Sudah berapa lama kutinggal di
semesta? Oh, aku tak ingat juga. Lalu mengapa aku kini sendiri termenung di
sudut semesta? Apa aku memang sengaja? Mengapa aku bisa mendengar suara? Suara
yang terus menyusup sampai melekat dalam segenap tulang dan jiwa.
Suara yang berkata, oh hidup,
adakah hal luar biasa?
Tiba-tiba bintang berjatuhan
sampai pada pusat utara. Aku tidak tahu dari sudut mana mulanya peristiwa itu,
hanya saja ini peristiwa yang langka. Aku memandanginya dengan seksama. Kilauan
bintang jatuh itu bergantian menyilaukan mataku. Namun aku tetap memandanginya
dengan saksama.
Mengapa ada bintang jatuh di
sudut semesta?
Indah sekali. Apakah keindahan
ini bisa disebut sebagai cinta? Kerlap kerlipnya membuat aku terpesona.
“Bang, bangun, bang. Bangun!” langit semesta seketika
berguncang. Aku seperti tertarik oleh black hole di tengah angkasa.
Planet-planet berlomba menubrukku tapi itu sama sekali tidak terasa
menyakitkan.
“Woy
bang, katanya ada ujian!!!”
Aku
pun membuka mata. Terdiam beberapa detik untuk menyesuaikan situasi. Ini di kamarku. Ruangan bercat biru dan aku
terbaring terlentang di atas kasur. Di sebelahku
kurasakan ada tanda-tanda makhluk hidup.
Aku
melirik sedikit. Oh, itu Anya. Adik perempuanku.
“Dasar
kebluk bang!” dia meringis dan pergi setelah memastikan mataku terbuka
sepenuhnya.
Aku
termenung kembali beberapa detik. Mimpi tadi sungguh nyata. Apa sih yang aku lakukan di sudut semesta?
Aku kembali menatap lurus langit-langit. Aku, kan, hanya manusia biasa. Dan aku
akan bersiap tidur kembali jika Anya tidak kembali datang dan coba mengancurkan
tempat tidurku. Oh-sial.
Aku
berjalan menuju sekolah dengan ogah-ogahan. Tempat ini, jalan menuju sekolah, oh sama sekali tak ada yang
berubah. Sekolah memang tidak terlalu jauh dari rumahku, jadi aku berjalan
saja. Aku tidak mau gaya-gayaan pakai sepeda atau bahkan becak. Aku kan, hanya
manusia biasa.
Aku
melihat sampah tergelak berantakan di pinggir bangunan sekolah, padahal
sebelahnya ada tempat sampah. Memang tempat sampah yang kurang terurus. Ini
juga tempatnya seseorang yang katanya menuntut ilmu, tapi untuk buang sampah
pada tempatnya saja tidak mahir. Oh, aku malas mengurusi ini. Aku melengos saja
tidak perduli seperti orang-orang yang lain saat melewatinya. Perduli lah jika
nanti tersebar wabah penyakit. Aku kan, hanya manusia biasa.
Aku
telat lima menit tapi tetap dipersilakan masuk. Dengan ogah-ogahan aku masuk
kelas. Katanya sih, untuk mengikuti ujian, tapi aku rasa apa yang harus
diujiankan? Ujian mencari jawaban mungkin. Mencari jawaban dengan cara koalisi.
Deuh, buatku itu merepotkan. Kalau gak belajar yah gak akan bisa. Kalau gak
bisa, ya udah. Aku kan cuman
manusia biasa.
“Nomer
lima coy, nomer lima!” dari belakangku terdengar bisik-bisik yang sebenarnya
bukan bisik-bisik. Aku tidak menggubris dan terus membuat pola dalam lembar
jawabanku.
“Woy
nomer lima apaan sih?”
“B”
jawabku asal.
“10
sampai 20?”
“B
semua.”
“Oh
iya, terimakasih.”
“Sama-sama.”
Dodol
gak sih? Ya gitu lah, lebih banyak
manusia percaya pada orang lain daripada pada dirinya sendiri.
Jam
istirahat, aku coba jalan-jalan keliling sekolah. Buat apa? Ya jalan-jalan aja
kali. Gak perlu ada alasan khusus. Aku kan cuman manusia biasa, yang hanya bisa
menjalani kehidupan ini sesuai dengan alurnya.
“Siniin
dompet lo, woy!”
“Gak
ada bang serius gak ada!”
“Ah
bohong!” dan satu orang anak sedang dipalak secara massal oleh tiga orang yang sebenernya
lebih cungkring dari si anak yang dipalak. Mereka bertiga terus menggeledah
saku celana si anak gemuk yang sedang dipalak. Ah, kayaknya dia anak yang
sering dipalak deh di sekolah ini. Kok bisa, ya?
Padahal
menurutku jika si anak gemuk melawan, tenaganya jauh lebih kuat daripada ketiga
anak cungkring tadi. Aku
asalnya hendak pergi dan membiarkan hal itu, aku kan hanya manusia biasa.
“Woy
rese lu!” si anak cungkring berambut jambul mulai menendang kaki si anak gemuk.
“Kenapa gak bawa uang hari ini sih!”
“Ma-maaf
bang serius gak ada bang!”
“Muap
maap weh!” saat ia hendak menendang lagi kepada si gemuk aku injak sebelah kaki
si anak laki-laki berjambul itu. Ia pun
langsung mengaduh dan menatapku dengan sadis.
“Apaan
sih lo!”
“Gak
sengaja asli,” aku menarik si gemuk untuk pergi dari sana namun kerah bajuku
ditarik dari belakang sampai aku hampir ambruk.
“Mau
kemana lo dateng gitu aja pergi gitu aja!”
Aku
membalas tatapan si cowok berjambul itu dengan dingin. Duh, ngapain lagi?
Langsung aku lepas cengkramannya dengan satu hentakan. Kudorong laki-laki itu
sampai ia menubruk kedua temannya. Aku injak lagi kakinya dengan keras dan
menarik si gendut untuk lari.
Ini
sekolah macam apa sih pemalakan aja sampai gak ketahuan sama guru?!
Hosh...
hosh...
“Ma-makasih
bang,”
“Ya,
lain kali kamu lawan aja. Mereka itu lebih cungkring dari kamu. Tubruk kek,
atau tonjok. Tanganmu itu udah kayak kantong beras isi dua kuintal tahu.”
Kami
berdua terdiam, lalu “Hahahaa...” tiba-tiba aku dan dia tertawa kacau. Aduh.
“Nanti
kita laporin guru BK biar mereka gak berulah lagi. Kalau gak punya uang ya
kerja, usaha yang halal bukannya malak.” Entah kenapa aku terus saja
menggerutu.
“Hehehe
makasih bang, abang gak kaya manusia yang lain. Biasanya gak ada yang peduli
kalau aku lagi dipalak. Oke bang, lain kali bakal aku lawan mereka! Mereka kan
hanya manusia biasa!” si bocah gendut itu tersenyum renyah dan lebar. Aku ikut
nyengir sambil menepuk-nepuk bahunya.
Lah,
bukan manusia biasa berarti?
“Memang
menurutmu manusia yang gak biasa itu yang kayak gimana?” celetukku benar-benar iseng.
“Menurutku
ya bang, manusia yang gak biasa itu adalah manusia yang banyak menolong
oranglain. Kayak abang tadi.”
“Tapi
kan yang aku lakukan cuman gitu aja, masa disebut gak biasa?”
“Yah
gak biasa lah bang, banyak orang yang gak biasa melakukannya. Lagipula,
menolong itu tidak harus melihat ukuran besar kecilnya loh bang.”
Tiba-tiba
aku mengingat beberapa manusia yang aku baca, yang kini aku sadari bahwa mereka
manusia yang memang gak biasa. Nabi Muhammad SAW misalnya, beliau berkorban
untuk umat muslim di dunia untuk menebar cahaya kebaikan. Beliau mengajarkan
banyak hal-hal luar biasa. Aku jadi mengingat sebuah hadits,
“Sebaik-baiknya
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya.” [H.R. Ath
Thabrani]
Nah,
ya, benar. Juga banyak sekali tokoh seperti Nelson Mandela, Bunda Theresa,
Mahatma Gandhi, Rachel Corie, Lou Xiaoying
dan masih banyak lagi. Mereka menebar kebaikan seperti cinta dan kasih
kepada umat manusia di dunia. Mereka hanya ingin bermanfaat untuk satu dan
lainnya. Oh, jadi itu yang disebut manusia gak biasa.
Aku
seperti melihat banyak bintang jatuh yang berkelap-kelip di angkasa sana. Benar. Itulah
yang namanya luar biasa, berbuat
baik kepada orang lain. Duh, kok aku baru sadar ya.
“Aku
mau juga jadi manusia gak biasa bang. Menolong orang!” si anak gendut itu
kembali tersenyum hingga pipi gembulnya terlihat seperti membentuk bola.
“Haha,
okeoke.”
Jadi
menurutku sekarang, manusia gak biasa itu bukanlah mereka yang kaya atau
populer. Bukan mereka yang punya kekuasaan atau kekuatan super yang dipakai
malah untuk menghancurkan dunia ini. Tetapi, mereka yang dapat menebar banyak
manfaat kepada umat manusia ini. Mereka yang dapat bermanfaat bagi manusia yang
lainnya. Lah, mau berapa lama aku jadi
manusia yang biasa aja?
Harus
aksi!
*
16-6-2016
Rosi Risalah Prajabnasti