Tidak ada yang baik-baik saja sebetulnya.
Kendati ketakutan pada ketinggian telah menempel di otak dan jadi bagian sarafnya sejak lama, mesti bisa kuenyahkan. Satu tangan beserta kaki mencengkeram pijakan di dahan yang kunaiki, sebelah tangan mencoba menggapai buah itu--buah yang entah apa namanya tapi sepertinya tidak beracun dan bisa dimakan. Aku sudah mengerjap-ngerjap dengan tanganku, bahkan berharap batang tangan beserta kelima jarinya dapat memanjang dengan sendirinya.
Di sisi lain Melsenda menyemangati, mengimbuhkan
“Ayo kau pasti bisa, kau bukan adikku yang penakut!”
Aku tahu, aku tahu bila saja Mel seperti dulu pastilah dia yang akan di dahan ini.
Selain buah itu, aku berhasil mendapat seekor ikan yang kuperoleh dari sungai dengan susah payah, menggembirakannya adalah ukuran ikan tersebut tidak sepayah kemarin-kemarin. Api sisa semalam yang masih agak menyala pun menjadi tidak begitu sulit dihidupkan kembali. Kutusuk ikan lalu kubakar tanpa buku panduan dari chef manapun.
Aku menawari Mel, tapi dia tersenyum sambil menggeleng, hanya melihatku yang makan buah, tampaknya dia sangat memastikan bahwa aku memakannya dan tidak kelaparan, meski menggeleng tetap aku menyisakan, kusimpan didekatnya.
Perjalanan mendaki Gunung Baracktail selatan menuju San Vedmile kemarin betul-betul keputusan paling keliru yang pernah dilakukan Mel, sangat keliru. Aku yakin bila dia tahu sejak awal akan begini jadinya dia tidak akan menjadikan Gofrey sebagai sohib kerjanya, dan akan menendang keluar Viorena yang mengajaknya dengan antusias pada pekan-pekan sebelumnya, dan akan menitipkanku pada bibi Morena jika tahu aku yang akan paling menderita pada akhirnya.
Pendakian itu tidak menyenangkan. Berjalan ke arah pergunungan tertinggi di tengah lautan pasir, di sekeliling hanya padang gurun dengan kaktus dan semak belukar, bebatuaan kasar, cuaca tandus serta harus memaksa kaki berjalan terus menurus sampai lecet. Profil gunung kecokelatan menjulang dan landscape yang konon menakjubkan membuat semuanya rela melakukan itu, lagian katanya, dari pada liburan musim panas kuhabiskan dengan berjelaga di rumah lantaran Mel menolak keinginanku untuk ke Disneyland, sebab baru bulan kemarin aku merengek minta dibelikan sepeda, padahal itu pun dalam rangka mengurangi beban mengantarkanku ke sekolah dengan mobil Ford Mustang tua yang dianggapnya gesit--padahal kecepatannya tidak jauh beda dengan kemampuan manula encok yang ikutan maraton--jadilah aku turut mereka.
Bau hangus membuyarkan pikiran itu, bagian sebelah ikannya gosong. Kuangkat lalu kuletakan pada daun, kuguling-gulingkan agar tidak terlalu panas, sesekali aku meniupnya dengan tidak sabaran.
Kugigit, rasanya gosong dan tentu saja panas, tapi tak kupedulikan karena seruan diperut ini memaksaku demikian, di samping itu juga mata ini ingin menggelontor. Pahit dan sakit di dada.
“Sudah...sudah...!”, kata Mel, dia mengusap kepalaku.
“Tapi aku hanya bocah berumur sembilan tahun! Dan.. kau selalu bilang aku bocah manja Mel, dan itu benar!”
Tapi Mel tetap mengusap kepalaku. Kutiup dan kulahap lagi ikan gosong itu. Hal yang membuatku menangis bukan karena kepanasan dan ikannya gosong. Lebih dari itu, selain fakta bahwa kami terpisah dari rombongan dan tersesat juga terjebak.
***
Ada satu hal yang tak mungkin aku dan Mel tidak syukuri luar biasa dan mustahil kami tampik adalah ini bukan musim di mana hujan tak sudi turun, bila saja itu terjadi kami benar-benar tamat. Kami terjebak di ngarai padang gurun yang nyaris tak pernah dijamah orang. Di tas bawaan kami hanya ada perlengkapan pendakian biasa seperti matras, kantung tidur yang terbuat bahan down duvet yang tebal dan membuatmu seperti kepompong, lalu ada senter yang kini habis baterainya, peralatan lainnya: kompas, gelas kecil, celurit dan satu lagi belati, juga spiritus, tambang-tambang menggulung dan kotak P3K. Terdapat satu benda yang kusesalkan tidak ada, yang mana itu adalah hasil kecerobohanku juga sebenarnya, yaitu pluit yang bisa digunakan sebagai tanda keberadaan kami, tapi dua hari sebelum keberangkatan tanpa sepengetahuan Mel aku menggunakannya tuk bermain dengan Dorri, anjing cihuahua lucu milik Fred teman sekelasku yang dikenal flamboyan.
Uhh, ponsel pun membangkai karena baterainya habis, harusnya seseorang yang mau mendaki membawa baterai tambahan, sayang baik Mel maupun aku apalagi, tak punya insting persiapan semacam itu. Dan aku menyesali tidak punya pengalaman soal bertahan hidup di alam, aku selalu enggan dan punya sejuta macam alasan untuk tidak gabung dalam acara kemping, aku malah lebih banyak punya pengalaman hidup dalam komik atau fiksi semacamnya.
***
Tahu benda kubus itu? Semacam mainan : puzzle, yang mengasah kemampuan otak katanya. Kata Mel lebih baik menyibukan diri pada sesuatu dari pada bercokol dan memikirkan hal mengerikan sebelum tim penyelamat menemukan.
Rubik, benda itulah yang membuat aku disentak tiga kali oleh Mrs. Dolina.
“Apa yang kau lakukan dikelasku tuan Medley?”, Ujar Mrs. Dolina kepadaku dengan mata curiga, dan aku pun dikeluarkan dari kelasnya pada kalimat selanjutnya dengan sentakan paling keras.
Kubus-kubus kecil yang berjumlah 27 itu membuat aku penasaran. Lagi pula pelajaran yang diberikan Mrs. Dolina membosankan: Boston tea party, kongres kontinental, penandatangan proklamasi, sampai mengulik thanksgiving.
Tapi sekarang di sini hanya ada aku, Mel dan rubik, juga aliran air tengah ngarai yang jernih dan rasanya pekat berbau tanah, terik panas dengan debu mengapung, dinding batu kecoklatan yang berubah jadi kemerahan saat senja, makhluk ngarai yang bisa mengancam seperti kalajengking jahat atau ular, tapi tak ada Mrs. Dolina.
Ya ampun Mel pelit sekali, dia tidak mau memberitahu caranya mensejajarkan warna-warna rubik itu.
“Kalau kuberitahu tidak akan seru lagi Rio, lagi pula kau perlu rubik yang yang warnanya masih acak, itulah yang menyibukanmu.”
Tapi Mel memberi klu, tentukan warna dasar lantai rubik, lengkapi atapnya, carilah bentuk ikan atau plus, selanjutnya aku harus memutar-mutar otak.
***
Pantulan semburat matahari senja menjadikan dinding ngarai yang menjulang tangguh berwarna merah, lalu menggelap jadi suram. Nyala siang panas lalu dingin malam menggenjala, api dinyalakan selain sebagai penghangat juga sebegai penghalau bagi binatang yang mengancam.
Tubuh Mel dingin, tapi biar pun begitu dia akan jadi yang terhangat yang memancar padaku, sampai kapan pun, kau tahu? seperti Aldebaran, bintang terang setelah Capella dan Altair, nun jauh tapi memancar dan mudah ditemukan juga lebih besar ketimbang dari matahari. Aku menyandarkan kepalaku diperut Mel.
“Sampai kapan kita akan di sini Mel? Kapan penyelamat akan datang? atau tidak sama sekali?”
“Bersabarlah, tidak lama lagi.”
“Aku sayang padamu Mel!”
“Tentu, aku tahu. Aku juga menyayangimu Rio adiku yg manja, sangat!”
Ketika aku berusaha keras mengingat wajah Mom, yang muncul hanyalah wajah Mel disana. Dialah yang menjagaku dari dulu dan entah mulai dari kapan. Mom sudah pergi Dad juga demikian, aku tidak tahu apapun. Mel maju kedepan membawaku dan mengambil begitu banyak tanggungjawab. Siangnya bekerja di market, dan malamnya jadi pelayan di cafe bibi Morena. Mel begitu gigih, aku ingin seperti Mel.
“Aku sayang sekali padamu Mel!”
“Dan aku selamanya Rio, Rio Medley-ku!”
Mata tertuutup. Aku bersama Mel juga pria bernama Vedh Tucson yang Mel cintai begitu juga sebaliknya, kami jalan-jalan ke Disneyland menaiki berbagai macam wahana, sesekali berlari dan aku minta dibelikan es krim vanilla dengan topping chococips dan saus stroberi, kami jalan bersama seperti satu keluarga, berirama. Kemudian dalam satu hentakan aku ingat, aku sadar, bahwa Vedh akan jadi pria paling sedih di dunia. Mata terbuka, sudah pagi rupanya.
Aku mendengar suara menderu yang asing dan meliung, meraung di atas tanah di antara dinding ngarai, tapi itu adalah suara bising yang paling ingin didengar dengan taruhan apapun, mendorong harapan maju pada kebebasan. Suara itu berasal dari putaran baling-baling helikopter. Aku berlari dengan beteriak sekencang yang pernah kulakukan sambil menenteng balok kayu yang hangus berharap asap yang ditimbulkannya menarik perhatian helikopter.
