Irama langkah kakinya semakin tak menentu--kadang
cepat, kadang lambat--berpadu dengan suara napas yang menderu. Suara lenguhan
lelah sudah berubah menjadi decakan kagum berpuluh kali. Semua terjadi ketika
dia menyadari sudah sampai pada tujuan, puncak gunung. Matanya menari pada
setiap gunung yang terhampar, tangan mungilnya dia buka lebar menyambut deburan
angin. Bibirnya yang tersungging senyuman tulus itu cukup bertahan lama, tak
mampu bicara. Pikirannya seakan tiba di puncak ketenangan, matanya sekejap
terpejam, telinganya mendadak peka dengan suara burung dan nyanyian alam.
Hatinya tersentuh keindahan ciptaan Tuhan.
“Terima
kasih, alam.” Gumamnya dengan mata yang masih terpejam.
“Sama kakak enggak bilang ‘terima kasih’,” Celetuk
Seno, kakaknya.
“Ih, ganggu konsentrasi aja.” Balas Bunga dengan
kesal.
“Hahaha. Kasian yang baru diajak naik gunung.”
“Diam, Kak! Please.”
“Oke, anak manja.” Jawab Kak Seno sembari
meninggalkan Bunga. Dia memilih berhenti menggoda Bunga, bergegas membuat tenda
dan mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun.
Ya, dialah si anak bungsu yang manja ketika di rumah,
Bunga. Dia anak gadis usia 18 tahun lebih yang dua bulan lagi sudah menginjak
19 tahun. Kak Seno, kakaknya Bunga, mengajak Bunga ikut berkemah di puncak
gunung bersama kawan-kawan di Komunitas Sastranya, dia ingin mengenalkan
adiknya itu pada alam.
“Bu, Bunga jangan
terlalu dimanja. Nanti dia cengeng. Bunga sudah mau beranjak 19 tahun, gak lama
lagi 20 tahun. dia harus belajar banyak di luar sana. Seno tahu, dia anak
bungsu dan anak perempuan satu-satunya. Ibu tak usah terlalu khawatir untuk
melepas Bunga kuliah di luar kota. Kita pilihkan tempat tinggal dekat kampus
dan lingkungannya aman.” Jelas Seno pada Ibu.
Mata ibu masih fokus ke
layar teve. Tapi, pikirannya melambung jauh mempertimbangkan kata-kata Seno,
anak sulungnya.
“Tapi, bagaimana kalau
Bunga susah makan nanti? Dia kan gak boleh telat makan, dia lemah fisiknya. Ibu
khawatir dia nanti malah merepotkan orang lain di sana.”
“Bu, kita bisa latih
Bunga untuk mandiri, dari mulai sekarang, dibiasakan.” Suara Seno mulai
mengeras. Sejenak diam, lalu langsung menghadap ke hadapan ibunya, duduk
menghadap wajah ibu dan memegang tangannya yang kulitnya mulai terasa
mengendor.
“Bu,” ucapnya santun.
“Ijinkan Seno melatih Bunga untuk belajar mandiri.”
“Maksudmu?” tanya
ibunya heran.
“Minggu depan, Seno dan
kawan-kawan di komunitas sastra akan melakukan kemah di puncak gunung, ijinkan
Bunga ikut bersama Seno.”
Ibu tersentak. “Tidak!”
Ucapnya tajam.
“Bu, ini salah satu cara untuk melatih fisik dan mental Bunga. Percayakan pada Seno, semuanya akan baik-baik
saja.”
“Bagaimana nanti kalau
dia kedinginan? Ibu takut kau malah memarahinya jika dia nangis karena
kedinginan.”
“Bu, Seno sayang sama
Bunga. Seno akan jaga dia baik-baik. Percayakan pada Seno, Bunga pasti senang
ikut kemah di puncak. Biarlah dia mengenal alam. Dia bukan anak balita lagi
yang harus ibu larang menyentuh ini itu, harus begini begitu, dia sudah tumbuh
menjadi anak gadis yang bahkan di luar sana seusianya sudah mandiri dan gak...”
Seno takut melanjutkan kata-katanya. Ibu sangat sensitif soal Bunga, adiknya
yang manja itu.
Ibu merenung. Mungkin
memikirkan banyak hal.
“Bunga memang anak
bungsu. Sungguh, Seno sangat menyayangi Bunga, makanya Seno gak terlalu manjain
Bunga. Dan Seno sangat tahu Ibu tak mau kehilangan anak perempuan ibu untuk
kedua kalinya.” Seno tercekat dalam kalimat itu.
“Baiklah.” Ucapnya
berat sekali. Namun, Bunga memang sudah beranjak dewasa, dia harus belajar
banyak hal di luar sana.
Seno memeluk ibu,
meyakinkan ibu, semua akan baik-baik saja.
Bunga baru bangun dari tidurnya semalam. Terasa
kedinginan. Melihat kak Meri sedang memakai sepatu untuk keluar tenda. “Kak
Meri, mau kemana?”
“Hai anak manis. Sudah bangun? Ayo kita menikmati
sentuhan matahari.” Jawabnya ramah.
Bunga mengangguk. Kedengarannya seperti seru.
“menikmati sentuhan matahari?”
Bunga membuka tenda dan seberkas sinar hangat
menyoroti wajah dan tubuhnya. Dia menutup dengan tangannya.
“Hallo, Bunga.” Sapa kak Seno.
Bunga tak menjawab. Kak Seno dan teman-temannya
sedang sibuk dengan dirinya masing-masing. Agenda dari kegiatan pagi ini memang
unik, mereka sebut “Menikmati Sentuhan Mentari”, ya, memang mereka semua
berdiri menghadap matahari, menghangatkan tubuh yang kedinginan, ada juga
beberapa yang berteriak membacakan puisi. “Seru sekali.” Gumam Bunga.
Kak Seno tak banyak bicara. Dia membiarkan Bunga
untuk menikmati alam, begitulah cara Kak Seno mengenalkan alam pada Bunga.
Walaupun tetap dalam pengawasan kak Seno.
Bunga berteriak. Seperti melepaskan sesuatu yang
membelenggunya selama ini.
Dia berteriak lagi dengan tangan terlentang, wajah
menengadah ke awan.
“Terima kasih, Alam, kau telah memberitahuku cara
bagaimana melepas penat ini. Aku Bunga, kau memang untuk aku nikmati, kau
memang untuk aku syukuri.”
Lalu Bunga membungkuk, tangan kirinya diletakkan ke
belakang dan tangan kanannya mengayun ke depan menuju perutnya, seperti tanda
penghormatan di atas pentas megah. Ya, Bunga memang sedang berpuisi di pentas
paling megah di muka bumi, di alam semesta ini.
Kak Seno tersenyum melihat tingkah adiknya itu. “Kau
sudah besar, Dik. Inilah alam, bersahabatlah dengannya. Selamat datang di
universitas kehidupan” Gumamnya.[]
Srea
Srea, mssih banyak tulisan seperti ini? Kamu bisa berkembang jadi penulis novel atau cerpen. Coba kirim ke media-media remaja
BalasHapus