ROSVATI PART IV: Ingatan-Ingatan

Every color on a rose has a meaning, see which one matches you more! Maybe you can start putting them around the house.:


Ros perkirakan kedua orang tuanya telah jatuh tertidur ketika ia menyelinap ke luar rumah dari jendela kamarnya. Terdengar suara berderit ketika jendela kayu tua itu dibuka. Ros menyempatkan diri untuk berhenti dan memastikan ibu bapaknya tak lantas terbangun karena suara itu. Setelah yakin aman, ia kemudian melompat dan mendarat dengan suara berdebam pelan.

Udara terasa teramat dingin malam itu. Jaket yang dipakai Ros seolah bisa dengan mudah ditembus angin. Sudah tak terdengar lagi suara manusia dan segala kesibukannya. Semua orang telah memasrahkan diri ke dalam pelukan malam, membaringkan tubuh berserta segala yang melekat padanya dalam peristirahatan singkat yang memberi jeda bagi roda kehidupan sebelum ia berputar kembali esok pagi.

Ros tak bisa bernapas dengan benar.Bukan sengaja ditahan-tahan karena takut menimbulkan suara dan membuatnya ketahuan, tapi memang sudah beberapa hari belakangan Ros tak pernah tidur nyenyak, makan pun tak enak. Padahal ia sudah berhenti makan beras-beras terbuang yang ia pungut dari lantai gudang pada tiap hari pembagian beras. Karena semenjak ia ikut bekerja di perkebunan ia pun mendapatkan jatah berasnya sendiri. Walau tentu tetap harus ia bagi juga untuk menambal kebutuhan keluarganya yang kadang masih kekurangan. Di pabrik pun begitu. Ia hampir saja menumpahkan sekarung teh kering karena melamun. Untung saja Suryati, temannya, melihat dan buru-buru memberitahu Ros. Selamatlah ia dari amukan atasannya.

Ros berjalan mengendap-endap seperti maling yang hendak mengambil induk-induk itik. Ia menutupi kepalanya dengan sebuah selendang berwarna merah muda pucat dengan motif bordir bunga mawar di sekelilingnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari yang biasa. Beberapa titik basah mulai terlihat di keningnya. Ia terus menelan ludah berharap ketegangannya bisa ikut terseret ke dalam perut. Tapi kenyatannnya tidak.

Tak ada perasaan lega yang muncul meski Ros telah sampai di tempat yang ia tuju. Alih-alih mengucapkan salam sambil mengetuk pintu depan, Ros malah berjalan ke samping rumah. Jendela kamarnya masih menyala, mungkin penghuninya belum tertidur. Semoga saja begitu.

Dengan tangan gemetar Ros mengetuk-ngetuk jendela. Satu kali. Dua kali. Tak ada yang menyahut. Keringat yang keluar dari kening Ros semakin rapat membasahi pipinya. Kini tenggorokannya bahkan terasa kering. Tak tersisa ludah untuk ditelan, hanya ada ketegangan yang semakin tak tertahan.

Ros mengetuk kembali jendela itu, kali ini sambil berbisik, “Akang! Kang Suyadi! Kang! Ini aku, Ros.”

“Kang Suyadi! Bangun!”

Terdengar suara ranjang berderit pelan dari balik jendela. Tirai warna merah terang yang menjadi tabir antara apa yang di luar dan penghuni di dalamnya tersingkap dalam sebuah gerakan cepat. Mata Ros segera mencari-cari sebuah tempat di mana hatinya tertambat. Sebuah perasaan hangat memenuhi tubuh Ros begitu ia menemukan yang ia cari. Sepasang mata lain yang menatapnya dari balik penghalang tembus pandang. Sebuah wajah yang selalu menjadi topik kerinduannya. Sebuah genangan manis tempat ia menenggelamkan diri, telaga yang ingin ia selami seumur hidup. Sebuah wajah yang kini berawan sendu.

Suyadi tampak lelah dan tak siap. Digerebek kekasihnya yang sebentar lagi akan dinikahkan dengan lelaki lain yang telah dipilihkan oleh keluarganya. Jika tetangga memergoki mereka seperti ini bisa-bisa mereka jadi bahan bulan-bulanan warga. Mereka tak akan selamat. Reputasi Suyadi bisa hancur menjadi serbuk lalu hanyut terbawa arus sungai Cimeri. Ia mungkin akan diusir dari kampung ini dan dipaksa kembali ke tempat asalnya. Padahal Suyadi sedang mencoba merintis karir. Ia harus punya reputasi bagus agar gampang mendapatkan promosi. Dengan begitu targetnya untuk menjadi Kepala Bagian bisa segera terwujud, meski sekarang ia baru sebatas seorang juru tulis.

Tapi hati kecilnya masih bergetar juga melihat perempuan yang selama ini ia kasihi menggigil kedinginan di telan malam, menanti uluran tangan untuk diraih, menunggu penghuni rumah datang menyambut—mengajak masuk. Suyadi kemudian berpaling dari jendela kamar, ia melangkah menuju pintu depan. Dengan tergesa ia putar kunci yang selalu tergantung di lubangnya itu sebanyak dua kali lalu membuka selot di bagian atas dan bawah pintu.

Ros sudah berdiri di depan teras ketika pintu kayu berwarna biru pucat itu terbuka. Hembusan dingin angin malam menerobos masuk mendahului Ros yang masih mematung, lalu melewati Suyadi yang masih setengah ragu. Ros menarik selendang yang ia kenakan sebagai kerudung dengan tangan kanannya, membawanya menutupi hidung kemudian bersing-bersin. Tiga kali berturut-turut. Suyadi cepat-cepat menarik Ros masuk.

Setelah mendudukkan Ros di kursi rotan beralas bantal apak yang sudah lama tak pernah dijemur atau diganti kain pembungkusnya, ia membuatkan segelas teh tawar hangat untuk dihidangkan kepada tamunya itu. Ia tak repot-repot membuat teh untuk dirinya juga, toh mereka bukan akan berbincang-bincang tentang hal yang bisa dinikmati sambil minum teh.

Ros hanya menunduk saja sejak ia masuk. Kedua tangannya bergerak-gerak memilin-milin ujung kerudungnya. Dan Suyadi malah ikut tak bisa diam melihat Ros bertingkah seperti itu. Ia terus saja memindah-mindahkan posisi pantatnya yang tak juga berhasil menemukan posisi yang enak untuk duduk tanpa merasa seperti ditusuk-tusuk paku.

Suyadi akhirnya menyerah, ia berkata kepada Ros dengan nada tak sabar,
“Ros, sudahlah, Ros! Pulang saja, turuti kata orang tuamu. Menikahlah dengan orang yang mereka pilihkan untukmu. Akang yakin mereka tahu yang terbaik untukmu, Ros.”

Ros memilin-milin ujung kerudungnya dengan semakin cepat, semakin kasar, semakin gusar. Dari mulutnya tak sepenggal kata pun keluar.

“Bukan berarti akang tak mencintaimu, Ros, tapi kau tahu sendiri situasinya seperti apa. Bapakmu tak menyetujui hubungan kita, tak ada gunanya kita melawan.”

Gerakan tangan Ros seketika berhenti. Ia mengangkat wajahnya yang tertunduk sejak tadi, dan mengarahkan pandangannya tepat ke arah Suyadi. Ada sesuatu dalam cara Ros menatap, sepasang matanya seperti sedang meratap. Ketika padangan mereka saling tabrak, dada mereka sama-sama terasa sesak. Wajah Ros kembali tertunduk.

“Akang bahkan belum pernah mencoba. Sudah kuminta berkali-kali untuk menemui Bapak, tapi akang tak pernah bersedia.”

“Mana akang berani, Ros? Akang terlalu malu. Akang belum jadi siapa-siapa di sini. Bapak hanya akan menganggapku sebagai seorang anak ingusan yang tak punya jabatan apa-apa, tak ada harganya.”

“Memangnya si Rukmana itu siapa? Mandor besar? Kepala bagian? Kerja kantoran? Sama sekali bukan. Dia Cuma satpam, kang. Tak ada alasan bagi akang untuk tak percaya diri.”

“Tapi bapak si Rukmana itu kan teman dekat bapakmu sejak dulu, Ros. Mungkin mereka sudah punya kesepakatan untuk saling menjodohkan anak-anaknya.”

Ros mendengus, “aku ini manusia, kang, punya hati punya pikiran, bukan barang yang bisa seenaknya diperjanjikan. Aku juga ingin memilih. Aku ingin menjawab, aku ingin berkata tidak. Tapi bapak tak pernah bertanya apa-apa padaku. Semua keputusan dibuat tanpa melibatkan keinginanku, padahal yang mereka putuskan adalah perkara besar yang menyangkut masa depanku.”

“Cobalah bicara dengan ibumu, Ros.  Mungkin dia bisa membantumu bicara pada bapak.”

“Ibu hanya bisa menyuruhku untuk bersabar. Karena ibu pun telah menghabiskan hidupnya hanya untuk menurut pada orang tua sebelum kemudian mengabdi pada suami. Ia juga tak pernah berkata apa maunya, semua dia lakukan sesuai perintah bapa. Mana berani ibu bicara. Tak ada harapan.”

“Lagipula, untuk apa ibu bicara pada bapak? Toh, setelah itu pun akang tetap tak akan berani untuk datang ke rumah agar bisa kukenalkan pada bapa sebagai calon suami. Percuma saja, kang.

“Padahal aku telah berharap banyak pada akang. Kupikir akang bisa jadi pembelaku. Menuntut hak-hak yang selama ini tak bisa kudapat. Mengucapkan hal-hal yang selama ini tak bisa kukatakan. Menjadi pembebas bagi segala beban yang selama ini kutahan. Menjadi suami yang akan menjadi tempatku bersandar bahu.

“Tapi ternyata tidak. Jatah kesedihanku ternyata masih belum habis. Masih ada kepedihan-kepedihan yang harus kutelan. Akang hanya bisa memberiku janji yang dibayar dengan kekecewaan.”

Suyadi terhenyak di tempat duduknya. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ros memang benar, ia belum memikirkan soal mas kawin. Ia belum berencana jadi pengantin. Bukan sekedar tak punya nyali untuk datang meminta izin, ia memang belum mau jadi suami. Janji-janjinya pada Ros tak lebih dari bualan gombal pemuda ingusan.

Asap putih mengepul dari mulut Suyadi, bau tembakau mengawang-ngawang mengisi keheningan yang kemudian kembali pecah oleh suara Ros.

“Jika saja aku jadi akang, dan akang jadi aku, aku akan menghadap pada bapak, meminta akang jadi istriku, meski dengan bekal seadanya dan mas kawin semampunya. Karena begitulah seharusnya lelaki, bertanggung jawab atas perempuan yang ia kasihi. Kekayaan dan kejayaan bisa dicari. Meski aku datang sebagai lelaki miskin tak punya jabatan, hidupku akan kujadikan jaminan bagi kebahagiaan akang. Semua daging dan tulang yang ada pada tubuhku akan jadi modalku mencari uang, membelikan istriku beras dan perhiasan.”

Yang terlihat dari kilatan mata Ros bukan lagi sebuah kesenduan. Tatapannya nyaris kosong, mengarah entah ke mana. Ucapannya seperti keluar dari sekujur tubuh, bukan dari mulutnya semata.
“Tapi sayang, aku bukan lelaki, aku perempuan yang hanya bisa menunggu pria datang meminang. Aku tak diberi hak untuk mengucap mantra sehebat ijab kabul, aku hanya bisa menunggu disahkan menjadi seorang istri untuk seumur hidup mengurus dapur.”

“Semua akan baik-baik saja jika aku diperistri oleh lelaki yang kucintai. Tapi malang sekali nasibku, jatuh cinta pada seorang pemuda tinggi berisi, berwajah indah berbadan gagah, tapi ternyata sama sekali tak punya nyali.”

Keresahan yang membuat Ros tak bisa tidur nyenyak dan makan enak selama beberapa hari ini kini telah berakhir. Ia telah mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya. Ia ditolak. Harapannya untuk diselamatkan dari pernikahan yang tak ia inginkan harus segera ia lupakan. Sekoci yang hendak ia gunakan untuk melarikan diri ternyata tak mau mengambil muatan, ia memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Cinta pertama Ros kandas malam itu. Lelaki yang ia cintai bukanlah seorang pemberani.  
Lelaki memang bukan tempat yang tepat untuk berharap.

***

Ros menangis sejadi-jadinya. Bukan menangisi sakitnya melahirkan, tetapi  menangisi bayi yang baru saja ia lahirkan. Ketika sang bayi akhirnya keluar dari rahim Ros, ia tak henti-henti berdoa dalam hati agar anak yang ia lahirkan berkelamin laki-laki. Namun kemudian suara dukun beranak menjadi penghancur harapan Ros, “Selamat, Ros. Anakmu perempuan, cantik seperti ibunya,” ucap sang Dukun.

Sejak itu air mata Ros tak henti-henti keluar dari liangnya. Dada Ros terasa teramat berat, penuh sesak dijejali penyesalan dan rasa bersalah. Tak ada lagi ruang untuk bernapas. Ros hanya bisa meraung-raung ketika bayinya dimandikan dan dibungkus kain bersih. Ia tak tahu harus berkata apa pada bayinya. Ros merasa terlalu malu untuk sekedar melihat wajahnya.

Tangisan Ros keluar semakin deras ketika sang Dukun meletakkan si bayi ke dalam pelukannya. Kini ia melihat betapa cantik wajah anak keduanya itu. Tapi itu hanya membuat hati Ros semakin tersayat-sayat. Ini salah mak, nak. Ampun, ampuni mak mu ini. Mungkin mak kurang rajin berdoa, mungkin mak terlalu banyak dosa. Maafkan mak, nak. Maaf.

Ibu Ros telah meninggal dua bulan yang lalu, ketika orang-orang ramai menuduh Ros telah membakar rumah seorang perempuan. Ia tak bisa menemani anaknya melewati proses lahiran. Sebagai gantinya, yang sejak tadi setia menemani ibunya adalah Sakti. Anak pertama Ros itu telah mengambil peran untuk menggantikan neneknya dan bahkan ayahnya sendiri. Rukmana entah pergi ke mana. Ia bahkan tak ada ketika Ros berteriak-teriak minta dipanggilkan dukun beranak saat mulas di perutnya sudah tak tertahankan. Sakti lah yang berlari-lari menuju rumah sang dukun beranak. Sekali lagi ia lah yang menjadi penyelamat bagi ibunya.

Sakti mengusap-usap kepala ibunya yang masih banjir keringat, juga wajahnya yang dicuci air mata. Dengan cara itu ia berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga ibunya mengerti dan percaya.

Ros tahu betul bagaimana rasanya hidup sebagai seorang perempuan. Hidupnya akan dianggap sebagai sebuah pengorbanan yang wajar. Jasa seorang perempuan dianggap sebagai sebuah kewajiban, tak akan ada penghargaan. Ia akan jadi yang pertama dikeluarkan jika tak ada biaya yang tersisa untuk bayar uang sekolah. Karena perempuan tak perlu belajar tinggi-tinggi, yang penting bisa mengurus suami. Tak perlu berilmu luhur karena itu semua tak akan berguna saat perempuan kembali ke dapur. Seolah fitrah perempuan memang hanya untuk menjadi penghuni dapur, tak lebih dari itu. Tak seperti anak-anak lelaki yang akan selalu diperjuangkan mimpi-mimpinya. Cerita-ceritanya akan menjadi pemberi kebanggaan bagi keluarga, disebarluarkan kepada para tetangga. Tentang gelar-gelar yang mereka dapat, tentang tempat mereka bekerja, tentang betapa banyak wanita yang ingin jadi istrinya, sedangkan anak-anak perempuan hanya akan mendengarkan di ruang belakang sambil mengiris bawang.

Hidup sebagai seorang perempuan akan mendatangkan banyak kesusahan. Cukuplah ia sendiri yang menjalani. Ia tak mau anaknya mengalami cobaan yang sama. Karena sebagai seorang perempuan ia tak akan bisa menjadi pembela bagi anak perempuannya. Seorang perempuan hanya bisa menjadi teman menangis bagi perempuan yang lain. Sebagaimana ibu Ros yang selama bertahun-tahun hanya bisa mengajak Ros untuk bersabar. Perempuan-perempuan tak akan punya kemampuan untuk meruntuhkan keangkuhan laki-laki. Mereka hanya bisa saling menguatkan diri. Dan Ros tak mau itu terjadi pada Agni, anak perempuannya.

Bermalam-malam Ros habiskan dengan memandang langit-langit kamar tanpa bisa tertidur. Ia harus memikirkan cara untuk menyelamatkan Agni dari keganasan dunia yang dikuasai laki-laki. Jika selama ini ia tak cukup berani untuk menyelamatkan diri sendiri, maka kali ini ia tak boleh membiarkan dirinya menjadi sepengecut itu. Mau tak mau, ia kini telah menjadi ibu dari seorang anak perempuan. Ia harus mampu menanggung risikonya.

Rukmana semakin jarang pulang setelah ia punya istri kedua. Tapi tak apa, itu membuat Ros leluasa membuat rencana, memperhitungkan waktu yang kira-kira tepat. Lagi pula Ros sudah tak peduli pada suaminya itu. Memikirkan Rukmana hanya membuat beban Ros semakin terasa memusingkan kepala.

Hanya satu kendala yang tersisa bagi Ros. Sakti. Sang penyelamat hidupnya. Satu-satunya lelaki yang ia cintai sepenuh hati. Belahan jiwanya yang pertama datang ke dunia. Yang membuat hidup yang terasa gelap menjadi bermandi cahaya.

Membawa lari seorang bayi sudah sangat merepotkan, mengingat Ros bahkan tak pernah melarikan seorang diri. Akan sangat membebani jika Ros harus membawa serta kedua anaknya. Medan yang akan mereka lewati sama sekali tidak mudah. Bersikap terlalu serakah hanya akan menambah masalah.

Lagi pula, Sakti cukup beruntung dengan terlahir sebagai lelaki. Dunia, meskipun kecut, tapi tak akan memandangnya sebelah mata. Yang penting ia mau bekerja. Berusaha agar bisa jadi orang, punya pangkat, dengan begitu dunia akan tunduk memberi hormat. Sakti hanya perlu menaklukan dirinya sendiri. Tidak seperti Agni, yang pergulatannya akan lebih rumit dari itu.

Maka dengan berat hati, Ros harus rela meninggalkan anak sulungnya sendirian. Di rimba dunia yang penuh jebakan. Ros hanya berharap anaknya akan tumbuh menjadi pejuang yang pintar dan cekatan, serta selalu dalam kasih sayang Tuhan.

Setelah hatinya mantap dan pesan-pesan penting telah tuntas ia sampaikan, Ros mulai menyulam.

***
Sakti memacu kaki-kakinya yang mungil menembus belantara hutan yang telah menyatu dalam hitam malam. Tak terhitung berapa kali ia tersandung, tapi ia tak punya waktu untuk mengaduh. Tak akan sempat jika ia berhenti untuk merawat luka. Jika ia bisa cukup cepat, mungkin ia masih bisa menyusul Ros yang telah lebih dulu lari dua hari yang lalu.

Langkahnya semakin cepat ketika Sakti mendengar suara gesekan lain, selain yang ia buat ketika badannya menembus semak-semak. Ia sadar seseorang sedang mengikutinya. Jantungnya berderap semakin cepat mengimbangi langkahnya yang kian rapat. Sakti kini berlari, melompat-lompat saat menghindari akar pohon yang mencuat keluar dari tanah, sebelah tangannya dikibas-kibaskan di depan badannya, menghalau segala penghalang. Sebelah tangannya yang lain bersiaga di kepala golok.

Lelaki itu bertubuh tinggi kurus, langkahnya begitu besar. Tiga langkah sakti ditelan dalam satu kali kakinya terayun. Jaraknya dengan Sakti semakin lama semakin dekat. Meski sakti terus belari sekuat tenaga, ia sama sekali bukan tandingannya. Menyadari bahwa ia tak mungkin lolos, Sakti berniat untuk melawan. Kepala goloknya sudah tergenggam erat dalam kepalan tangan.

Sakti berhenti, memasang ancang-ancang. Tangannya siap mengayunkan golok sambil memutar badan ke belakang, tapi tangan lelaki itu telah lebih dulu membekap mulut Sakti dari belakang. Tangan kirinya melingkari tubuh Sakti sembari menahan tangan kanan sakti yang telah mengacungkan golok. Lelaki itu terus mengguncang-guncang tangan Sakti yang lemah hingga golok itu terjatuh. Kemudian menyeret badan sakti ke dalam semak-semak.

***
Ros bersandar lemah pada sebuah pohon di pinggir sungai. Mulutnya mengulum sisa kue bayi terakhir yang ia bekal, setelah cukup lembut ia ambil kembali untuk dimasukkan ke dalam mulut Agni. Ia harus segera sampai ke perkampungan terdekat. Bekal yang ia bawa sudah habis tanpa sisa. Ros sendiri bisa menggali umbi-umbian yang ada di hutan untuk ia makan, atau tanaman-tanaman liar, tapi ia tak bisa sembarangan memberikannya pada Agni. Ia takut malah akan meracuni anaknya. Perlarian ini tak boleh sia-sia. Agni harus tetap hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar