ROSVATI PART V: Fajar Baru




Rahman, adik bungsu Ros, menyadari bahwa ia datang terlambat ketika melihat lantai papan di ruangan gudang telah terbuka. Ia masuk ke rumah Rukmana dengan menggunakan kunci cadangan yang diberikan Ros beberapa hari yang lalu, namun ia tak dapat menemukan keponakannya. Sakti telah melarikan diri.

Tanpa pikir panjang ia pun bergegas untuk menjalankan amanat yang ia terima: menjaga Sakti. Ros telah berpesan bahwa ini tidak akan menjadi pekerjaan yang mudah, dan memang ia tidak salah sama sekali.

Rahman terhenti di pinggir sungai, matanya memicing menyaring cahaya di gelapnya malam Cimeri, mengira-ngira kemana perginya Sakti. Kaki-kakinya yang besar bergantian masuk ke dalam aliran sungai dalam langkah-langkah yang lebar, membawanya ke tepian. Di seberang sana ia menemukan jejak pada semak-semak yang merunduk bekas diinjak, membentuk sebuah jalur kecil. Mengikuti jalur itulah kini ia berlari dengan kecepatan penuh. Sepenuh yang bisa ia tempuh di belantara semak dan akar-akar pohon yang bisa mencuat di mana saja.

Setelah sekitar sepuluh menit pengejaran akhirnya Rahman melihat sosok yang dari tadi ia cari sedang berlari dengan kepayahan. Menyaksikan keponakannya yang masih ingusan itu berusaha kabur dengan segala kebocahannya membuat hati Rahman tiba-tiba mencelos. Setelah semua hukuman yang ia terima dari Rukmana, masih beruntung Sakti tak pingsan karena kelaparan, dan Rahman bersyukur karena ia kini telah menemukannya.

Rahman terpaksa membekap mulut Sakti agar ia tak berteriak, sekaligus mengunci tubuhnya yang masih berusaha melawan. Rahman tak perlu berusaha keras untuk menjatuhkan golok yang teracung di tangan Sakti, anak itu sudah terlalu lemah. Sekujur badannya panas. Rahman bisa merasakan keringat dingin bercucuran di wajah Sakti. Dan tak lama kemudian akhirnya Sakti tak sadarkan diri.

***

Langkah Ros terasa semakin ringan setelah ia meninggalkan semua keraguan dan penyesalannya di pinggir sungai, ia hanyutkan bersama daun-daun yang beguguran dari dahan-dahan pohon. Kesedihan-kesedihan yang selama ini membebani hatinya telah ia buang, kemalangan-kemalangan yang terus menghinggapi nasibnya sudah tak ia perhitungkan lagi. Yang ada dalam pikirannya kini hanyalah Agni.

Ia harus bertahan demi anak perempuannya. Ia harus selamat. Ia dan anaknya harus bahagia. Karena itulah, sedikit sisa daya yang ia punya tak boleh dipakai untuk hal yang sia-sia, seperti menghitung-hitung kemalangan dan nasib sial. Sudah banyak tenaga yang terkuras ketika menjalani kesusahan-kesusahan itu dulu, tak perlu lah diingat-ingat lagi ketika semua sudah berlalu, itu hanya akan menguras peluh. Semua itu tak ada yang perlu.

Yang Ros dan Agni perlukan saat ini hanyalah sepasang kaki yang kuat berjalan menembus pohon-pohon. Sepasang mata yang siaga menangkap cahaya, waspada memindai bahaya, memilih jalan yang paling mudah dan aman bagi mereka berdua. Juga sebuah hati tanpa malu yang terus meminta pertolongan Tuhan.

Maka perempuan itu terus berjalan, selangkah demi selangkah. Membawa harapan yang kini memancar dari dalam hatinya. Harapan yang telah lama padam disiram kekecewaan kini menyala kembali oleh api yang dibawa oleh kehidupan itu sendiri. Oleh sebuah nyawa mungil yang terlahir dari dalam rahimnya.

Ia kini berjalan membawa Agni, api yang menjadi penerang jalannya. Menembus rimba, melumat jarak, mengabaikan lelah. Ia jadikan aliran sungai sebagai petunjuk arahnya. Tak terhitung waktu yang telah ia lewatkan untuk berjalan, tapi ia tak berniat untuk berhenti. Meski telapak kakinya terasa teramat sakit, ia hanya menggigit bibir. Tak ada waktu untuk mengeluh, tak ada waktu untuk menyerah. Ia hanya berjalan, berjalan, berjalan.

