“Sakti, anak
Mak, jangan kau lupakan solat. Berdoalah untuk kau dan untuk Mak, dengan begitu
meski kita terpisah jauh, doa-doa kita akan bertemu di langit dan saling jadi
penguat hati. Jadilah anak yang tangguh, kuat dan tegar seperti ksatria,
seperti namamu. Dan jika Tuhan masih berbaik hati pada orang tak berdaya
seperti kita, percayalah, kita akan bertemu lagi. Carilah Mak jika kau sudah
merasa siap.” Ros membisikkan pesan terakhirnya di telinga Sakti,
suaranya bercampur aduk dengan isak tangis.
Tak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sakti. Bibirnya masih menempel rapat di
punggung tangan kanan Ros yang kini basah oleh air mata.
“Kau masih ingat
doa sebelum tidur? Ucapkanlah, dan kembalilah tidur.”
Perlahan-lahan
Sakti mengangkat wajahnya, memandang Ibu dan adik perempuannya untuk terakhir
kali sampai akhirnya ia sedikit demi sedikit mundur lalu kembali tidur.
Terbaring tenang di atas kasur.
Dengan sisa
tenaga yang masih tersimpan dalam badannya, Ros kemudian berlari keluar setelah
sebelumnya menyambar buntalan kain berisi bekalnya melarikan diri. Ia terus
berlari tanpa menoleh ke belakang. Tidak bahkan untuk melihat Sakti yang
ternyata diam-diam melihat dari sudut jendela. Ros terus berlari sampai
akhirnya menghilang di balik rimbun pepohonan.
Perkebunan Teh
Cimeri digegerkan oleh hilangnya seorang wanita bersama bayinya yang baru
berumur sepuluh bulan. Wanita itu dikabarkan kabur dengan membawa perhiasan
berupa kalung dan gelang emas seberat sepuluh gram yang merupakan warisan dari
ibu mertuanya. Begitulah berita yang diceritakan oleh Rukmana, suaminya.
Ros pergi
meninggalkan seorang anak laki-laki yang sebulan lagi akan berumur genap enam
tahun. Hujatan orang-orang sekampung tak henti-hentinya mengalir ditujukan
untuk wanita itu. Ia dicap sebagai wanita maling tak berperasaan.
Ketika
orang-orang bertanya kepada orang tuanya tentang kemana perginya Ros, bapak Ros
hanya bisa berteriak-teriak ikut mengutuk anak perempuannya itu. Tak kuasa ia
menanggung malu atas aib yang telah diperbuat oleh anaknya. Sedangkan ibu Ros mungkin
hanya bisa menangis dan ikut mengutuk dari balik tanah kuburan. Ia telah lebih
dulu meninggal karena serangan jantung ketika Ros dituduh membakar rumah wanita
simpanan Rukmana—yang kini telah menjadi isterinya—dan disangka gila.
Meski
demikian, setidaknya dari tiga ratus lima puluhan orang penduduk Cimeri masih
ada satu orang yang tak goyah rasa percayanya pada Ros: Sakti.
“Katakan!
Kemana ibumu pergi?”, Rukmana terus menanyai Sakti yang juga terus tutup mulut.
“Katakan!
Kemana wanita sialan itu membawa pergi emas-emasku?”
“Mengakulah
jika kau ingin selamat!” ancam Rukmana.
Walaupun
Rukmana berkata seperti itu, Sakti tahu betul bahwa yang dibawa ibunya
melarikan diri hanyalah beberapa potong baju untuknya sendiri dan anak
perempuannya. Tak lebih dari itu. Ibunya tak akan sudi membawa sesuatu yang
bukan miliknya, apalagi itu milik Rukmana yang dia warisi dari ibunya. Najis.
Ibunya akan memilih mati kelaparan di jalan daripada makan dari uang haram
hasil menjual barang curian.
Tapi Sakti
juga mengerti betul, Rukmana tak akan percaya dengan ucapannya. Maka ia lebih
memilih diam hingga akhirnya Rukmana menguncinya dalam gudang di dapur. Rukmana
mengancam tak akan mengeluarkannya atau memberinya makan sebelum Sakti
memberitahu kemana Ros pergi.
Sakti memang
yakin ibunya tak pergi sambil membawa emas-emas itu, tapi selain itu,
sejujurnya Sakti juga tak tahu kemana ibunya pergi. Ros berpesan agar Sakti
mencarinya ketika ia siap. Tapi ia tak memberitahu kemana atau dimana
Sakti bisa menemukannya. Itu pun tanpa jaminan untuk benar-benar bertemu, hanya
jika Tuhan berbaik hati.
Pikiran
Sakti melayang menembus rimba pepohonan yang mengelilingi Cimeri. Ada puluhan
kilometer hutan dengan segala misteri yang dikandungnya terbentang membatasi
kampung itu dengan dunia luar. Ros harus melewati itu semua sebelum sampai di
perkampungan lain yang paling dekat. Sebaiknya Ros tak mengambil jalan yang
biasa dilewati kendaraan atau jalan setapak yang suka diambil orang. Itu akan
berbahaya baginya. Karena saat ini orang-orang suruhan Rukmana sedang
mencarinya seperti kawanan anjing memburu babi hutan. Mereka menyusuri jalan
utama dan bahkan semua jalan-jalan setapak yang mungkin dilewati oleh manusia.
Sakti
membaringkan tubuhnya di atas papan-papan kayu yang kotor berlapis debu.
Lututnya terlipat dan pahanya menempel di dada. Hembusan udara dingin mulai
menyusup melewati celah-celah antara papan-papan kayu. Sakti tiba-tiba merasa
rindu tidur dalam pelukan ibunya. Ada perasaan yang mengganggu dalam hatinya,
sebuah kekosongan yang mulai ia sadari dengan jelas kehadirannya.
Sakti tak
pernah suka melihat ibunya menjadi objek penindasan Rukmana, diperlakukan
secara tidak adil dan sering dianiaya baik itu secara fisik maupun verbal. Dan
Sakti selalu marah pada dirinya sendiri karena terlalu kecil dan tak bisa
membela ibunya sendiri. Ia hanya bisa mengusap air mata ibunya tanpa
benar-benar bisa menghilangkan sumber penderitaannya. Itulah kenapa ketika Ros
memilih kabur, sakti tak tega untuk menghentikannya. Ia juga tak mau merengek
minta diajak karena itu hanya akan menambah kesusahan ibunya saja. Setidaknya
itulah pengorbanan yang bisa ia lakukan.
Namun kini
setelah Ros benar-benar pergi Sakti mulai merasa kehilangan. Berjauhan dengan
rahim ibu ternyata membuatnya begitu tak nyaman. Tak mendengar suara ibu
ternyata lebih menyakitkan dari kesunyian apapun. Tak melihat wajah ibu
ternyata begitu menyesakkan dada. Dan kenyataan bahwa ia tak bisa menemukan
ibunya di kamar tidur, dapur, kamar mandi atau sungai, atau di mana pun adalah
yang paling membuatnya patah hati. Ibunya tak akan muncul ketika dipanggil,
meski ia memanggil-manggilnya sambil menangis, seperti saat ini. Ia
terisak-isak menahan rindu, menahan dingin, menahan lapar. Ia terisak tanpa
bisa Ros dengar, tanpa bisa Ros kembali. Ia terisak-isak dengan keras hingga
pundaknya berguncang-guncang. Ia terisak hingga akhirnya terlelap tidur karena
lelah.
Begitu mata
Sakti kembali terbuka keesokan harinya, kekosongan itu masih terasa menggantung
di dalam dada. Membuat udara yang dia hirup seakan menghilang entah kemana dan
menimbulkan rasa sesak yang samar namun konstan.
Hingga hari
beranjak sore masih tak ada tanda-tanda bahwa Rukmana akan mengeluarkan Sakti
dari gudang yang ia kunci.
Sakti
mengeluarkan selembar saputangan berwana putih bersih dengan sulaman indah di
atasnya. Hanya itulah yang tersisa dari ibunya. Satu-satunya benda yang Ros
tinggalkan untuknya. Setiap goresan benang ia pandangi lekat-lekat. Warnanya
yang indah mengingatkan Sakti pada wajah ibunya yang cerah jika sedang
tersenyum. Terbayang saat-saat yang mereka lalui bersama, ketika mereka memancing
ikan di sungai, ketika Ros mengajari Sakti membuat layang-layang, dan ketika
Sakti membawakan sepuluh tangkai mawar yang ia ambil dari pinggiran hutan pada
saat Ros berulang tahun. Mata mungil Sakti mulai berkaca-kaca, tapi ia tak
ingin menangis lagi. Ia tak punya waktu untuk itu. ia telah memutuskan.
“Tuhan, ini
permintaanku yang pertama. Selamatkanlah ibu,” lirih, Sakti mengucap doa.
Sakti yang
semula duduk bersandar pada pintu gudang kemudian bangkit. Ia mengambil sebuah
linggis yang tergeletak di sudut ruangan, tertumpang tindih dengan sepatu but
plastik, panci bolong, karung-karung dan benda-benda tak berguna lainnya.
Ia
menghitung papan-papan kayu yang menjadi lantai tempat ia berpijak. Ia berhenti
di papan ke lima dari dinding sebelah kiri, kemudian menancapkan linggis yang
ia genggam ke dalam celah di antara papan itu. Dan tanpa perlu usaha keras,
papan itu terangkat. Sakti kemudian melakukan hal yang sama pada papan-papan di
samping kiri dan kanannya. Ia harus mengeluarkan tenaga sedikit lebih banyak
karena kedua papan ini belum pernah dibuka sebelumnya. Sedangkan papan kelima
dari dinding sebelah kiri pernah ia gunakan dulu sebagai jalan untuk memberikan
makanan pada ibunya ketika Ros disekap oleh Rukmana.
Setelah
ketiga papan itu terangkat kini ada bukaan yang cukup untuk dilewati tubuh
Sakti. Sakti mengeluarkan kembali saputangan putih pemberian ibunya itu.
Menciumnya sekali lagi lalu memastikan bahwa ia memasukkannya dengan rapi di
saku belakang celananya. Sakti juga mengambil sebuah golok dan melingkarkan
tali pengikatnya di pinggang. Ia telah siap.
Sakti lalu
dengan hati-hati meloloskan tubuhnya melalui celah papan. Kakinya yang
telanjang berhasil menyentuh tanah kolong rumahnya yang dipenuhi
kotoran-kotoran bebek. Dengan langkah mengendap-endap dan punggung yang
dibungkukkan Sakti berjalan ke arah belakang rumah, menuju sungai.
Begitu
sampai, Ia meneguk air sungai itu dengan rakus. Bagaimana tidak, Rukmana sudah
menyekapnya selama dua hari satu malam tanpa makan dan minum. Mungkin ia bisa
mati jika tak memberanikan diri untuk melarikan diri di malam kedua ini.
Setelah rasa
hausnya terpuaskan, Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ketika ia
merasa yakin bahwa keadaan telah aman, Sakti langsung memacu langkahnya
menyeberangi arus sungai yang sedang tak terlalu deras, kemudian berlari
menghilangkan diri di balik rimbun pepohonan yang berdiri memagari sisi
seberang sungai Cimeri.
“Tuhan, ini
permintaanku yang kedua, selamatkanlah aku.”
Ditulis oleh: Yoga Palwaguna
sumber gambar: google
Sialan nih bikin pensaran ฅ(๑*▽*๑)ฅ!!
BalasHapusSekali update dua part kek. Penasaran
BalasHapusTeknikn dan penguasaan bahasanya ok. temanya juga asyik terus diselami. Ini pasti embrio atau janin untuk sebuah novel ya?
BalasHapus