ROSVATI: PART II (Ketika Hati Terbelah Dua)



Di bawah lampu kamar yang kian remang Ros menorehkan garis demi garis sulaman benang di atas sebuah saputangan berwarna putih bersih. Setiap garis benang ia jahitkan setiap itu pula hatinya terasa ngilu. Semakin dekat sulamannya itu pada keutuhan, semakin dekat pula ia pada waktu yang telah ia janjikan pada dirinya sendiri.


Dengan mata berair, Ros meraba-raba gambar yang telah ia lukiskan dalam ribuan tusukan jarum. Dahinya berkerut hingga kedua pangkal alisnya yang tebal  hampir bersentuhan. Ia membatin dalam hati “hanya tersisa beberapa goresan lagi”. Ada perasaan bersalah yang menghantuinya setiap kali Ros mengingat betapa giatnya ia menyulam.


Saka Bramanti kini sudah berusia enam tahun kurang sebulan. Ia tumbuh dengan begitu cepat. Badannya tinggi, otot-ototnya kecil namun kuat. Ia terbiasa mengangkat beban-beban berat. Sejak kecil, Sakti—begitu cara Ros memanggil anaknya—sudah rajin membantu ibunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti membelah kayu-kayu bakar atau bahkan dalam waktu-waktu tertentu: menyelamatkan diri. Pada usia lima tahun Sakti bahkan sudah pandai mencarikan ikan-ikan di sungai untuk makan. Bagian yang paling ia sukai adalah kepala dan ekornya, dengan begitu ia bisa memberikan bagian yang memiliki lebih banyak daging pada ibunya.

Sakti adalah sebuah rahasia kecil di antara Ros dan anak sulungnya itu. Ketika ia lahir, Ros bersikeras untuk menamainya Saka Bramanti seperti wangsit yang ia terima dalam mimpinya kala usia kandungannya menginjak usia empat bulan. Dan mimpi itu terulang kembali dua kali, yaitu ketika kandungannya berusia tujuh bulan dan satu hari sebelum ia melahirkan. Tapi bapak Ros beserta mertua lelakinya tak setuju dengan nama itu. Mereka tak percaya pada mimpi seorang perempuan, bisa jadi itu bisikan setan, begitu ucapnya. Mereka malah bertanya pada Rukmana kalau-kalau ia pernah bermimpi tentang sesuatu ketika Ros hamil. Tapi Rukmana tampak tak peduli untuk sekedar mengingat-ingat.

“Kita namai anak ini Karmana.” Begitulah keputusan para tetua setelah yakin bahwa jari-jari kotor mereka membisikan sesuatu yang baik tentang nama itu dalam hasil hitungannya.
Tapi Ros tak menerima putusan itu. Ros ialah satu-satunya orang yang telah mengandung bayinya selama sembilan bulan. Kemaluannyalah yang dirobek dukun beranak ketika ia melahirkan anaknya ke dunia. Ros memang tak pernah tamat sekolah, tapi bahkan bagi pikirannya yang sederhana pun sungguh tak masuk akal jika ia sebagai ibunya tak diberi hak bahkan untuk  memberi nama. Padahal itu satu-satunya hal yang akan anaknya bawa dari lahir hingga tak bernyawa. Setidaknya itu yang ingin Ros hadiahkan bagi anaknya.

Maka tanpa mengindahkan ucapan para tetua, ketika hanya ada mereka berdua, Ros akan memanggil anak sulungnya itu dengan sebutan Sakti—Saka Bramanti. Itulah pemberontakan Ros yang pertama.
Bocah lelaki itu sedang tertidur tenang di hadapan Ros dengan hanya berselimutkan sehelai kain panjang bermotif burung-burung merak yang sedang berlenggak-lenggok. Di samping Sakti terbaring pula anak kedua Ros yang kini berusia sepuluh bulan. Ros memanggilnya Agni Chandrawati.
Ketika Ros mengandung Agni, ia melakukan pemberontakannya yang kedua. Dengan perutnya yang buncit—ketika itu pintu-pintu rumah telah tertutup, tak ada lagi jendela-jendela yang terbuka dan orang-orang sudah berselimut hendak pergi tidur—Ros berjalan keluar dari rumahnya membawa sebuah obor dengan api yang menyala-nyala.

Langkahnya mantap meski jalanan licin berbatu-batu. Hanya satu tempat yang ia tuju. Tempat yang menjadi sumber bau busuk yang menusuk-nusuk hidungnya akhir-akhir ini, ketika ia mandi, makan, bahkan tidur.

Begitu sampai di depan rumah yang ia tuju, dengan kepalan tangannya Ros menggedor pintu. Namun tak ada orang menyahut. Semakin keras ia memukul tapi penghuni rumah belum juga datang menyambut. Mungkin mereka sedang tak mau diganggu, apalagi yang datang memang bukan hendak datang untuk bertamu.

Tapi Ros tak punya niatan untuk menyerah, bau yang lebih busuk dari sampah dan bangkai makin menyeruak membuat perutnya semakin mual. Ia teriakkan nama suaminya keras-keras sambil terus menggedor pintu bahkan juga jendela hingga bergetar-getar.

Terdengar suara langkah kaki berderap-derap keras di atas papan kayu. Tak lama hingga akhirnya penghalang itu terbuka dan bau busuk menerjang keluar dari balik pintu. Mata Ros bertemu mata suaminya, bertelanjang dada dan mengenakan sarung yang tergantung di atas lutut, kentara sekali ia dikenakan dengan terburu-buru. Kemudian menyusul seorang  wanita berambut ikal dengan bola mata coklat yang begitu Ros kenal muncul dari balik punggung.

Seumur hidup baru kali ini Ros mengeluarkan sumpah serapah. Semua umpatan yang pernah ia tahu semenjak telinganya bisa mendengar sampai kini ia habis ditampar dan ditikam dari belakang, ia lontarkan lantang-lantang dengan badan nyaris gemetar. Melayang tajam mengendarai segenap udara yang dapat dilemparkan dari kedua kantung paru dalam dadanya. Sesuatu meleleh dari kedua sudut matanya. Pipinya kembali basah, tapi kali ini oleh amarah bukan tangis pasrah.

Tanpa tahu malu Rukmana berdiri berkacak pinggang. Menatap tepat ke mata Ros, seolah berkata bahwa ia hendak menantang. Tak ada istilah mengaku salah bagi seorang pria seangkuh Rukmana. Dengan tangannya yang kasar, ia menggamit tangan Ros lalu menyeretnya ke jalan.  Terhuyung-huyung Ros terbawa langkah kaki Rukmana. Obor yang menyala-nyala di tangannya jatuh tergeletak di teras rumah perempuan bermata coklat itu.

Rukmana terus menarik Ros dan jabang bayi yang kelak diberi nama Agni itu melewati rumah-rumah yang satu persatu mulai menyalakan lampu. Mereka terbangun oleh jeritan tangis Ros. Perlu diingat, ini tangisan kemarahan bukan kesedihan apalagi kepasrahan. Satu demi satu penghuni rumah-rumah seisi kampung keluar dan berdiri di teras mereka masing-masing, mengira-ngira keributan apa yang sedang diperbuat oleh sepasang suami istri itu. Tapi rasa penasaran tak pernah bertahan lama, ia langsung dilibas dan digantikan oleh prasangka. Desas-desus menyebar di antara para warga, bahkan dalam waktu singkat ada yang bilang bahwa Ros sudah gila.

Rukmana membawa Ros ke rumahnya, dari pintu masuk ia terus menyeret perempuan itu—katanya, Ros tak mau lagi disebut sebagai istri Rukmana—melewati ruang tamu, melewati kamar tidur lalu masuk ke dapur. Di ujung dapur ada sebuang ruangan kecil yang digunakan sebagai tempat penyimpanan perabotan yang sudah jarang dipakai. Penuh debu dan kotoran-kotoran yang berasal dari abu perapian. Ke sana Ros dijebloskan oleh Rukmana. Setelah pintunya ditutup, pegangannya ia sumpal dengan sepotong kayu. Ros terkunci dari luar.

Dan di bawah sana, di rumah panggung si perempuan bermata coklat yang begitu Ros kenal, angin mulai turun tangan, dengan lembut membantu api yang dari tadi ingin segera mulai bekerja. Bersama, mereka berputar-putar, perlahan-lahan merangkak menyusup ke dalam kolong rumah panggung milik si perempuan itu. Mereka terus melaju hingga akhirnya bibir api mengecup lembut tiang kayu penyangga si rumah panggung. Kemudian mereka bercumbu dengan penuh gairah, saling menggigit, memagut dan tak saling melepaskan. Api kemudian menjalar ke ke papan-papan kayu, lantai kamar, ranjang, dapur, dinding yang terbuat dari bilik bambu dan kursi-kursi, semua khidmat dilumat kobaran. Hingga akhirnya api memanjat hingga ke atap, menghanguskan langit-langit dan genteng-genteng yang menghitam ditanami lumut-lumut. Rumah panggung si perempuan bermata coklat yang begitu Ros kenal kini menari-nari dalam persetubuhannya dengan Sang Api. Persetubuhan paling membara yang pernah disaksikan semua penduduk kampung.

Saka Bramanti melihat dari balik pintu kamarnya yang terbuka, ketika ibunya dipenjara oleh ayahnya di balik pintu gudang dapur. Setelah itu Sakti juga memutuskan bahwa ia rela untuk hanya punya seorang ibu.

***
Ros menggunting benang terakhir dan menyelesaikan sulamannya. Dengan gerakan lemah ia membentangkan sehelai kain kemudian meletakkan beberapa potong pakaian dan sebuah sampur berwarna kuning terang yang biasa ia gunakan dulu ketika masih sering menari.
Ia ikatkan ujung-ujung kain itu dalam dua buah sampul yang saling tindih. Saputangan yang selesai ia sulam itu ia daratkan sejenak di sudut matanya, menghapus beberapa titik-titik basah. Sebelum akhirnya ia lipat menjadi kotak kecil berukuran tak lebih besar dari telapak tangan, kemudian diselipkan di antara pelukan Sakti yang matanya masih tertutup.

Dengan hati-hati ia mengangkat Agni ke dalam pangkuannya, tapi selembut apapun pangkuan seorang ibu, Agni si bayi ternyata bisa merasakan apa yang Ros sembunyikan. Dengan sengaja ia menangis meski Ros terus menepuk-nepuk pantatnya sampai akhirnya Sakti terbangun.

Ros terperanjat ketika Sakti bangkit lalu duduk, mata mereka beradu. Ros hampir tak bisa menahan tangis, tapi ia tak boleh cengeng. Ia tak punya lagi keberanian untuk kembali duduk. Air mata Ros kini hanya bisa mengalir tanpa peduli yang lain. Malam ini hatinya terbelah menjadi dua.

Sakti kemudian bergerak mendekat. Dengan mantap ia raih tangan ibunya yang gemetar, ia kecup khidmat dengan kedua matanya tertutup rapat. Ros merasakan tangannya menjadi dingin dan basah. Ia benamkan wajahnya ke dalam selimut yang membalut Agni dalam gendongannya. Perlahan-lahan Sakti mengangkat wajahnya, memandang Ibu dan adik perempuannya untuk terakhir kali sampai akhirnya ia sedikit demi sedikit mundur lalu kembali tidur. Terbaring tenang di atas kasur.


Dengan sisa tenaga yang masih tersimpan dalam badannya, Ros kemudian berlari keluar setelah sebelumnya menyambar buntalan kain berisi bekalnya melarikan diri. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Tidak bahkan untuk melihat Sakti yang ternyata diam-diam melihat dari sudut jendela. Ros terus berlari sampai akhirnya menghilang di balik rimbun pepohonan.

Ditulis oleh: ypalwaguna

2 komentar:

  1. Speechless.
    keren banget mengolah emosinya, saya benar-benar merasa diaduk dan larut.
    Salute!

    BalasHapus