***

Sakti mengenakan seragam barunya, kemudian bercermin pada kaca jendela berdebu di kamar Rahman. Warnanya benar-benar merah dan putih, tidak pucat seperti seragamnya yang dulu biasa ia pakai. Kainnya masih terasa agak kasar di kulit. Sakti mengendus-endus kain yang ia pakai itu, benar-benar beraroma khas baju baru. Suara musik dangdut terdengar dari kamar sebelah. Rahman sedang keluar membeli sarapan.

Setelah merapikan rambut, Sakti mengeluarkan sehelai kain dari bawah tumpukan beberapa helai baju dalam lemari. Sebuah saputangan putih berhiaskan sulaman warna-warni. Ia pandangi saputangan itu dengan matanya yang coklat dan mungil.

Tiga bulan telah berlalu sejak ia dibawa pergi oleh Rahman. Mereka meninggalkan Cimeri dan pindah ke tempat ini. Sebuah tempat yang jauh berbeda dengan tempat tinggalnya dulu. Di sini ada banyak sekali rumah-rumah. Jalanan selalu ramai dengan mobil-mobil dan motor berbagai jenis, warna dan ukuran. Jalanannya pun terbuat dari aspal yang permukaannya halus bukan batu-batu kali seperti jalan menuju Cimeri. Oh, ya, di dekat kontrakan Rahman, Sakti bahkan bisa melihat kereta api.

Rahman pulang membawa dua bungkus nasi kuning. Rahman telihat gagah memakai kemeja berwarna putih dengan celana hitam panjang yang terlihat mahal dan bersih. Tidak kotor seperti pakaian para pekerja perkebunan. Mereka berdua makan dengan lahap.

Kerinduan tak pernah sedikit pun beranjak dari dada mereka, tapi mulut mereka tak pernah membicarakannya. Setelah semua usaha untuk mencari kabar berujung gagal, mereka sepakat untuk melanjutkan hidup sambil tutup mulut. Membicarakan kesedihan tak akan membuatnya menghilang atau menjadi lebih ringan. Rahman mendapatkan pekerjaan dan Sakti didaftarkan ke sekolah dasar. Rahman bekerja, Sakti belajar. Matahari terbit dan tenggelam. Bukan sebagai usaha untuk lupa, tapi semata-mata karena hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam pencarian yang sia-sia. Kehidupan yang sempat terhenti kini dimulai kembali, di tempat baru, bersama orang-orang baru, meski ia yang memilih hilang, selamanya tak akan pernah terganti.



***

Seperti yang telah ia janjikan kepada dirinya sendiri, ia baru akan menangis jika telah sampai pada tujuan. Maka ketika ia berdiri memandang hangat fajar yang menyala jingga di balik pegunungan nun jauh di sana, barulah ia jatuh terduduk di atas rumput.

Matanya menyapu pandangan pada lampu-lampu yang menyala di bawah sana. Atap-atap rumah dengan genting berlumut, asap-asap yang mengepul dari dapur-dapur warung dan satu dua kendaraan yang berlalu lintas di jalan membuat hatinya tenang. Ia telah sampai.

Perjalanan sepuluh hari di dalam hutan kini telah berakhir. Air matanya ia biarkan keluar membanjir. Sedangkan bibirnya yang kering itu tersenyum lebar hingga gigi-giginya yang berjajar rapi terlihat dengan begitu jelas. Ia tertawa sambil menangis. Ia bersyukur melalui air mata.

Dengan girang ia angkat bayinya tinggi-tinggi. Ia hadapkan wajah Agni ke arah fajar. Juga ke arah perkampungan.

“Kita selamat, nak!”
***

Ditulis oleh: Yoga Palwaguna

Sedikit ucapan:
Terima kasih bagi teman-teman yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca Rosvati dari bagian pertama hingga bagian kelima--yang akan menjadi bagian terakhir cerita bersambung Rosvati di Blog Kawah Sastra. Senang sekali rasanya jika sedikit penggalan cerita mengenai Ros, Sakti dan Agni bisa dinikmati anda semua. Mohon maaf atas segala kekurangan penulis yang menyebabkan ketidaknyamanan anda dalam membaca cerita ini. Sekali lagi, mohon maaf dan terima kasih.

Rosvati sendiri akan tetap hidup dan berjuang dengan harapan bisa berkembang menjadi sebuah naskah novel yang utuh dan dapat kembali dinikmati oleh pembaca. Semoga harapan ini dapat terlaksana dalam penantian paling singkat.

Sekali lagi, terima kasih banyak. Salam dari Ros, Sakti dan Agni.

2 komentar: