Sukus
dan Tukus adalah Realita, Dunia adalah Dongeng
(Kisah
ini diadaptasi dari “Perampok Bangsa-Bangsa” Karya Prof. Dr. Ahamed Kameel
Mydin Meera)
Di
atas dunia ini mengambang dua pulau yang berkarib bernama Pulau Aya dan Pulau
Baya. Pulau Aya dihuni oleh Suku Sukus dengan kepala suku bernama Saka. Mereka
hidup dalam karunia dan kedamaian. Daratan mereka adalah tanah yang subur
tempat bercocok tanam yang baik dan menghasilkan aneka buah dan sayuran tropis,
tak hanya itu laut mereka pun memiliki ikan dan sumber daya yang melipah dan
beraneka ragam. Selain dimanjakan oleh kekayaan alam bagai surgawi, Pulau Aya
pun memiliki pemandangan yang sangat cantik. Tak heran banyak wisatawan
tertarik untuk melancong ke sana.
Suku
Sukus terkenal dengan kesejahteraan yang cukup tinggi. Mereka sangat beruntung
karena Pulau Aya juga penghasil emas. Semua anggota suku memiliki emas dan
mereka bekerja untuk mendapatkan itu, emas bagi mereka adalah harta berharga
yang juga digunakan sebagai alat transaksi. Saka sebagai ketua suku menetapkan
emas sebagai alat tukar untuk menggantikan sistem barter dan hasilnya
perdagangan pun menjadi lebih mudah.
Meskipun
emas adalah simbol kekayaan, namun Suku Sukus tidak serakah dan tetap
mengedepankan gotong royong. Ketika salah satu keluarga terseret rumahnya
karena ombak maka keluarga yang lain akan dengan suka rela meminjamkan emas
mereka tanpa meminta kelebihan dari pembayaran. Karakter saling membantu telah
mendarah daging dalam jiwa setiap anggota Suku Sukus.
Tetangga
Pulau Aya yaitu Pulau Baya berpenduduk Suku Tukus dengan kepala suku bernama
Taka. Mayoritas anggota suku adalah petani dan peternak. Mereka masih
menggunakan barter dalam perdagangan, dapat dikatakan kesejahteraan Suku Tukus
tidak setinggi Suku Sukus namun satu kesamaan dari kedua suku yang paling
menonjol adalah kegemaran mereka membantu sesama. Keduanya hidup damai dan
rukun, mereka saing mengunjungi dan menjalankan ritual agama dengan tenang.
Suatu
masa datanglah tamu istimewa ke Suku Sukus. Dua orang berpenampilan necis
bernama Sago dan Gago. Sesuai dengan karakternya yang ramah kedua tamu itu
disambut dengan suka cita oleh kepala suku dan penduduknya. Sago dan Gago
bercerita tentang pengalamannya melanglang buana dan menunjukkan beragam koin
emas dari negeri-negeri asing yang mereka kunjungi, kisah itu tentu saja sangat
mengesankan bagi Suku Sukus.
Selain
memamerkan emas yang mereka akui hasil mengunjungi tempat-tempat di dunia, Sago
dan Gago juga menunjukkan sebuah benda yang belum pernah dilihat oleh Suku
Sukus sebelumnya yaitu uang kertas. Mereka berdua kemudian menjelaskan uang
kertas itu sebagai alat tukar yang jauh lebih efisien ketimbang koin emas dalam
perdagangan sehari-hari. Di pulau-pulau yang lebih maju uang kertas sudah lebih
dulu digunakan. Suku Sukus memberikan respon positif atas ide uang kertas maka
Sago dan Gago kemudian mengeluarkan sebuah benda yang disebut mesin pencetak
uang.
Demi
mewujudkan ide brilian ini sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank
ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan emas yang ditukar dengan uang
kertas produksi Sago dan Gago berupa pinjaman. Berbekal keinginan luhur, Suku
Sukus percaya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan
untuk kegiatan ekonomi produktif.
Suku
Sukus sangat terkesan dengan ide ini, karena mereka pikir lembaga ini dapat
meneruskan kebiasaan mereka yang suka membantu. Jadilah ide pendirian bank ini
diamini dan dirayakan dengan gempita. Sebagian besar dari mereka sudah membawa
koin-koin emas mereka yang selama ini di simpan dalam laci-laci lemari. Setiap
satu koin emas yang mereka simpan di bank akan ditukar dengan uang kertas
sebagai jaminan jika sewaktu-waktu mereka ingin mendapatkan kembali koin emas
mereka hanya perlu mengembalikan uangnya dan memperoleh koinnya kembali.
Sejumlah
100.000 lembar uang kertas diterbitkan yang berarti bank mendapatkan 100.000
keping emas sebagai jaminan. Penduduk Pulau Aya menikmati keberadaan uang
kertas itu karena transaksi diantara mereka menjadi lebih mudah dan nyaman.
Semakin lama penggunaan koin emas sebagai alat tukar praktis ditinggalkan.
Penduduk pun tetap lega karena mereka tetap bisa memperoleh koin emas mereka
kembali jika ingin, untuk hal yang satu ini Sago dan Gago sangat menjaga
kepercayaan.
Kemajuan
ini ternyata didengar oleh Pulau Baya, Suku Tukus juga sangat ingin agar
praktir seperti itu juga dijalankan dalam perekonomian mereka. Mereka yakin
inilah jawaban untuk menggantikan sistem barter dengan sistem transaksi yang
lebih mudah dan efisien. Taka sebagai ketua suku mengutus wakilnya untuk
menemui Sago dan Gago. Sago menyanggupi permintaan Suku Tukus dan memerintahkan
Gago untuk membuka cabang bank di Pulau Baya dengan Gago sebagai manajernya.
Suku
Tukus menceritakan sedikit keresahan mereka karena Pulau Baya bukanlah
penghasil emas seperti Pulau Aya. Namun Gago tetap menyetujui keinginan mereka
untuk pendirian bank. Gago mulai membagikan uang kertas sebanyak seribu lembar
kepada seratus kepala keluarga Suku Tukus jadi total ada seratus ribu uang
beredar di Pulau Baya. Sebagai konsekuensi ketiadaan emas setiap kepala
keluarga di Pulau Baya harus memberikan tambahan seratus lembar uang kertas di
akhir tahun sebagai biaya peminjaman. Walaupun terasa mengganjal namun Suku
Tukus tetap memilih untuk mengadopsi system transaksi yang baru itu.
Menurut
pengamatan Sago penduduk Pulau Aya rata-rata hanya sekitar sepuluh persen uang
kertas yang ditukarkan kembali ke koin emas pada setiap waktu. Sembilan puluh
persen sisanya tetap disimpan di dalam bank. Melalui realita ini akhirnya Sago
mengambil keputusan untuk mencetak kembali uang sebanyak 900.000 lembar, ini berarti aka nada 1000.000
lembar uang yang beredar di Pulau Aya. Kalaupun Suku Sukus ingin mendapatkan
kembali koin emas mereka berdasarkan statistik yang lalu-lalu maka hanya akan
ada sepuluh persen saja yang melakukan hal itu, maka bank masih memiliki
cadangan emas milik Suku Sukus sendiri untuk menanggulanginya.
Bank
mengedarkan 900.000 uang kertas ini melalui pinjaman. Jika sebelumnya Gago
hanya meminta tambahan sepuluh persen di Pulau Baya maka dengan kebijakannya
Sago memungut lima belas persen bagi setiap anggota Suku Sukus yang
menginginkan pinjaman. Maka apabila seseorang meminjam seribu lembar uang
kertas maka ia harus mengembalikannya sebesar 1150 lembar, 150 sebagai charge
atas layanan yang bank berikan.
Waktu
terus menyusut, tanpa terasa satu tahun telah menuju penghabisan. Apa yang
terjadi pada Suku Tukus dan Sukus? Tanpa disadari penduduk Pulau Aya merasakan
harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik, mereka tidak mengetahui apa
penyebabnya. Banyak dari mereka yang meminjam uang dari bank milik Sago
mengalami gagal bayar. Suku Sukus bukanlah orang yang malas bekerja tetapi
tetap saja mereka merasa sukar melunasi utang berikut bunganya. Dan memang mereka
tidak akan pernah bisa. Perhatikan, uang yang dipinjamkan berjumlah 900.000
namun bunga sebesar 135.000 hal ini menjadikan total yang harus dibayar sebesar
1.035.000 padahal keseluruhan uang yang beredar hanya 1000.000 lembar.
Perlahan
tapi pasti sifat saling menolong diantara Suku Sukus meluntur dan digantikan
oleh sikap individualis yang kompetitif. Mereka sibuk dengan urusan ekonominya
sendiri terutama yang berhutang harus bekerja keras untuk melunasinya. Hal ini
juga dirasakan oleh Suku Tukus, kebutuhan mereka semakin lama semakin sulit
terpenuhi karena harga semakin melambung banyak pula dari mereka yang akhirnya
mengalami gagal bayar pada bank. Mereka yang mengalami gagal bayar baik pada
Suku Sukus dan Tukus harus merelakan aset mereka seperti rumah, sawah, ternak
maupun harta lainnya untuk disita bank.
Setelah
bertahun-tahun berlalu, Gago dan Sago yang semula tiba ke Pulau Aya dan Baya
dengan modal mesin pencetak uang kini telah menjadi pemilik hamper seluruh
kekayaan dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan properti. Bermodalkan
uang mereka juga beroleh kekuasaan baru yaitu politik pulau tersebut.
Kedua
pulau tersebut tiba-tiba merasakan kemiskinan seperti endemik, mereka bekerja
keras untuk hasil yang sedikit. Kejahatan yang semula hanya seperti
cerita-cerita dari negeri jauh kini benar-benar mereka alami. Perampokan,
prostitusi, dan pembunuhan karena uang sudah menjadi cerita sehari-hari
--------------------------------------------------------------------
Penulis : Aya Sofi Rumaisha
Kisah ini saya
dapatkan setelah membaca buku berjudul Perampok Bangsa-Bangsa karya Prof. Dr.
Ahamed Kameel Mydin Meera. Bagi yang ingin menggali lebih dalam dengan membaca
buku ini dapat menghubungi saya untuk peminjaman (tenang, tidak akan dikenakan
bunga hingga gagal bayar :D ). Mari saling berbagi ilmu.*sumber gambar: Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar