ros berjalan keluar dari rumahnya membawa sebuah
obor dengan api yang menyala-nyala.
Langkahnya mantap meski jalanan licin berbatu-batu. Hanya
satu tempat yang ia tuju. Tempat yang menjadi sumber bau busuk yang menusuk-nusuk
hidungnya akhir-akhir ini, ketika ia mandi, makan, bahkan tidur.
Begitu sampai di depan rumah yang ia tuju, dengan kepalan
tangannya Ros menggedor pintu. Namun tak ada orang menyahut. Semakin keras ia
memukul tapi penghuni rumah belum juga datang menyambut. Mungkin mereka sedang
tak mau diganggu, apalagi yang datang memang bukan hendak datang untuk bertamu.
Tapi Ros tak punya niatan untuk menyerah, bau yang lebih
busuk dari sampah dan bangkai makin menyeruak membuat perutnya semakin mual. Ia
teriakkan nama suaminya keras-keras sambil terus menggedor pintu bahkan juga
jendela hingga bergetar-getar.
Terdengar suara langkah kaki berderap-derap keras di atas
papan kayu. Tak lama hingga akhirnya penghalang itu terbuka dan bau busuk
menerjang keluar dari balik pintu. Mata Ros bertemu mata suaminya, bertelanjang
dada dan mengenakan sarung yang tergantung di atas lutut, kentara sekali ia
dikenakan dengan terburu-buru. Kemudian menyusul seorang wanita berambut ikal dengan bola mata coklat
yang begitu Ros kenal muncul dari balik punggung.
Seumur hidup baru kali ini Ros mengeluarkan sumpah serapah.
Semua umpatan yang pernah ia tahu semenjak telinganya bisa mendengar sampai
kini ia habis ditampar dan ditikam dari belakang, ia lontarkan lantang-lantang
dengan badan nyaris gemetar. Melayang tajam mengendarai segenap udara yang
dapat dilemparkan dari kedua kantung paru dalam dadanya. Sesuatu meleleh dari
kedua sudut matanya. Pipinya kembali basah, tapi kali ini oleh amarah bukan
tangis pasrah.
Tanpa tahu malu Rukmana berdiri berkacak pinggang. Menatap
tepat ke mata Ros, seolah berkata bahwa ia hendak menantang. Tak ada istilah
mengaku salah bagi seorang pria seangkuh Rukmana. Dengan tangannya yang kasar,
ia menggamit tangan Ros lalu menyeretnya ke jalan. Terhuyung-huyung Ros terbawa langkah kaki
Rukmana. Obor yang menyala-nyala di tangannya jatuh tergeletak di teras rumah
perempuan bermata coklat itu.
Rukmana terus menarik Ros dan jabang bayi yang kelak diberi
nama Agni itu melewati rumah-rumah yang satu persatu mulai menyalakan lampu.
Mereka terbangun oleh jeritan tangis Ros. Perlu diingat, ini tangisan kemarahan
bukan kesedihan apalagi kepasrahan. Satu demi satu penghuni rumah-rumah seisi
kampung keluar dan berdiri di teras mereka masing-masing, mengira-ngira
keributan apa yang sedang diperbuat oleh sepasang suami istri itu. Tapi rasa
penasaran tak pernah bertahan lama, ia langsung dilibas dan digantikan oleh
prasangka. Desas-desus menyebar di antara para warga, bahkan dalam waktu
singkat ada yang bilang bahwa Ros sudah gila.
Rukmana membawa Ros ke rumahnya, dari pintu masuk ia terus
menyeret perempuan itu—katanya, Ros tak mau lagi disebut sebagai istri
Rukmana—melewati ruang tamu, melewati kamar tidur lalu masuk ke dapur. Di ujung
dapur ada sebuang ruangan kecil yang digunakan sebagai tempat penyimpanan
perabotan yang sudah jarang dipakai. Penuh debu dan kotoran-kotoran yang
berasal dari abu perapian. Ke sana Ros dijebloskan oleh Rukmana. Setelah
pintunya ditutup, pegangannya ia sumpal dengan sepotong kayu. Ros terkunci dari
luar.
Dan di bawah sana, di rumah panggung si perempuan bermata
coklat yang begitu Ros kenal, angin mulai turun tangan, dengan lembut membantu
api yang dari tadi ingin segera mulai bekerja. Bersama, mereka berputar-putar,
perlahan-lahan merangkak menyusup ke dalam kolong rumah panggung milik si perempuan
itu. Mereka terus melaju hingga akhirnya bibir api mengecup lembut tiang kayu
penyangga si rumah panggung. Kemudian mereka bercumbu dengan penuh gairah,
saling menggigit, memagut dan tak saling melepaskan. Api kemudian menjalar ke
ke papan-papan kayu, lantai kamar, ranjang, dapur, dinding yang terbuat dari
bilik bambu dan kursi-kursi, semua khidmat dilumat kobaran. Hingga akhirnya api
memanjat hingga ke atap, menghanguskan langit-langit dan genteng-genteng yang
menghitam ditanami lumut-lumut. Rumah panggung si perempuan bermata coklat yang
begitu Ros kenal kini menari-nari dalam persetubuhannya dengan Sang Api.
Persetubuhan paling membara yang pernah disaksikan semua penduduk kampung.
Saka Bramanti melihat dari balik pintu kamarnya yang
terbuka, ketika ibunya dipenjara oleh ayahnya di balik pintu gudang dapur.
Setelah itu Sakti juga memutuskan bahwa ia rela untuk hanya punya seorang ibu.
***
Ros menggunting benang terakhir dan menyelesaikan sulamannya.
Dengan gerakan lemah ia membentangkan sehelai kain kemudian meletakkan beberapa
potong pakaian dan sebuah sampur berwarna kuning terang yang biasa ia gunakan
dulu ketika masih sering menari.
Ia ikatkan ujung-ujung kain itu dalam dua buah sampul yang
saling tindih. Saputangan yang selesai ia sulam itu ia daratkan sejenak di
sudut matanya, menghapus beberapa titik-titik basah. Sebelum akhirnya ia lipat
menjadi kotak kecil berukuran tak lebih besar dari telapak tangan, kemudian
diselipkan di antara pelukan Sakti yang matanya masih tertutup.
Dengan hati-hati ia mengangkat Agni ke dalam pangkuannya,
tapi selembut apapun pangkuan seorang ibu, Agni si bayi ternyata bisa merasakan
apa yang Ros sembunyikan. Dengan sengaja ia menangis meski Ros terus
menepuk-nepuk pantatnya sampai akhirnya Sakti terbangun.
Ros terperanjat ketika Sakti bangkit lalu duduk, mata mereka
beradu. Ros hampir tak bisa menahan tangis, tapi ia tak boleh cengeng. Ia tak
punya lagi keberanian untuk kembali duduk. Air mata Ros kini hanya bisa mengalir
tanpa peduli yang lain. Malam ini hatinya terbelah menjadi dua.
Sakti kemudian bergerak mendekat. Dengan mantap ia raih
tangan ibunya yang gemetar, ia kecup khidmat dengan kedua matanya tertutup
rapat. Ros merasakan tangannya menjadi dingin dan basah. Ia benamkan wajahnya
ke dalam selimut yang membalut Agni dalam gendongannya. Perlahan-lahan Sakti
mengangkat wajahnya, memandang Ibu dan adik perempuannya untuk terakhir kali
sampai akhirnya ia sedikit demi sedikit mundur lalu kembali tidur. Terbaring tenang
di atas kasur.
Dengan sisa tenaga yang masih tersimpan dalam badannya, Ros
kemudian berlari keluar setelah sebelumnya menyambar buntalan kain berisi
bekalnya melarikan diri. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Tidak
bahkan untuk melihat Sakti yang ternyata diam-diam melihat dari sudut jendela.
Ros terus berlari sampai akhirnya menghilang di balik rimbun pepohonan.
Ditulis oleh: ypalwaguna
Ditulis oleh: ypalwaguna
Speechless.
BalasHapuskeren banget mengolah emosinya, saya benar-benar merasa diaduk dan larut.
Salute!
ah teh Lupita berlebihan. :)
BalasHapus