Tapi helikopter itu maju dan melintasi kami begitu saja, lurus kedepan melewati, seperti tidak mengindahkan kami, seketika ada perasaan tamat. Mel terus berteriak dan menarik perhatian meski telah cukup jauh untuk didengar mereka.
Helikopter berputar seratus delapan puluh derajat ditikungan besar sana, ternyata itu hanya manuver heli tuk berbelok ke arah kami agar tidak mengenai dinding ngarai.
“Kita selamat!!” pekikku, Mel juga begitu, kami melompat-lompat riang bersama, lalu sontaklah jiwa bocah cengengku kambuh lagi.
Sang Heli tetap diudara, tangga yang gulung seperti tambang itu dirumbaikan ke bawah, lalu dua orang dengan sigap turun dari sana persis yang pernah kutonton dalam film.
Aku memeluk begitu saja ketika menemukan manusia pertama selain aku dan Mel, dia juga tidak keberataan. Aku sesenggukan.
Cop itu bilang, ”Tidak apa, sudah aman sekarang!”, katanya menenangkanku. Aku masih menangis sebagaimana bocah yang ditemukan tim sar pada umumnya.
“Kami mendapat laporan bahwa kau bersama dengan kakakmu nak?”
“Mel di dalam gua,” ucapku setengah tersedak karena airmata, dan semakin menjadi ketika menyebut nama Melsenda.
“Astaga Tuhan....dia sudah tewas!”, ujar cop lain yang memeriksa ke dalam Gua.
“Sejak kapan kakakmu tewas?”
“Hmm, aku tidak tahu.. hmmm mungkin empat hari!”
Mel menuyuruhku mengucapkan selamat tinggal pada ngarai. Aku selalu membayangkan Mel ada menemaniku, agar aku tak ketakutan sepanjang sisa waktu menunggu tim penyelamat. Mel digigit kalajengking jahat saat menyelamatkanku yang bermain disekitar liangnya.
Aku tidak takut meski Mel sudah tewas dan jasadnya adalah mayat, aku tidak takut. Aku sayang padanya. Setiap hari aku berbicara sendiri denganya, membayangkannya juga dia balik bicara padaku, aku pun selalu mengelap muka, lengan, kaki dan bagian luar tubuhnya agar tetap bersih, bahkan aku menaruh air dan beberapa makanan didekatnya, takut-takut dia bangun kembali karena Tuhan berpikir ulang-bermurah hati memberika Mel lagi padaku, karena Tuhan itu penyayang, begitu pun aku sayang Mel. Gedung, gunung, bumi, planet, asteroid dan sekalipun jagat raya beserta seluruh isinya disatukan dalam sebuah gundukan besar padat, cinta dan sayangku pada Mel lebih besar dari itu. Dialah sayang segalanya bagiku, nyaris seperti jantung dan tubuhku sendiri, dia seperti Mom, aku tidak bisa membayangkan wajah ibu lain selain Mel-kakakku.
Aku tidak menguburkannya, selain aku tidak ingin juga aku tidak tahu prosesi yang benar, aku juga tidak menghanyutkannya di ngarai, itu mengerikan, Mel pantas mendapat pemakaman dengan layak.
Mel bicara--tentu ini hanya ada dibenakku saja, tapi itu cukup buatku.
”Aku menyangimu Rio Medley adikku, aku menepis tangan malaikat maut ketika dia hendak menyentuh punggungmu, ‘sudah cukuplah aku, ambilah nyawa dan rohku sesukamu dengan cara apapun yang kau suka, jangan Rio-ku, dia adikku. Cukup saja aku, kumohon dia Rio-ku.’ Ketika aku bertemu dengan Tuhan pun, ‘Jangan beriujian pada Rio-ku, cukup saja aku yang disiksa di sini bila itu bisa menggantikan derita Rio-ku, setelah aku meninggal dia akan jadi bocah penyendiri. Kumohon Tuhan dia Rio-ku, adikku'. Dan lebih dari itu aku akan terus memantaumu, juga mendoakan Vedh agar dia tidak terlalu berduka dan mencari Melsenda baru.”
Sesampai di barak cops yang aman, teman-teman Mel langsung memelukku satu persatu, dan ketika jasad Mel dikeluarkan, mereka serentak histeris. Gofrey, Viorena, Walt, yang lainnya bahkan ketua perjalanan kami tuan Bennet yang sangar pun menangis. Dan seperti yang telah kami duga, Vedh-lah yang paling terpukul, seperti aku. Dia seperti pria yang dibakar. Padahal sebentar lagi Mel dan Vedh akan menikah di kota Marriepord. Semuanya pupus.
Aku sebagai bocah, adiknya Melsenda memeluk punggung Vedh dan berbisik di telinganya
“Saat Mel melayang dia berkata, sayang padamu, teruskan hidup, jangan bebuat hal bodoh katanya. Mel mendoakan kita di sana.”
Dari belakang pun aku merasakan tangan Mel merengkuh punggungku.
Penulis: SJ. Munkian (fb/t/ig/tumblr/path)
Ruar biasa...
BalasHapus