Gambar : Google
Karen menyadari pilihannya salah, prediksinya tentang
cuaca jelas tak masuk perhitungan sebelumnya. Ia kembali melirik jam tangannya—sudah terlambat lima belas menit—itu saja cukup membuat wajahnya
kepanasan di cafe terbuka ini. Payung
lebar di atas mejanya jelas tak berarti banyak bagi wajahnya. Di sekelilingnya hanya
ada dua meja yang terisi selain mejanya, malah yang di sudut tampaknya sudah
selesai. Seorang gadis remaja dengan rok hijau selutut dan baju berbahan katun
bersama seorang wanita muda berkacamata mengenakan blus dan celana jeans
panjang yang menyelimuti kaki rampingnya secara ketat. Karen membuka sebuah
buku panjang tipis sekali lagi, daftar menu makanan dan minuman itu sudah
dipegangnya sejak ia tiba.
Dari tempat parkir motor seorang cowok berlari-lari ke arahnya,
ransel hitamnya disampirkan pada sebelah bahunya. Keringat di keningnya
menunjukkan bahwa ia telah terburu-buru walaupun akhirnya terlambat juga.
“
Aduh..kak, maaf banget!
Bikin kakak kesel nunggu!” Ucap
cowok
itu mengawali. Raut
bersalah tampak di wajahnya.
“
Nggak apa-apa kok, Niel. Santai aja!” Ucap Karen tersenyum simpul, tapi
cukup membuat lekukan pipinya tampak.
“Aku sudah buat kesalahan fatal sama kakak!”
“Kesalahan
fatal gimana, Niel?”, Karen bingung, keningnya berkerut.
“ Bikin wajah kakak kepanasan! Diusap dulu kak
keringetnya,
takut jadi item
kulitnya!”
“
Ahaha, kamu ini ada-ada aja! Kamu juga tuh!” Ucap Karen dngan menunjuk kening Daniel.
“
Maaf banget
ya, Kak!
Tadi agak macet, keluar kelas juga agak telat.”
“
Don’t be mind. Kakak juga yang salah
nentuin tempat. Abis dari kemaren-kemaren mendung, eh sekarang malah panas!” Karen mengusap keningnya dengan
tisu. “ Mau
makan apa, Niel?”
“Kakak dulu aja!” Ucap Daniel seraya menganggukkan
kepala.
“Hmmm…kakak
mau chicken
katsu sama vanilla
youghurt aja deh!”
“Samain
aja kak!” Ucap
Daniel seraya tersenyum simpul.
“Ihh…kamu
ngikutin aja deh, ntar kena undang-undang pembajakan tau!” Sahut karen, senyumnya jenaka.
Daniel hanya membalasnya dengan senyuman serupa, sesaat
mata mereka bertemu sampai akhirnya Karen memanggil seorang pelayan, gadis muda
yang mengucir rambut panjangnya, untuk memesan makanan.
“Maaf
ya kak jadi ngerepotin kakak, padahal hari ini kakak nggak ada jadwal kuliah
tapi ngebelain keluar demi aku.”
“Santai
aja kali, Niel!” Ucap
Karen seraya memandang Daniel yang sedang menunduk.
“Kakak
pasti pusing ya ngedit
laporan akhir praktikumku? Mana aku minta cepet-cepet lagi!”
“Laporan
kamu udah bagus kok, Niel! Kakak cuma nambah-nambahin dikit aja kok, selebihnya
udah oke!”, ucap Karen seraya menunjukkan dua jempolnya. Jempol
tangan ya bukan jempol kaki. “Oh
ya, kakak juga mau pinjemin buku referensinya nih!”
“Wah..terima kasih
banget ya kak, aku nggak tau nih harus ngomong apa. Kakak udah cantik baik
lagi!” Puji
Daniel, cukup membuat pipi Karen bersemu merah.
Seorang
pelayan menghampiri meja mereka, kali ini seorang lelaki muda, mengantarkan
makanan dan minuman yang dipesan. Untuk beberapa saat mereka menikmati hidangan
masing-masing.
Setelah bercakap-cakap seputar perkuliahan yang mereka
geluti dan setelah menghabiskan hidangan masing-masing, Karen melirik jam tangannya.
“Niel,
ini laporan sama bukunya! Nanti kelupaan lagi!” Ucap Karen seraya menyodorkan laporan
dan sebuah buku kepada Daniel.
“Makasih
banget ya, kak!” Ucap
Daniel tersenyum seraya meraih laporan dan buku dari tangan Karen.
“Udah
sore kakak harus cepet pulang nih, Niel!” Ucap karen seraya melirik jam
tangannya sekali lagi.
“Aku
anterin, Kak!
Itu juga kalo nggak ada yang cemburu!” Ucap Daniel seraya mengerakkan
sebelah alisnya, senyumnya menggoda.
“Ah,
kamu ini!” Karen
tersipu. “Nanti ngerepotin kamu lagi atau parahnya bikin pacar kamu cemburu!”
Mereka berdua tertawa renyah dan beranjak dari tempat
duduk. Karen kembali memesan makanan dan minuman untuk dibawa pulang.
“Buat
siapa kak?” Tanya
Daniel seraya mengenakan helm.
“Buat
adik di rumah!” Jawab
Karen singkat.
Karen sudah naik di atas motor Daniel. Jalan sore tidak
begitu macet, mungkin karena cuaca yang tidak bisa disebut sejuk dan juga ini
bukan akhir pekan.
“Emangnya
kakak berapa bersaudara?” Sambung Daniel ketika motornya mulai melaju.
“Dua
bersaudara, Niel. Kakak punya satu adik.”
“Nggak
ada lagi?”
“Nggak
ada lagi. Kalo kamu mau daftar juga boleh!” Canda Karen.
“Hmmm...Kalo
boleh tau, namanya siapa kak?”
“Nggak
ah, nanti naksir lagi!”
“Kalo
niat sih sama kakaknya aja!”
“Ihh...kamu
nih! Nggak akan dieditin lagi nih laporannya!” Tanggap Karen seraya menjotos
punggung Daniel. Tidak keras namun itu membuat Daniel tertawa keras.
“Hahaha,
bercanda kok, Kak! Siapa juga yang mau serius!” Komentar Daniel. “Belok mana nih, Kak?”
“Ke
kiri, Niel. Nanti ada pertigaan tinggal lurus aja.”
Di depan sebuah rumah berlantai dua namun tidak bisa
dibilang besar, di situlah Daniel menghentikan motornya.
“Masuk
dulu, Niel?”
“Nggak
usah Kak, udah sore. Lain kali aja!”
Karen melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya.
“Siapa
tuuhhh?” Goda adiknya.
“Cuma
adik tingkat, nih!” Ucap
Karen seraya menyerahkan bungkusan makanan itu kepada adiknya.
“Asiiikkk,
makasih ya! Gitu dong kalo
punya pacar, nguntungin!” Seloroh
Nathanael.
“Dasar!!
Kamu tuh ya!” Ucap Karen seraya mengasongkan jitakannya. Nathanael
berkelit dan masuk ke dalam dengan tawanya.
***
Hujan memang tidak sederas petang tadi, kini yang tersisa
hanya berupa tetesan pendek-pendek jarum air yang lebih tepat disebut gerimis.
Seorang anak laki-laki yang kedinginan dituntun masuk kedalan rumah oleh
seorang pria berumur sekitar empat puluhan.
“Namamu
siapa, Nak?” Tanya
lelaki itu lembut.
“Nathanael,”
jawab si anak murung.
Mukanya terus saja tertunduk sedari tadi.
Terdengar suara riang anak perempuan dari dalam rumah.
“Kak
David! mama! Papa udah pulang!” Suara
nyaring anak perempuan itu kegirangan dan berlari menghampiri papanya. Namun
seketika suaranya berhenti melihat anak lelaki yang berdiri di samping papanya.
“Papa,
dia siapa!? Wajahnya berdarah seperti hantu!” Anak perempuan itu menjerit, baru reda ketika mamanya
menenangkannya.
***
Daniel membaca laporannya hasil editan Karen. Tidak heran jika gadis itu tidak banyak mengeditnya, lagipula siapa juga yang benar-benar minta
bantuan? Pikirnya. Dia kemudian menaruh laporan itu kedalam laci. Ia
membolak-balik buku pinjaman Karen, tak
perlu, di lemari belajarnya buku itu ada satu dan buku-buku lainnya yang ia
butuhkan.
Daniel membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sudah sampai sejauh ini, ia tersenyum.
Baginya, menemukan sosok Karen merupakan impian yang sepertinya sudah lama
sekali ia miliki. Ia menarik selimutnya, bisa tidur dengan pulas.
Sementara itu pikiran Karen mengawang, kembali ke
beberapa bulan yang lalu. Perkenalan pertamanya dengan Daniel yang
meng-add beberapa akun jejaring sosialnya.
Ah, ia pasti tahu namaku dari daftar
mahasiswa.
Salam kenal kak. Aku Daniel adik tingkat kakak,
pindahan dari kampus lain. Mohon bimbingannya ya kak J. Begitu tulis pesannya.
Pesan itu adalah permulaan untuk pertemuan-pertemuan
singkat di kampus, untuk bantuan-bantuan kecil dalam tugas, peminjaman diktat,
hal-hal sederhana yang membuat Karen tersenyum. Dia manis juga. Buru-buru Karen menepis pikiran itu, apa-apaan aku ini. Memangnya tidak ada yang
lebih dewasa dari dia apa? Akan lucu sekali. Tutur logikanya dan ia kembali
menekuni laporan praktikum lapangannya.
***
Bagi Karen hari ini ringan sekali, karena seharian
hatinya terus tersenyum. Beban skripsinya yang
sudah lebih satu tahun
tak sempat jadi pikiran hari ini. Hari ini merupakan titik balik bagi dirinya,
titik balik dalam setahun. Yang seharian membuat harinya tersenyum adalah malam
nanti ia akan merayakannya bersama Daniel, walau tak bisa disebut perayaan
mewah tapi nanti malam pasti akan sangat berkesan. Daniel akan mengajaknya
makan malam di rumah yang baru beberapa hari ia tempati dan akan memasak
sendiri makanannya. Karen bertanya-tanya dalam hati, bagaimana rasa masakan cowok yang dicintainya itu.
Karen memandangi bayangan pantulan dirinya dari cermin
sekali lagi. Sekali lagi ia tersenyum. baju hijau mudanya anggun sekali
membalut tubuhnya, rambut tanggungnya sepanjang pundak lebih dibiarkannya
tergerai begitu saja. Kini ia sudah siap dan Daniel telah menunggunya di bawah.
Daniel melihatnya sambil tersenyum ketika Karen turun
menghampiri dirinya. Tatapannya lembut sekali.
“Kita
berangkat sekarang?” Tanya Daniel.
“Iya.
Aku udah sms mama sama Nathan tapi nggak ada yang bales. Telpon mama juga nggak
aktif, palingan juga lowbat, abis mama keseringan gitu sih!” Keluh Karen.
“
Ya udah yuk!”
“Aku
bantuin ya, Niel!”, seru Karen dari ruang makan. Letaknya tepat di balik dapur
hanya saja dihalangi sebuah dinding.
“Jangan!
Aku nggak mau diintervensi, kalo dibantuin kamu malah jadi nggak enak lagi.
Pokoknya kamu harus bener-bener makan masakan aku, oke!” Sahut Daniel dari balik
dinding.”Pokoknya kamu duduk aja yang manis ya!”
“Uhh...enak
aja. Gini-gini aku juga bisa masak kali!”
“Masak
apa coba?” Cibir
Daniel.
“Masak Air, Hihihi!”
“Dasar!
Kasian tante,
pasti cape deh nggak ada yang bantuin masak!” Ejek Daniel. Ia mengambil
beberapa piring.
“Gini-gini
aku anak berbakti!”
Daniel keluar dari dapur menuju ruang makan yang hanya
dipisahkan oleh dinding itu.
“Wahh,....asiiikkk.
Masakannya udah jadi nih!” Seru Karen. “Hummmpp, dari baunya sih enak nih!”
“Nggak bau ketek kan?”
Karen merengut, “Nggak lah,
kamu ngerusak selera makan banget sih!”
“Cobain
donk rasanya juga enak!” Ucap Daniel bangga.
Daniel mengambil piring untuk melayani Karen tapi karen segera
menyambarnya.
“Kali
ini giliran aku!” Ucap
Karen. Daniel tersenyum, dipandanginya lekat-lekat gadis itu. Karen salah
tingkah.
“Ngapain
liat-liat!” Ucap
Karen matanya melotot namun pipinya memerah.
“Cantik!”
“Udah
tau!”
Mereka berdua kini makan dengan lahap.
“Enak juga masakan kamu, Niel.
Belajar dari mana?”
“Selingkuhan!”
“Ihh..nyebelin
deh!” bibir Karen
mengerucut. Ia mengarahkan garpu ke arah mata Daniel. “Coba aja
kalo berani!”
“Ren?”
“Hemmm...”,
tanggap Karen seraya mengunyah kunyahan terakhirnya.
“Udah
lama banget aku menunggu momen ini!” Ucap Daniel seraya menyentuh tangan Karen. Si empunya tangan
tersipu, jantungnya berdegup. Ditatapnya cowok dihadapannya dengan lembut.
“Oh
ya? Kenapa, Niel?”
“Akhirnya
bertemu sosok Ludmila!”
Tenggorokan
Karen serasa tercekat, “Na...”.
Sebuah
kata
terlambat meluncur dari mulutnya saat sabuah tangan mendekap erat
hidungnya, sampai semua terlihat samar dan hanya tinggal kekosongan.
***
Karen Isyvandra Ludmila adalah nama kecilnya—bisa juga disebut nama bayinya—sebelum ia berganti nama dan tercatat
dalam akta kelahirannya menjadi Karen Isyvandra Ursula. Tidak ada yang tahu
bahwa Ludmila pernah menjadi namanya, kecuali hanya keluarga intinya saja.
Adik laki-lakinya, Nathanael, senang sekali memanggilnya
Ludmila sampai Karen berusia delapan tahun, setelah itu tidak ada lagi
orang yang memanggilnya dengan nama itu.
Pandangan Karen mulai terbentuk, samar-samar matanya
dapat menangkap sebuah bayangan, kesadarannya mulai pulih. Yang pertama kali ia
sadari adalah bahwa tangan dan kakinya terikat pada sebuah kursi, ia ingin
menjerit namun semakin ia berusaha untuk mengeluarkan suara kain linen yang
menyumpal mulutnya membuat usaha berbahaya menuju tenggorokannya yang membuat
nafasnya bisa tertahan kapan saja.
Ia melihat sosok yang berdiri di depannya, cowok itu tersenyum pedih. Mata Karen membelalak, ia masih
terlalu syok untuk mencerna apa yang terjadi. Secara tiba-tiba tangannya
menarik kain linen dari mulut karen secara kasar. Udara langsung memburu paru-parunya.
“Nathan..ku
kira kau sudah..?” Ucap
Karen tak selesai karena kain linen itu menjejali lagi mulutnya. Perasaannya
tak jelas, tak bisa digambarkan. Bahwa ia terkejut luar biasa itu benar, tapi
sebuah perasaan tiba-tiba menyeruak, sebuah perasaan bahagia, perasaan senang
yang tertahan kejadian ganjil ini. Sementara hatinya sibuk bertanya-tanya.
“Sudah
apa? Mati?” Raung
Daniel, matanya nanar. “Dimana kalian ketika aku hampir mengalami itu?!”
Air
mata sontak membanjiri pipi Karen, ia menggeleng-gelengkan kepala. Ditatapnya
lekat-lekat cowok
itu seolah tidak percaya.
“Kakak
dan mama hanya sekumpulan pengkhianat, pendusta! Kalian tidak pernah
menjemputku, tidak pernah!”
“Aku
bahkan seolah tak pernah tercatat dalam kehidupan kalian! Dimana kalian ketika
wanita iblis itu mengusirku setelah kematian papa? Ketika mukaku hancur
dipukuli preman yang merampas semua uangku? Ketika aku hampir mati kedinginan?
Dimana kalian?!”, Daniel meraung-raung, mencakari mukanya sendiri. Segaris
darah terbentuk di pipinya.
Muka Karen menjadi sangat merah karena menahan jeritan. Semakin ia berusaha membuka
mulut semakin kain linen yang menyumpalnya memaksa masuk.
“Asal
kalian tahu! Aku tidak suka namaku dipakai!” Bentak Daniel.
Ia
berjalan ke dinding sebelah kiri membuka pintu kamar di dekatnya.
Karen membelalak, ia menahan napasnya menelan liurnya sendiri.
Pemandangan di dalam sana benar-benar membuatnya terhenyak.
Nathanael tergantung terbalik. Kakinya diikat di atas
atap dengan seutas tambang secara kencang, kepalanya dibiarkan terjuntai
beberapa jengkal dari lantai, mulutnya disumpal kain linen. Seutas tambang
menjerat lehernya. Matanya menatap tak berdaya ke arah Karen. Rahangnya
mengeras menahan jeritan.
Karen tertunduk lemas, keringat dingin mengucur dari
keningnya. Daniel menepuk-nepukkan tangannya seolah sedang membersihkan terigu
dari telapaknya. Ia melongok ke dalam, menatap wanita paruh baya yang terikat
seperti Karen.
“Mama,
ini reuni keluarga!” Tawanya berderai.
***
Seorang anak perempuan berusia sembilan tahun mengusap air yang keluar
dari matanya dengan punggung tangannya. Didekapnya tas sekolahnya yang sudah
berisi penuh pakaian dan barang-barang.
“Mama,
kita mau kemana?” isaknya.
“Kita
pergi, sayang! Kamu tenang aja ya!” Ucap mamanya seraya mencium
pipinya. Pandangan wanita itu beralih pada anak lelakinya yang berwajah pucat.
“Ma..!” Ucapnya lemah.
“Nathan
sayang, sabar ya nak! Kamu di sini dulu, nanti mama jemput. Kalo mama bawa kamu
sekarang, nanti kamu nggak bisa operasi jantung di Singapur. Mama nggak mau terus
liat kamu sakit!” Ucap
wanita tersebut. Bulir hangat membasahi pipinya ketika ia mengecup kening
putranya.
“Jadi
mama mau tinggalin Nathan?” Ada nada kepedihan di sana.
“Nggak
lama sayang! Mama janji bakal jemput kamu.” Ucap
mamanya sambil mengelus kening Nathanael. ”Ayo, Karen! Sebelum papa dateng!”
“Kak
Ludmila jangan tinggalin aku!” Seru anak lelaki itu.
Karen menatapnya untuk yang terakhir kalinya saat mamanya
menuntunnya keluar.
***
Nathanael terbangun sendirian di kamar rumah sakit ketika
dini hari. Papanya tidak ada disana, ia
pasti bersama wanita itu, pikirnya. Andai mama dan kakaknya ada di sini, andai mereka tahu betapa
sepinya ia setelah dua hari berada di rumah sakit di Singapura ini, papanya
tidak pernah benar-benar ada untuknya. Kenapa mama tega meninggalkan aku
seperti ini?
Pagi harinya seorang wanita yang ia kenal selalu bersama papanya selama ia
berada di rumah sakit datang dan membawanya keluar. Ia bertanya kenapa, jawabannya
singkat namun menyambar. Papanya
meninggal over dosis. Nathanael tertegun, terlalu syok hingga tak mampu
menangis. Wanita itu meninggalkannya begitu saja beserta sejumlah uang yang
dikiranya cukup untuk bertahan hidup satu minggu. Hingga sekumpulan pemuda
mabuk merampas semua uangnya dan perlawanannya hanya membawa wajahnya pada luka
serius.
Seorang pria Indonesia yang nyaris tampak seperti
malaikat menemukannya menggigil dengan muka berdarah.
***
“Jangan
panggil aku Nathanael
lagi, Pa!
Aku mau berganti nama, apapun sesuka papa!” Ucap seorang anak lelaki pada
lelaki paruh baya di sampingnya. Anak itu melihat pantulan wajahnya dari kaca
di seberang dinding. Setelah berbulan-bulan lukanya telah sembuh benar,
walaupun operasinya memberikan wajah yang tampak berbeda padanya.
“Hmmm,
kenapa nak?” tanya lelaki itu. Keningnya berkerut.
“Karena
aku ingin hidup secara baru. Aku juga ingin punya nama baru!”
“Hmmm,
baiklah. Sebenarnya sebelum kak David lahir mama pernah mengalami keguguran.
Bayinya laki-laki dan papa sudah menyiapkan namanya, kalau kau mau kau bisa menggunakannya,”
ucap lelaki itu bijak.
“Siapa
namanya, Pa?”
“Daniel
Alexander.”
“Baiklah,
Pa.
Sekarang aku adalah Daniel Alexander. Aku anak papa, aku bagian dari keluarga
ini kan pa?” Ucap
Nathanael, matanya berbinar.
Lelaki paruh baya itu mengangguk.
Delapan
tahun kemudian, keluarga itu kembali ke Indonesia.
***
Daniel mencabut sebilah pisau dan ditariknya mamanya keluar dari kamar. Sedangkan Nathanael terlihat sudah tak
sadarkan diri.
Ditempelkannya pisau mengkilat tersebut ke pipi wanita
itu, matanya membelalak ngeri.
“Aku
cuma mau ngulang sejarah, Ma! Mama punya pilihan seperti bertahun-tahun lalu.
Mama harus memilih malam ini juga!” Ucapnya berbisik di telinga
mamanya.
Dibukanya
tali yang mengikat wanita itu dan dibuka sumpalan dari mulutnya sehingga wanita
itu bisa bergerak bebas. Daniel melempar pisau mengkilat itu ke lantai.
“Ketika
aku liat ada tanda-tanda mama melenceng dari perintah aku, aku nggak bakal
segan-segan...”, ancam Daniel seraya menarik tali yang menjerat leher Nathanael.
“Saatnya mama memilih!” Ucapnya menyeringai. “Ambil
pisau itu cepat!”
***
Hidup
wanita itu rasanya sudah tak utuh lagi, kehilangan yang entah dimana. Anak
lelakinya tak sempat—tak pernah sempat—ia jemput karena tak pernah kembali
lagi, jejaknya seperti tertiup angin. Kini ia harus mulai menelan kenyataan
bahwa mungkin saja benar bahwa anak lelakinya juga meninggal, walau juga entah
mengapa.
Kedukaan
terus menggenanginya sampai terpantul pada diri anak perempuannya yang menjadi
kurus. Hingga suatu hari seorang pria baik hati datang menawarkan diri untuk
melindungi. Awalnya ia menolak, trauma akan masa lalunya. Namun ia mencoba
realistis, mereka tidak bisa hidup terus-menerus seperti ini, setidaknya bagi
anak perempuannya.
Satu
tahun kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamai Nathanael,
cermin cintanya pada seorang putera yang pernah hilang.
***
Karen
menggeram, menggerak-gerakan tubuhnya. Memberi tanda pada mamanya untuk
melepaskan ikatannya.
“Mama
berbalik padanya, sebuah kesalahan fatal!” Ancam Daniel. Tangan kirinya menarik
tali yang menjerat leher Nathanael.
Karen
membelalak ngeri, tambang itu makin kencang menjerat leher adiknya.
“Mama
sayang Nathan, Nak!” Ucap mamanya parau pada Daniel.
“Kalian
melupakan aku!” Suaranya bergetar. “Sekarang hanya ada dua pilihan, aku atau
dia?” Tatapannya ke arah Nathanael.
“Kalian
berdua putera mama!” Jerit mamanya.
“Tanpa
dia kita bisa seperti dulu!” Tawa Daniel. Tawanya lepas mengerikan.
Mamanya
menggeleng. Karen mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan keras. Mamanya
berbalik, tak punya cara lain. Ia lempar pisau mengilat itu ke lantai tak
sanggup memegangnya lama-lama. Berlari menghampiri Karen dan melepaskan
ikatannya.
Setelah
ikatan pada tangannya terlepas, Karen menarik kain yang menyumpal mulutnya dan
mengurai ikatan pada kakinya. Mulutnya terisak setengah menjerit, “Tolong
lepaskan adikku! Dia tidak bersalah!”
Daniel
menatapnya marah dan pedih, ia mengambil pisau yang ditinggalkan mamanya dan
melangkah menuju Nathanael. Karen kalap, ia merasa Daniel akan membunuh
Nathanael. Gadis itu segera saja menyerbu.
“Lepaskan,
kumohon!” Karen menarik tambang yang mengikat leher adiknya dari tangan Daniel.
Daniel
menggenggam tambang itu lebih erat dan menariknya lebih kencang.
“Nathanael!”
Mamanya melolong ketika melihat tambang itu semakin mencekik leher anak
bungsunya.
Karen
menatap Daniel marah, mukanya memerah dan berteriak kencang, “Lepaskan! Aku
tidak akan memohon lagi, lepaskan!”
“Untuk
apa kau muncul jika hanya ingin membunuh!” Karen kehilangan kendali dirinya,
dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Daniel namun pertahanan cowok itu
begitu kuat hingga tidak membuatnya terjengkang.
Daniel
menggigit bibirnya, air mata perlahan menganak sungai di pipinya. Dengan satu
gerakan yang cepat, dada hingga muka Nathanael penuh bercak darah.
Mata
Karen membelalak, bayangan kilau pisau itu menghujam nyeri pandangannya. Tangan
Daniel telah lepas dari jerat leher Nathanael.
***
Tetes-tetes
air hujan menghujam tanah rasanya seperti jarum-jarum yang menusuk jiwanya.
Karen yang pucat terduduk lemah di kursinya. Ia menyadarkan kepalanya pada tepi
ranjang rumah sakit.
Sebuah
tangan mengusap kepalanya, Karen bangkit menggapai tangan itu dan tersenyum.
“Kepalamu masih pusing?”
“Sedikit,”
Nathanael menjawab dan membalas senyumnya. “Jadi dia kakakku juga ya?” ia
bertanya dengan getir.
Karen
mengangguk.
Nathanael andai kautahu, betapa kau sangat
dicintai dan dirindukan, desahnya.
Ini
adalah minggu pagi paling kelam dalam hidupnya.
Biasanya yang gagal menyeramkan akan berkahir lucu
Oleh: Aya Sofi Rumaisha
Hihi itu kalimat terakhirnya (seharusnya) gak termasuk ke cerita ya :D
BalasHapusItu cuma omelan pribadi yang tidak sengaja terposting :D
Pengen dong dikerjain skripsinya *eh laporan aja nih
BalasHapusAsal jangan ngegantung Nathanael ya :D
Hapus