T (titik) Kartika
source: https://pixabay.com/en/street-at-night-building-shadow-232928/ |
Kami berhenti di sebuah pasar, tepatnya di terminal. Malam hari, di
pemeberhentian terakhir sebuah angkutan umum kami celingak-celinguk karena
bangun tidur. Riuh tawa preman terminal sembari berujar bahasa yang tak kami
kenal, membuat kami merasa seperti tersesat karena kami telah berada jauh dari
rumah, sangat jauh. Sejauh mimpi tentang perjalanan ke antah berantah dalam
sebuah tidur, yang tiba-tiba di Amerika kemudian ke Singapura, lalu Belanda,
Irak, Nigeria, Kambodja, Rusia, New Zaeland, ke Afganistan terbom, akhirnya
sampai di rumah karena terbangun.
Kami berempat, berdiri di samping angkutan. Sebuah mobil semacam carry,
namun lebih gemuk, berwarna putih yang catnya banyak terkelupas. Sopirnya
menutup pintu belakang tempat kami keluar, setelah aku menyerahkan ongkos yang
berhasil kami tawar dengan memelas dan mengiba. Sebesar lima puluh ribu rupiah
yang terdiri dari berlembar-lembar uang seribuan, dua ribu, lima ribu, dan
keping-keping uang logam seratus, dua ratus, lima ratus,dan seribu ku sodorkan
kepada sang sopir yang bermuka lelah ditambah kesal karena ongkos kami murah
serta uangnya receh. Dia lalu masuk ke dalam mobilnya sambil geleng-geleng
kepala, mungkin terheran-heran mendapatkan empat kepala seperti kami. Dia menyalakan
mobil mesin, mengemudikan mobil, meninggalkan kami berempat menyaksikan ekornya
keluar dari terminal.
Tinggal kami berempat, yang masih berdiri, tak ada yang
menghampiri, mengganggu, menggoda, memaksa, menyentuh, mengambil, membawa, dan
me- lainnya seperti yang pernah ku dengar dari teman-teman yang pernah menjadi
korban ataupun saksi korban. Ada yang dihampiri lalu diambil uangnya diam-diam,
ada yang diganggu lalu disentuh tubuhnya, ada yang digoda dan dipaksa
hasratnya, ada yang dibawa dan diapa-apakan. Barangkali mereka tidak
terdaftar sebagai penolong maupun pengganggu ataupun peran lainnya dalam
perjalanan kami di tempat ini.
Lalu, di antara kami berempat semuanya menuju kepadaku. Menatap ku,
menunggu gerak-gerik ku, mengikutiku, membuntutiku. Aku tergagap namun mencoba
menggerakan kaki, melangkah, entah kemana. Aku diikuti, dijadikan harapan,
dianggap petunjuk. Aku hanya diam, tak ingin mengaku tak tahu apapun,
membiarkan mereka, tiga kepala selain aku, melakukan yang mereka inginkan.
Anggap saja memanjakannya sebelum nanti aku yang akan mengarahkan mereka. Kemana?
Aku belum tahu.
Ada banyak kios. Kami melewatinya satu persatu, mencari lampu yang
masih menyala atau bunyi yang masih terdengar. Saat ku temukan satu, hanya aku
yang mengetuk pintunya. Saat pintu tersebut dibuka, ku titipkan satu kepala
dengan memohon. Penghuni kios menolak, karena kepala yang kutitipkan ingusnya
keluar dengan deras, rambutnya yang diwarnai merah belum keramas, dan kaos
obolongnya bolong serta terdapat noda merah bata yang panjang, tepat di bagian
perut si pemakai kaos.
Aku terdiam, sambil masih berdiri bersama tiga kepala yang
bermagnet padaku, pun penghuni kios yang menolak. Mataku bergantian melihat
kepala-kepala berjumlah tiga, penghuni kios, kiosnya, kios lain, langit, dan sebuah
titik di atas tanah. Cukup lama untuk kuantitas mematung bersama pemilik kios
yang menolak kepala yang kutitipkan, kurang lebih dua menit, tepatnya sejumlah
waktu yang kugunakan untuk melihat setiap kepala dari ujung kaki hingga ujung
rambut, dua kali membolak-balik mataku dengan arah vertikal menatap sang
penghuni kios, mengelilingkan mata pada kiosnya yang berukuran 2x3, sekilas
menyapukan mata pada kios lain yang jumlahnya sekitar dua puluh yang berjejer
di samping kios yang penghuninya menolak, serta menyapukan mata pada kios-kios
yang entah berapa jumlahnya berada tepat di sebrang kami berdiri, mendongkak
pada langit mencari sebuah bintang, dan menatap sebuah titik pada tanah hingga
mataku berkedip satu kali.
Saat hendak mengulang menatap objek-objek tadisecara acak, sebuah
keajaiban menghampiri kami. Penghuni kios mengurungkan menolak kepala yang
kutitipkan. Berkuranglah satu kepala, dan aku beranjak bersama dua kepala
sisanya. Kami berhenti setelah melewati lima kios dari kios pertama, menemukan
satu kios yang lampunya masih menyala. Aku mengetuk pintu, tiba-tiba lampu
mati. Kami meninggalkannya. Berjalan lagi melewati tiga kios, dan berhenti pada
kios setelahnya. Pintunya terbuka, namun pintunya yang di samping. Kami
langsung menghampiri pintu tersebut, penghuninya keluar sebelum aku mengetuk
pintu ataupun mengucapkan salam. Dia seorang perempuan. Rambutnya dipasang rol
rambut sebanyak lima buah, mulutnya
menahan kuntung rokok. Dia mengenakan kolor berwarna biru denga sablon
garis-garis berwarna putih yang beberapa telah memudar, panjangnya selutut.
Atasannya you can see berbahan katun, berkerah, berwarna putih tulang
yang menguning, dan berenda di setiap sisi. Panjang atasannya sepaha.
Dia tak memberi senyum, padahal wajahnya sangat menarik saat dia
tertawa ketika berada di mulut pintu dan matanya beradu pandang dengan penghuni
lain di dalam kios, mungkin setelah mereka berguyon namun entah apa yang telah
membuat lucu karena mereka menggunakan bahasa yang digunakan preman terminal
yang kami dengar saat turun dari angkutan. Tangannya melepaskan kuntung rokok
dari mulutnya yang menyembulkan asap, sedang matanya memandangi kami satu-satu.
Lalu kepalanya mengisyaratkan untuk salah satu kepala dari kami untuk masuk.
Aku berpamitan dengan menganggukan kepala diikuti satu kepala yang masih
tersisa, memberanikan diri menatap matanya, lalu tersenyum padanya. Namun
matanya membelik.
Kini tinggal aku dan satu kepala lagi. Kepala yang terakhir ini,
baru masuk kelas satu SD, seorang perempuan tapi kadang laki-laki. Yang pertama
ku titipkan usianya delapan tahun, duduk di kelas satu SD juga karena telat
masuk sekolah. Kepala yang kedua, seorang anak laki-laki, belum sekolah. Aku
dan kepala si perempuan yang yang kadang laki-laki ini berjalan menuju kios
lain, tepat di samping kios wanita yang tak memberi senyum tadi. Aku mengetuk
pintunya agak keras, karena sekeluar dari samping pintu kios tadi, ada yang
suara yang memanggil kami, mengejar kami. Pada kios ketiga ini, kami masuk ke
dalamnya.
Penghuninya seorang laki-laki bersama istri dan satu anaknya.
Laki-laki itu menawarkan kami minum. Pada mereka aku mengutarakan untuk
menitipkan kepala terakhir, penghuni tersebut menyarankan untuk aku bersama
juga, di kios tersebut. Kami sepakat, namun istri laki-laki itu tidak bicara,
tidak senyum, namun air mukanya tidak marah. Anaknya tidak pernah kelihatan,
tak diberitahukan pula apakah dia sedang tidur atau bagaimana. Aku minum
segelas air putih yang menyegarkan. Aku
berinisiatif untuk membungkusnya, membuat empat bungkus air putih dalam plastik
berukuran satu ons. Aku teringat pada kepala yang lain. Laki-laki itu
mendapatkan aku membungkus air, dia menawarkan aku untuk minum lagi.
Aku teringat pada seseorang saat bertemu dengan laki-laki penghuni
kios yang kutumpangi, entah siapa tepatnya aku tak ingat. Pada kepala laki-laki
tersebut terdapat besi yang mirip dengan ear phone yang dipasang seperti
bandana di kepala bagian belakang. Di ujung besi tersebut, pada telinga si
laki-laki, terdapat gelas yang menyambung dengan besi tadi. Gelas tersebut
terbuka jika bagian sisi pada gelas yang mirip dengan pengatur jam tangan diputar.
Katanya, alat tersebut merupakan media untuk mengisikan cairan yang menambah
kecerdasannya. Konon, ayahnya juga selalu mengisi cairan yang menambah
kecerdasan pada dirinya, namun media yang digunakan oleh ayahnya adalah
injeksi.
Aku pernah hendak melakukan hal serupa, dengan media kapsul yang
diminum, yang didalamnya terdapat zat yang bentuknya entah serbuk atau cairan
pula. Katanya sebuah racikan yang dicampur dengan minyak ikan. Namun si pembuat
racikan keburu pergi, tepatnya menghilang. Aku hanya sempat meminum kapsul yang
diisi ramuan yang dikombinasikan dengan wortel yang ditumbuk, karena saat itu
mataku sakit. Katanya dengan kapsul yang ku minum, mataku akan jernih.
Apakah kau percaya pada terapis? Apakah kau percaya pada tabib?
Apakah kau percaya dengan keberadaan mereka? Tidak kah kau bertanya, jika
memang sebuah penyakit bisa disembuhkan dengan air putih yang ditiupkan
do’a-do’a atau mantra disertai media lain seperti misal jarum, telur, daun,
batu, rambut, rempah-rempah, akar, tulang, dan banyak lagi media lainnya; mengapa
menempuh kedokteran begitu rumit dan mahal?
Padahal orang-orang kanan, yang memaksimalkan otak kanannya,
mengandalkan sugesti ‘aku sehat’, untuk pengobatan sakitnya.
Bersambung...
Ini Calon novel nya? Pengen baca sambungannya..Kalau bisa dibedah sama-sama agar bisa diterbitkan
BalasHapus