Disclaimer: Ini bukan ajakan untuk setuju, tak usah takut untuk membaca.
Sejak membaca novel Supernova:
Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh pada bulan Ramadhan tahun 2013 lalu, saya
telah mendeklarasikan diri sebagai seorang pengagum Dewi ‘Dee’ Lestari. Semua
buku yang telah dipublikasikan oleh Dee kecuali Madre dan Perahu Kertas pernah
saya miliki dan saya baca. Bukan hanya cara Dee bertutur dan merangkai
kata-kata dengan begitu apik yang membuat saya suka, namun juga pemikiran-pemikiran yang ia sampaikan
terasa cocok dengan apa yang menjadi minat dan ketertarikan saya.
Selain menghasilkan tulisan-tulisan
yang menurut saya bagus, Dee juga sering memberikan tips-tips bagi orang-orang
yang juga berkeinginan untuk menjadi penulis. Salah satu tips menulis dari Dee
yang paling saya ingat adalah tentang hal apa yang harus kita tulis. Dee
berpesan kira-kira begini: Tulislah apa
yang ingin kamu baca. Tulislah hal yang menurutmu penting, mendesak dan
menggemaskan.
Dan sebagai pengagum Dee yang
setia saya tentu mencoba untuk mengikuti sarannya tersebut. Salah satunya
dengan membuat tulisan ini.
Selama beberapa hari terakhir
linimasa twitter saya dipenuhi dengan berbagai tanggapan terkait SGRC-UI
(Support Group and Resource Center on Sexuality Studies University of Indonesia)
–sebuah organisasi mahasiswa yang bergerak dalam lingkup kajian dan pemikiran
di bidang seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual yang berbasis di
Universitas Indonesia-- yang katanya mendapatkan pelarangan dari pihak kampus
terkait penggunaan nama dan makara UI pada logo SGRC-UI. Banyak pihak kemudian merespons dengan menyatakan dukungan mereka bagi keberlangsungan SGRC-UI, di antaranya alumni,
dosen, mahasiswa UI dan masyarakat umum pengguna twitter lainnya. Mereka
menggunakan hashtag #dukungSGRCUI sebagai tanda dukungan mereka.
Padahal menurut rilis media yang
dikeluarkan oleh pihak SGRC-UI sendiri, permasalahan dengan Humas UI sebetulnya
hanya pada penggunaan nama dan makara UI di logo SGRC-UI, tidak ada pelarangan dan
pembubaran. Bahkan pihak Humas UI telah menjalin kerjasama yang baik selama dua
tahun SGRC-UI berjalan dengan menayangkan agenda kegiatan SGRC-UI di website
resmi Humas UI. Namun apa mau di kata, dunia maya sudah terlanjur dibuat heboh
dengan topik yang bahkan kemudian melebar hingga menyangkut isu kehadiran kelompok LGBT di
kalangan kampus.
Kejadian ini berawal ketika
SGRC-UI meluncurkan sebuah proyek kolaborasi dengan Melela.org yang bertajuk
Peer Support Network yang bertujuan untuk memberikan bantuan bagi kelompok LGBT
muda dengan menyediakan konseling dan sumber informasi mengenai seksualitas dan
gender. Sama sekali bukan tempat pacaran masal atau biro jodoh bagi para LGBT.
Di mana pada posternya terdapat nama dan makara Universitas Indonesia.
Republika.co.id sempat menurunkan
beberapa berita terkait isu ini di antaranya berita yang berjudul “Konseling
Homo dan Lesbian Mahasiswa UI Hebohkan Media Sosial” dengan tag #lgbt serang
kampus #lgbt masuk kampus #homo dan lesbian masuk kampus #konseling lgbt #sgrc
#gerakan sgrc (jujur, saya merasa tidak nyaman ketika membaca tiga tag pertama
yang tercantum di bawah berita tersebut). Kemudian ada juga berita berjudul “UI
Tolak Kelompok Mahasiswa Pendukung Homo dan Lesbian”, “Bikin Heboh Soal Homo di
UI, SGRC juga Sudah Ada di UIN Jakarta”, “Gay dan Lesbian Mengancam Harkat
Kemanusiaan”, “Menristek Dikti: LGBT tak Boleh Masuk Kampus”. Sungguh,
judul-judul yang terdengar begitu menyudutkan bukan?
Pada berita terakhir yang saya
sebut di atas, termuat pernyataan dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Menristek Dikti), M. Nasir yang menyatakan bahwa kelompok lesbian, gay,
biseksual dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk kampus. Ia juga berpendapat
bahwa keberadaan kelompok LGBT bisa merusak moral bangsa dan kampus sebagai
penjaga moral semestinya harus bisa menjaga betul nilai-nilai susila dan nilai
luhur sebagai bangsa Indonesia. Bahkan ia juga menegaskan bahwa kelompok LGBT tidak
boleh dibiarkan berkembang dan diberi ruang segala aktivitasnya.
Pernyataan-pernyataan tersebut
beliau ungkapkan pada wawancara usai meresmikan kampus baru Universitas PGRI
Semarang, pada hari sabtu tanggal 23 Januari lalu. Namun bukan itu saja,
keesokan harinya ia kemudian memaparkan lebih lanjut pandangannya mengenai
permasalahan ini melalui akun twitternya @menristekdikti melalui enam belas
buah twit bernomor. Ia menegaskan bahwa larangannya bagi LGBT untuk masuk
kampus harus dipahami secara objektif. Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi
hak masing-masing individu asal tidak mengganggu kondusifitas akademik.
Larangan bagi LGBT masuk kampus yaitu apabila mereka melakukan tindakan yang
kurang terpuji seperti bercinta, atau pamer kemesraan di kampus. Itulah yang
akan berdampak terhadap kerusakan moral bangsa.
Pernyataan Bapak Menteri melalui
akun twitternya tersebut ternyata malah memancing semakin banyak tanggapan dari
para pengguna twitter lainnya. Banyak orang yang beranggapan bahwa pendapat
beliau amatlah jauh dan tak menjejak pada realita. Semisal pada larangannya
terhadap LGBT yang bercinta dan mengumbar kemesraan di kampus.
Pada nyatanya, gay dan lesbian di
Indonesia masih menjadi minoritas dan sasaran penghakiman, juga bullying dan
pelecehan. Jangankan untuk pamer kemesraan, sekedar untuk mengakui identitasnya
sebagai gay atau lesbian pun sudah menjadi hal yang amat sulit dan berisiko.
Sungguh jauh dari ketakutan yang dibayangkan Pak Menteri. Justru hal ini
merupakan salah satu pemicu kehadiran Peer Support Network itu sendiri, yaitu sebagai
media konseling bagi para gay, lesbian, biseksual atau transgender yang
mengalami masa-masa sulit karena orientasi seksual mereka dan memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan
anda seputar LGBT.
Para netizen juga menganggap
pernyataan Pak Menteri sebagai pemberangusan hak bagi kaum LGBT untuk
mendapatkan pendidikan, terlibat aktif dalam dunia pendidikan, dan ikut
berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Banyak di antara mereka yang
menyebut nama tokoh Alan Turing sebagai seorang gay yang berjasa dalam
perkembangan teknologi komputer yang kita gunakan kini. Itu sebagai contoh bahwa
prestasi (dan moralitas) seseorang tidak ditentukan oleh orientasi seksualnya.
Kejadian-kejadian ini memicu
perbincangan yang ramai di twitter tentang hal yang selalu diperdebatkan selain
hukum mengucapkan natal bagi muslim atau hukum bertukar hadiah dan coklat pada
tanggal 14 Februari. Perdebatan yang tak pernah usai. Perdebatan yang tak
bergerak ke mana-mana. Semua orang tetap kukuh pada pendirian mereka
masing-masing. Ya, tentu saja, karena perdebatan tidak dirancang untuk
menghasilkan kesepakatan dan kesalingpahaman di antara kedua pihak yang saling
berseberang pandangan.
Tapi saya ingin mengajak anda,
yang saya yakin tak terlalu mengerti mengenai LGBT bahkan mungkin bergidik
ngeri setiap kali mendengar istilah itu—untuk mengunjungi situs Melela.org (Melela
digunakan sebagai padanan kata bagi coming out dalam bahasa inggris yaitu istilah
yang merujuk pada kegiatan ketika seseorang mengakui kepada orang lain bahwa
dirinya adalah seorang gay, lesbian, biseksual atau transgender).
Pada situs tersebut anda akan
menemukan banyak cerita yang ditulis oleh banyak orang, dan tidak semua dari
mereka berasal dari kelompok LGBT. Selain cerita-cerita mengenai bagaimana para
LGBT ini menyadari orientasi seksual mereka, menerima keadaan itu, kemudian
menjalani kehidupan sebagai LGBT, anda juga akan menemukan cerita tentang
seorang ayah yang anak perempuannya ternyata seorang lesbian. Anda juga akan
menemukan cerita tentang seorang ayah yang anak laki-lakinya memutuskan untuk
menjadi transgender, menjadi perempuan. Dan anda akan menemukan betapa mereka
masih tetap mencintai anak-anak mereka sepenuh hati. Ada juga cerita manis
persahabatan orang-orang straight yang berteman dan bergaul dengan orang-orang
yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dan betapa itu tidak membuat
mereka ‘tertular’ sama sekali. Tak semua cerita mereka berjalan manis dan mudah
tentu saja. Ada juga yang mengalami penolakan keras dari kalangan keluarga.
Tapi setidaknya, mereka memilih jujur untuk menjadi diri mereka sendiri.
Saya benar-benar berharap anda
meluangkan waktu untuk membaca cerita-cerita yang dimuat di Melela.org. Karena
saya percaya, dunia akan menjadi tempat yang lebih indah jika setiap
penghuninya berusaha untuk saling mengerti satu sama lain. Dengan begitu,
mungkin kita tidak akan terlalu merindukan surga sehingga bisa mensyukuri
persinggahan kita di dunia. Lebih memilih untuk menjadikan kehidupan fana ini
bermakna daripada terus menerus menebar teror dan kebencian.
Berdasarkan pada apa yang saya
pahami, menjadi gay atau lesbian bukanlah sebuah pilihan yang mudah dan penuh
kesenangan seperti yang banyak dituduhkan orang. Ketika seorang lelaki
menyadari bahwa dirinya mencintai lelaki lain, sesungguhnya ia bagai berada di
sebuah persimpangan yang kedua jalannya menuju jurang. Jika ia memilih untuk
mengikuti nalurinya sebagai gay maka ia harus siap berperang dengan dunia.
Dimulai dari kemungkinan diusir dari rumah dan pensiun dini sebagai anak
seseorang, dikucilkan di pergaulan sampai menerima bully dan diskriminasi dari
masyarakat.
Sebaliknya, jika ia memilih untuk
menekan nalurinya dan berusaha menyesuaikan diri dengan standar kenormalan yang
diterima oleh masyarakat luas maka ia harus siap menjalani proses panjang
pergulatan dengan dirinya sendiri. Sebuah proses yang tidak mudah karena di
dalamnya ia harus mampu membunuh dirinya sendiri yang selama ini ia kenal,
namun tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Kemudian menggantinya dengan versi baru, yang asing
(dan mungkin saja palsu) namun pasti diterima masyarakat. Syukur jika pada
akhirnya ia berhasil mengubah setting default preferensi seksualnya menjadi
hetero, jika tidak, ya paling habis nikah nyari laki lain di belakang istri
(seperti yang kini banyak terjadi, asal anda tahu saja), atau stres lalu
kemudian bunuh diri.
Saya setuju bahwa menjalani
kehidupan sebagai LGBT merupakan sebuah pilihan, bukan takdir. Tapi yang sering
dilupakan orang adalah tak semua orang memiliki kemalangan yang cukup hingga ia
diharuskan untuk memilih. Para straight yang pernah saya tanya mengenai masalah
ini mengaku, bahwa mereka sama sekali tak pernah mengalami kebimbangan untuk
menentukan orientasi seksual. Lempeng-lempeng saja, sesuai norma dan tradisi. Sama
sekali tak pernah tergoda melihat pria tampan nan seksi, pokoknya hanya suka sama
cewek. Semua berjalan mudah, tak ada pergulatan batin macam-macam.
Berbeda dengan orang-orang yang
memiliki kecenderungan perbedaan orientasi seksual. Meski teori tentang LGBT
sebagai sesuatu yang dibawa sejak lahir belum bisa diterima publik, begitu pula
saya, namun tak lantas menjadikan pilihan menjadi LGBT sebagai sesuatu yang
bersifat spontan. Orientasi seksual bukan satu set pakaian yang bisa dipilih
sesaat setelah bangun tidur sesuai dengan mood, cuaca dan dress code acara yang
akan dihadiri.
Tentu ada kejadian-kejadian yang
menjadi pemicu bagi kecenderungan ini untuk kemudian muncul. Dan ketika anak
laki-laki berusia tujuh tahun ternyata lebih suka bermain boneka dan mengenakan
gaun, rasanya telalu dini jika kita harus menyebutnya sebagai sebuah pilihan. Saya lebih senang menyebutnya
naluri. Naluri yang tumbuhnya bisa saja dipengaruhi oleh banyak faktor, dari
dalam maupun luar. Yang jelas, ia tak muncul begitu saja secara tiba-tiba. Dan
merupakan sebuah pernyataan yang membuat saya tertawa jika LGBT disebut akan
menjadi tren pada beberapa dekade ke depan jika ia dilegalkan. Karena sekali
lagi, LGBT bukanlah pakaian yang bisa diganti-ganti sesuka hati. Oleh karenanya
kita harus lebih bijak mengambil sikap. Ada banyak cerita, latar belakang dan
pemicu yang menjadikan seseorang gay atau lesbian, jangan ambil jalan mudah
untuk langsung membenci dan menghakimi. Bersabarlah sedikit, luangkan waktu
untuk mendengar cerita-cerita mereka, sediakan energi untuk mau mengerti.
Dengan begitu kita bisa menawarkan solusi bukan sekedar caci maki.
Sebagai seseorang yang dalam
agamanya diajarkan bahwa pernah ada suatu kaum di masa lampau yang dibinasakan
Tuhan dengan siksa yang ganas akibat perilaku homoseksualitas mereka, maka saya
ingin mengajak para penyandang orientasi seksual ‘normal’ dan diridhoi Tuhan
untuk bersyukur bahwa kita tidak diberikan cobaan sebagaimana yang ditimpakan
pada teman-teman kita para LGBT. Menjadi LGBT itu berat, entah itu dengan
menjadi abnormal atau berpura-pura menjadi normal.
Akhir kata, saya cuma ingin
bilang bahwa setiap orang punya kacamata masing-masing yang mereka kenakan
ketika melihat isu LGBT. Sebagian mengenakan kacamata humanisme, sebagian lagi
mengenakan kacamata agama, tradisi, science, dan lain-lain. Namun mohon
diingat, tak semua orang mengenakan kacamata yang sama dengan yang anda
kenakan. Jangan ke-geer-an jika ada perbedaan. Bukan, itu bukan konspirasi,
melainkan sebuah kewajaran.
Oh iya, saya juga ingin memperkenalkan orang-orang yang sudah go public
dengan pilihan orientasi seksual mereka. Mereka gay dan berprestasi. Bisa anda cek timeline mereka kapan-kapan, mereka sering kasih tips-tips bagus dari mulai
cara menulis, etika kirim email, fotografi, traveling, sampai investasi
properti. Hubungi saya jika anda penasaran. ;)
NB: jangan kapokan, mungkin saya
akan post ginian lagi dalam waktu dekat. Bisa jadi soal homophobia masyarakat
kita yang kelewatan.
Link-link berita: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/01/22/o1c80r282-sgrc-ui-kami-bukan-komunitas-lgbt
dan lain-lain, klik saja salah satu ntar juga keluar banyak.
oleh Yoga Palwaguna
Kalo republika ngasih berita yg agak gak bener. Wajar saja. Cek twitternya belum verified kok. CMIIW
BalasHapusSaya suka dengan cara kamu bertutur dan berpendapat. Ini salah satu esai yang harus diperhitungkan. Selamat
BalasHapus