Mission #1
Episode Pertama
***
Jessika
baru saja berjanji dalam
hati: setelah ini,
dia akan segera menghabisi
Dinky. Tangannya terlipat di dada sedangkan kedua pipinya merona menahan kesal.
Kedua pangkal alisnya bertemu membentuk kerut dan sebelah sudut bibirnya
tertarik karena jijik.
Jessia
langsung menghambur ke arah Dinky begitu ia melihatnya berjalan di kejauhan,
keluar dari kerumunan ibu-ibu bercelana ketat dengan motif beraneka macam. Tubuhnya
yang tinggi semampai dengan konstruksi tubuh yang ramping namun tegap terlihat
mencolok bahkan di tengah keramaian. Rambutnya yang berwarna cokelat tua
berkilat-kilat dari kejauhan.
“Dinky!”
Suara Jessia yang
melengking nyaring tetap harus
mengaku kalah pada suara musik dangdut koplo yang membahana dengan gagah dari sisi lain lapangan
ini. Mungkin gara-gara itu juga Dinky tak berhasil menerima sinyal kesal yang diteriakkan Jessia sekuat
tenaga dari otot
diafragmanya.
Dengan
senyum seceria biasa dan wajah cerah tanpa rasa bersalah Dinky menyapa
teman-temannya, lengkap dengan aksen melambai-lambaikan
tangan di atas kepala.
“Hey!
Udah dari tadi? Kenapa malah pada diem di pinggir, sini ikut gabung sama gue!”
Tanpa
menunggu satu pun dari ketiga temannya itu menyahut, Dinky menarik tangan kanan
Jessia dan menyeretnya ke arah ia tadi
datang. Ke tempat gerombolan ibu-ibu pelaku fashion
crime paling kejam yang pernah ditemukan itu sedang asik meliuk-liukkan badan di tengah lapangan.
Tapi, belum sampai tiga langkah Jessika dengan sengit menjewer telinga kanan Dinky lalu
menariknya ke pinggir lapang.
Dinky yang belum siap jika harus kehilangan sebelah telinganya hanya bisa pasrah mengikuti
Jessika sambil menjerit menahan sakit.
Jessika
kemudian dengan kasar mencampakkan telinga Dinky yang sudah hampir semerah
tomat begitu mereka sampai di bawah pohon beringin. Dinky meringis sambil mengusap-ngusap
kupingnya yang terasa seperti mau copot.
“Jessika
apaan sih? Sakit tau!” Dinky gak tahu bahwa sesungguhnya jewer kuping itu sama
sekali jauh dari rencana awal Jessika. Dinky memang gak tahu terima kasih.
Jessika
yang sama sekali gak merasa bersalah malah lanjut nendang kaki kirinya Dinky
sambil teriak.
“Dinky!
Gue butuh penjelasan lo!”
“Penjelasan
soal apa Jessika sayang? Gue gak jalan sama pacar lo kok, sumpah!”
“Gila,
lo! Sekali lagi gue tegesin, ya, Gue jomblo! Dan gue juga udah sering bilang
kan, gue jomblo bukan karena gak laku. Ngerti? Gue jomblo karena pilihan gue
sendiri, karena di sini gak ada yang pantes jadi pacar gue. Plis jangan bikin
gue ngomong hal yang sama berkali-kali, Din. Gue capek!”
“Hey,
Jessika Nurrohmah Pertiwi! Jangan sekali-kali panggil gue “Din”. Panggil gue
“Dinky”, karena nama gue bukan Udin! Harus berapa kali gue ngomong Jess? Lo
bikin gue capek deh, Jess. Asli, beneran, gue gak bisa kalo kaya gini terus.
Gue nyerah.”
Tepat
di saat-saat kayak gini, ketika obrolan dua makhluk ajaib ini makin gak karuan, kita hanya bisa
berharap sama cewek ramping berambut
panjang yang selalu diikat kayak buntut kuda,
Dara.
“Guys,
udah dramanya?” dengan tatapannya
yang terkenal tajam, Dara membuat
dua makhluk ajaib itu gak berkutik.
“And,
oh, Just for your information, mood gue sekarang lagi gak enak gara-gara
sarapan telor mata sapi kesukaan gue tadi pagi jatoh disenggol kucing tetangga.
Jadi kalo kalian berdua mau balik rumah tanpa harus pura-pura kepeleset jatuh
di tangga, lo tau kan mesti ngapain? Yes, exactly, berhenti berantem dan stop
ngomong gak karuan. Ngerti?”
Jessika
dan Dinky kompak anggukin kepala mereka yang udah setengah nunduk sejak Dara
mulai angkat suara.
“Angkat
kelingkingnya!” Dara memberi aba-aba. Dua ruas jari kelingking terlihat bangkit
malu-malu.
“Ayo,
baikan!” Dua kelingking yang tadi malu-malu itu, pelan-pelan saling mendekat
sampai akhirnya bertemu dan ditautkan.
“Udah?
Now, say sorry to each other!”
“Sorry...”
“Sorry
juga.”
“And
now, hug each other!”
“What?
No!” Dinky dan Jessika refleks berteriak sambil cepatcepat menarik kelingking
mereka masing-masing.
Dara
gak bisa nahan untuk gak ketawa melihat reaksi mereka berdua.
“Just
kidding, guys!”
Dara
menengadah sambil mengangkat
tangan kanannya ke arah Dinky, lalu mengacak-acak lembut rambutnya. “Good boy”,
kata Dara.
Dinky
tersenyum.
Begitu
pun Dara.
Sedangkan
Jessika dan Jessia cuma bisa saling tatap. Pemandangan yang membosankan sebenarnya, rasanya seperti sedang bercermin. Because they are twin.
Dinky,
Dara, Jessika dan Jessia kemudian duduk di bawah pohon beringin membentuk
formasi bulatan kecil. Dara jadi yang pertama membuka pembicaraan, dan target
pertamanya tentu saja Dinky.
“Dinky,
persis kayak apa yang tadi Jessika bilang sebelum sindrom lebay kalian berdua kambuh, kita
butuh penjelasan. Ya, penjelasan dari lo kenapa kemaren lo nelfon kita
malem-malem dan dengan hebohnya nyuruh kita dateng ke sini sekarang.”
Dinky
lalu memandang ketiga temannya itu secara bergantian dengan tatapan penuh
keheranan. “Apanya yang perlu dijelasin sih? Kalian juga udah pada tahu kan,
kalo tiap hari minggu pagi tuh di sini orang-orang pada kumpul buat senam
bareng-bareng, ya kan?” Ketiga temannya mengangguk, lalu Dinky melanjutkan.
“Nah, jadi udah jelas kan, kalo gue nyuruh kalian bertiga dateng ke sini
sekarang tuh karena gue mau ngajakin kalian ikut gabung senam sama mereka.”
Dinky lalu mengarahkan telunjuknya ke arah sekumpulan ibu-ibu yang sedang asik
melakukan berbagai gerakan mengikuti instruktur.
Jessika
dan Jessia kompak membelalakkan mata mereka dengan mulut lebar menganga. Cuma Dara
yang masih cukup kalem untuk bisa mengendalikan ekspresi wajahnya.
“Dinky,
honey, lo becanda kan? Plis, bilang lo becanda, plis, plis!” Jessia yang
akhirnya sadar setelah sempat terpaku saking kagetnya kini bersimpuh dengan dua
tangannya memegang erat tangan kanan Dinky. Lengkap dengan tatapan memelas penuh harap.
Sekarang
giliran Dinky yang keheranan melihat tingkah teman-temannya yang jelas-jelas
berlebihan. Ia akhirnya tertawa.
“Come
on, guys, emangnya kenapa kalo gue ngajakin kalian ikutan senam sama ibu-ibu
itu? Ada yang salah? Enggak deh kayaknya.”
Jessika
menghela nafas panjang seolah
tak percaya pada apa yang baru aja dia denger.
“Dinky,
coba buka mata dan telinga lo lebar-lebar. Emang lo gak malu ikut senam pake
gerakan-gerakan
norak cenderung konyol kayak gitu? Terus lo denger juga kan lagunya, berondong
tua, pacar lima langkah, lubang buaya, apaan tuh? Hah, gue gak bisa Dinky,
sumpah gue gak bisa hidup kayak gini.”
Jessika
mengibas-ngibaskan tangan ke arah mukanya yang tiba-tiba aja jadi berasa gerah.
“Dinky,
gue harap lo punya alasan bagus kenapa lo pengen kita ikut goyang-goyang gak
jelas di tengah lapangan. Tolong jelasin ke gue.” Sama seperti Jessika dan Jessia,
Dara juga masih belum ngerti sama ide gila Dinky kali ini.
“Oke,
oke, guys, gue jelasin ya. Pertama-tama, gue rasa kalian terlalu lebay deh
nanggepin ide gue ini. Senam di sini tuh gak sejelek yang kalian pikirin kok.
Emang sih, gerakan-gerakannya banyak yang norak, terus musiknya juga musik
dangdut selera pasar sayati banget. Tapi seru kok. Dan senam ini tuh sekalian
pemanasan juga buat kalian biar badannya lentur dan gak kaku. Karena begitu
senam ini bubar gue pengen kita mulai latihan serius. Tahun ajaran baru tinggal
dua bulan lagi. Kita harus nyiapin performance terbaik kita buat parade ekskul
nanti. Karena kalo penampilan kita jelek, jangan harap deh bisa nambah
anggota.” Jangan salah, Dinky yang mungkin sering keliatan konyol bisa sangat
serius kalo lagi ngomongin masalah beginian.
“Tapi
kenapa di sini banget sih, Dinky? Takoci di hari minggu tuh penuh banget sama
orang-orang. Yang lari pagi ada, yang mau belanja sayuran ada, yang jualan baju
banyak, sampe yang mau kencan buta juga gue yakin ada. Kalo mau sekedar
pemanasan, kita bisa pake ruangan serbaguna di sekolah aja kan? Gabung sama
anak-anak MD kayak biasanya. Kenapa harus di sini segala? Kan risih!” Jessia
mewakili kedua temen ceweknya untuk menyampaikan protes.
“Justru
itu, Jess, Jess, Dar,” Dinky menatap wajah teman-temannya satu persatu ketika
ia menyebut nama mereka masing-masing. “Gue pengen kalian terbiasa sama
pandangan orang-orang. Oke lah, kita udah sering latihan sendiri. Gerakan
kalian juga udah lumayan bagus, progress kalian bisa gue bilang cepet. Tapi
perform tuh bukan soal pinter-pinteran ngapalin gerakan. Tampil di panggung itu
beda sama ujian. Walaupun kalian berhasil hapal gerakan kalian seratus persen
tanpa ada kesalahan satu pun, tetep percuma kalo kalian gak bisa bikin penonton
terpukau. Nilai kalian tetep nol, bukan seratus. Dan kalo kalian udah risih cuma
gara-gara diliatin orang, gimana kalian mau naklukin mereka? Yang ada malah kalian
yang demam panggung duluan.” Jessika, Jessia dan Dara mendengarkan dengan
seksama tanpa ada yang berani membantah.
Pelan-pelan mereka mulai mengerti apa yang ada di pikiran Dinky. Dan mau gak
mau mereka harus mengakui bahwa
semua yang diucapkan Dinky itu ada benarnya
juga.
“Jadi
gue pegen kalian mulai belajar nebelin kulit muka, mutusin urat malu dan
tambahin kadar pede kalian. Karena terhitung dari sekarang, kita bakal latihan
di ruang terbuka
tempat orang-orang pada ngumpul. Siap-siap aja diliatin orang!”
Begitulah,
Dinky akhirnya berhasil meyakinkan ketiga temannya untuk ikut bergabung,
membaur dalam barisan ibu-ibu dan mengikuti semua gerakan senam –yang norak
maksimal— dengan serius dan penuh gairah.
***
Dinky
baru selesai bagiin botol-botol minuman yang dia beli di minimarket seberang
Takoci kepada tiga temannya yang tampak kelelahan setelah dua jam nonstop
latihan.
“Jadi
gimana, Dinky, lo udah mutusin kita mau bawain lagu apa nanti di parade
ekskul?” Dara langsung menanyai Dinky bahkan sebelum membuka botol minumannya.
Dinky
tak langsung menjawab pertanyaan Dara. Dara pun gak berharap akan langsung
mendapatkan jawaban dari Dinky. Tapi Dara tahu, topik ini mau gak mau tetap
harus dibahas dan diselesaikan.
“Well,
jujur, saat ini gue belum bisa ngasih kepastian apapun sama kalian. Gue masih
nyari konsep yang tepat buat kita bawain. Konsep yang bakal bisa menonjolkan
kelebihan kita, walaupun gue tahu kita banyak banget kekurangannya. Lo tahu
juga kan, untuk sebuah grup cover dance yang
cuma punya empat orang member, mix pula, pilihan kita jadi terbatas.
Terus gue juga tahu bias kalian tuh beda-beda semua. Dan itu ngaruh banyak ke pembawaan
kalian kalo pas lagi nge-dance. Tapi gue anggep itu sebagai keunikan kalian
masing-masing dan gue pengen kalian bisa nunjukin itu pas tampil nanti. Jadi
untuk saat ini gue masih berusaha nyari format yang bisa nampung itu semua.
Sorry, ya guys, kalo gue mikirnya kelamaan.” Dinky kemudian nyengir sambil
menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tiba-tiba gatal.
“Gak
apa-apa, Dinky. Kita ngerti kok, lo emang pengen kita tampil maksimal. Gak usah
buru-buru, gue kasih lo waktu dua minggu. Kalo ternyata lo masih belum punya
konsep yang bagus, terpaksa kita harus mulai mantepin latihan dengan konsep
seadanya. Kita gak bisa terus-terusan latihan nge-dance beberapa grup idol
secara random. Kita harus milih satu lagu yang bakal dipake, gimanapun
caranya.”
Dinky
mengangguk dengan mantap.
“Good
boy,” ucap Dara sambil mengacak-acak rambut Dinky dengan lembut. Dan mereka
berdua tersenyum.
“Oh ya, ngomong-ngomong anak-anak kelas sepuluh pada
kemana, Dinky? Mangkir semua?” Seingat Dara tiga orang anak kelas sepuluh
seharusnya ikut kumpulan ini juga, tapi Dara belum melihat mereka sama sekali
sejak dia datang.
“Mereka dateng kok. Emang pada gak liat ya?”
Dara, Jessia dan Jessika sama-sama menggelengkan kepala
mereka.
Dinky kemudian menegakkan punggung sambil mendongakkan
kepalanya. Ia mengedarkan pandangannya ke sudut-sudut tempat jalan masuk menuju
Takoci. Setelah beberapa saat mengamati pintu masuk dari arah timur Dinky
akhirnya melambaikan tangannya di atas kepala. Lalu menunjuk ke arah itu dan
berkata, “Tuh, mereka baru balik. Tadi aku suruh mereka lari dari sini ke Pasar
terus balik lagi. Maklum, fisik mereka kan masih lembek banget, jadi terpaksa
gue kasih latihan intensif dulu.”
“Berapa puteran?” tanya Jessika.
“Sepuluh,” sahut Dinky santai.
Jessika terperangah mendengar jawaban Dinky, terlebih
lagi melihat ekspresi mukanya yang terlampau datar. “Sepuluh?” tanya Jessika
tak percaya.
“Gila lo Dinky! Anak orang tuh! Kalo sampe kakinya pada
gempor semua tanggung jawab lo.”
Dinky hanya menjawab Jessika dengan segerombolan tawa.
***
“Triyan! Akhirnya lo dateng juga. Duduk, Triyan. Matcha
ice cream kesukaan lo udah gue pesenin, kok. Bentar
lagi juga dateng kayaknya. Lo santai dulu aja.” Dinky menarik kursi merah yang
ada di seberang tempat duduknya dan mempersilakan gadis cantik itu duduk.
“Dinky,
gue ingetin lagi, ya. Lo jangan salah sangka, satu-satunya alesan gue dateng ke
sini adalah Matcha Ice Cream gratis, gue sama sekali gak berubah pikiran soal
tawaran lo itu. Gue masih dan akan tetap ngasih jawaban yang sama. NO!” Triyan
berbicara sambil menyilangkan kedua tangannya di dada , dengan santai menyandarkan
punggungnya di kursi, ia terlihat tak berminat. Tatapannya yang dari tadi tak pernah
beralih dari Dinky terasa begitu mengintimidasi. Namun meski Dinky kadang
merasa ciut, ia tetap tak pernah bisa melepaskan pandangannya dari Triyan.
Seperti prajurit yang dengan sukarela menyerahkan diri untuk dijadikan tawanan.
Dinky tak pernah keberatan untuk disandera dalam tatapan Triyan meski ia tahu
betul betapa berbahayanya itu. Tapi untungnya Dinky selamat berkat suara
mas-mas yang mengantarkan Matcha Ice Cream pesanannya.
“Satu matcha ice cream dan satu kopi hitam,” kata mas-mas tadi sambil menaruh dua gelas minuman di atas meja. Mata Triyan seketika berbinar senang ketika melikat matcha ice cream kesukaannya tersaji di hadapannya. Sebenarnya sih, Triyan sebelumnya tak pernah suka teh, apalagi teh hijau yang terkenal pahit. Hanya saja ketika teh hijau dan semua makanan berbau greentea mulai menjadi trend di kalangan anak-anak muda, sejak itu Triyan tak punya pilihan lain selain menyesuaikan diri. Anak gaul seperti Triyan tak boleh sampai ketinggalan zaman.
Melihat
Triyan dengan lahap menyantap matcha ice creamnya –tentu setelah makanan itu difoto terlebih dahulu untuk
diunggah ke semua kanal media sosial Triyan—Dinky hanya bisa mendengus pelan
lalu menyeruput kopi hitamnya.
Deru suara kendaraan sayup terdengar, tertutup oleh suara
melengking Ariana Grande yang keluar dari pengeras suara yang dipasang di tiap
sudut ruangan. Lampu-lampu cantik menjulur dari langit-langit, salah satunya menggantung tak jauh dari
kepala Dinky yang kini sedang menengadah dengan mata terpejam. Wangi bunga
samar-samar tercium di seluruh ruangan. Tak lama Dinky kembali membuka matanya,
lalu membenarkan posisinya duduk.
“Triyan,
lo serius gak mau bantuin kita? Kita beneran kekurangan member nih, Triyan.
Bukannya lo juga suka dengerin beberapa lagu kpop yang enak buat joged, ya?”
Dinky memberondol Triyan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan memelas.
“Well,
Cuma dengerin beberapa lagu yang lagi hits gak lantas bikin gue jadi Korean
Freaks kayak lo”, sergah Triyan sambil memutar bola mata.
“Lo
gak perlu jadi Korean Freaks cuma buat ikut grup cover dance. Cover dance is a dance
anyway. And you always love to dance. Anggap aja lo lagi nge-dance dengan genre
musik yang beda dari yang biasa lo bawain. I know how good you are, it won’t be
a problem for you.”
“No,
Dinky. Cover dance is not even a dance. Cover dance itu Cuma ajang
mirip-miripan. Cover dance Cuma bakal bikin lo jadi peniru bukan penari. Tarian
harusnya jadi sarana seorang penari buat nunjukkin kepribadian mereka dan
menyampaikan ide-ide mereka. Tapi lo gak bakal pernah bisa melakukan itu semua
lewat cover dance. Karena begitu lo coverin sebuah grup idol, semua gerakan lo,
ekspresi muka lo, gerakan bibir lo, interpretasi lo, bahkan kostum lo dituntut
untuk jadi semirip mungkin sama idol yang lo cover-in. Lo gak akan punya ruang
buat berkembang dan nunjukin jati diri lo sebenernya. Gue gak ngerti kenapa lo
mau-maunya bikin grup cover dance. Oh, mungkin karena emang lo Cuma punya
mental peniru.” Triyan terkekeh di akhir kalimatnya.
Dinky
mencondongkan tubuhnya ke arah Triyan. Matanya memicing waspada.
“Justru
itu, Triyan. Gue mau bikin grup cover dance yang beda dari yang lain. Grup
cover dance yang gak Cuma jago niru tapi juga bisa berkreasi. Gue pengen bikin
sesuatu yang gila dan gak pernah ada sebelumnya. Gue pengen mengobrak-abrik
pakem-pakem yang biasa dipaksakan ke grup cover dance. Gue pengen bikin grup
cover dance yang bisa tetep punya originalitas dan keunikan. Dan untuk
mewujudkan itu semua gue butuh bantuan. At least dari lo, karena Cuma lo yang punya
visi kayak gue. I want us to be a team,” jelas Dinky dengan berapi-api.
Semangatnya bisa terlihat jelas dari matanya yang terbuka lebar ketika ia
berbicara.
“Thanks
karena lo udah ngakuin skill gue, tapi maaf gue gak tertarik sama ambisi dan niat
mulia lo. Lo pikir gue mau ninggalin posisi gue di Crown buat jadi bagian dari
proyek coba-coba lo? Jangan mimpi!” tandas Triyan tanpa menyiratkan keraguan
sedikit pun. Jelas, Triyan sudah tak mau memperpanjang percakapan ini. Sikapnya
sudah kukuh sejak awal dan tak
berubah sampai akhir. Lagipula, matcha ice creamnya sudah habis tak
bersisa.
Dinky
hanya bisa menghela nafas panjang sambil menyesap sisa kopi hitamnya. Matanya
menerawang jauh melewati pagar balkon cafe. Punggung pegunungan yang berjajar
di kejauhan mulai berubah jingga tertimpa cahaya matahari sore hari. Triyan
pergi begitu saja bahkan tanpa repot-repot berpamitan.
***
Dinky
berjalan menyusuri tangga yang membawanya ke lantai dua tempat kamarnya berada.
Pintu kamar Dinky dicat merah, kontras dengan tembok dinding luar ruangan itu
yang berwarna putih. Dengan tenaga seadanya ia memutar kunci lalu mengempaskan
badannya di atas ranjang segera setelah ia masuk. Sama seperti dinding di luar,
bagian dalam kamar ini pun dicat putih bersih. Bedanya, pintu kamar yang
menghadap ke dalam kamar tidak dicat merah melainkan hitam. Dan jika
diperhatikan seluruh barang-barang yang ada di ruangan ini memang bernuansa
hitam putih. Tak ada barang yang mempunyai warna mencolok bahkan untuk sekedar
aksen.
Ranjang
tempat Dinky berbaring berada di sudut kamar, menempel pada dinding. Meja
belajar, rak buku, lemari pakaian, sofa kecil, dan perabotan lain pun disimpan
berjajar menempel di dinding. Menyisakan ruang kosong di tengah ruangan untuk
Dinky berlatih dengan leluasa.
Dinky
merogoh saku celana dan mengeluarkan telepon genggamnya. Ia mencoba untuk
menyalakannya namun ternyata tak berhasil. Mungkin baterainya memang sudah
habis sejak tadi. Dinky mendengus pelan sebelum akhirnya bangun dari ranjang
untuk mengisi ulang baterai telepon genggamnya.
Begitu
kabel pengisi ulang daya baterai terpasang, Dinky kemudian menyambar handuknya
lalu turun ke bawah untuk mandi sore.
Wajahnya
sedikit menengadah dengan mata yang tertutup. Dinky membiarkan aliran air yang
menyembur dari shower jatuh tepat di wajahnya. Ia menikmati tekanan air yang
menimpa kulit mukanya yang terasa seperti pijatan lembut. Pikirannya menerawang
memikirkan hal yang dikatakan Triyan padanya di kafe sore tadi. Ketika Triyan
bangkit dari tempat duduknya dan mulai melangkah, ia kemudian memalingkan
wajahnya dan berbalik menatap Dinky. Triyan menghela nafas pendek, lalu sesuatu
tentang matanya berubah. Tatapan matanya yang selalu sinis entah kenapa terasa sedikit melembut. Ujung
bibirnya bergerak hampir tak kentara
membentuk senyuman yang samar.
“Cita-cita
lo kelewat muluk, Dinky. Kamu bukan siapa-siapa tapi kamu ingin mengubah dunia. Komunitas cover dance dan segala kebiasaan yang udah
terbentuk di sana sama sekali bukan hal kecil yang bisa diguncang cuma sama aksi
segelintir anak SMA yang gak lebih dari sekelompok penari amatiran.” sebuah
ejekan meluncur mulus dari mulut Triyan. Dan
detik berikutnya Dinky sadar bahwa yang ia lihat tadi bukan senyuman melainkan
seringai.
Tapi
apa yang dikatakan oleh Triyan tak bisa hilang begitu saja dari pikiran Dinky.
Triyan memang benar, Dinky memang bukan siapa-siapa, Dinky tak lebih dari seorang
bukan-siapa-siapa yang bersikeras untuk mengubah dunia. Jika dunia tempat hidup
milyaran manusia terlalu besar baginya untuk bisa didengar, setidaknya ia akan
tetap berusaha untuk mengubah dunia yang ia tahu, dunia yang begitu ia pedulikan,
dunia yang selama ini menjadi minatnya, dunia cover dance. Dunia yang selalu dipandang
sebelah mata oleh orang kebanyakan, terutama di sini.
Ia harus cerdik dengan membiasakan diri untuk memikirkan banyak cara agar mencapai hasil yang
ia inginkan. Sehingga ketika satu cara tidak membuahkan hasil ia masih punya
rencana cadangan untuk dicoba.
Dinky
mengeringkan rambutnya dengan menggosok-gosokkan handuk ke seluruh bagian
kepalanya. Ia sudah memakai kaos putih longgar yang dengan melihatnya saja
sudah ketahuan bahwa kaos itu dipakai paling sedikit empat kali seminggu. Celana
training warna hitam polos menjadi pelengkap kostumnya untuk berlatih dance. Dari
pengeras suara yang disimpan di sudut ruangan seberang ranjang terdengar irama
musik kpop menghentak-hentak
bersemangat. Telapak kaki kanan Dinky bergerak-gerak mengikuti ketukan lagu.
Saat itu kemudian Dinky melirik telepon genggamnya yang belum sempat
dinyalakan. Kabel pengisi daya masih terpasang, baru empat puluh lima persen
daya baterai yang telah terisi.
Dinky
menekan tombol power yang ada di sisi kanan ponsel dengan ibu jarinya yang
panjang. Ia menunggu beberapa detik hingga layarnya menyala. Dan begitu layar
utama muncul Dinky langsung mengetuk ikon berbentuk buku tebal berwarna coklat.
Sederet nama-nama dan nomor telepon kemudian muncul memenuhi layar ponselnya.
Jempol Dinky bergerak-gerak gesit di atas layar sentuhnya, matanya memicing tajam memeriksa
nama-nama dalam daftar panjang itu. Hingga akhirnya ia berhenti pada sebuah
nama. Ia mengetuknya satu kali. Selanjutnya muncul nama, foto dan nomor
telepon. Di ujung kiri layar setelah dua belas angka itu berderet rapi muncul
ikon serupa gagang telepon. Jempol Dinky diam melayang di atasnya. Dinky
menggigit bibir. Pandangannya lalu jatuh menunduk. Tap. Akhirnya jempol Dinky
mendarat di ikon garis panah melengkung menunjuk ke arah kiri. Dinky
bertubi-tubi mengetuk ikon itu dengan terburu-buru hingga layarnya kembali
ke layar utama. Ponsel itu ia letakkan
kembali di atas meja belajarnya.
Ia
hanya bisa mendengus lalu kembali mengeringkan rambutnya yang masih setengah
basah. Sambil sesekali ikut menggumamkan lirik lagu yang ia dengar.
~~~
Yoga Palwaguna
sumber gambar: google
sumber gambar: google
Milih Dara. Dia keren banget.
BalasHapus