Gloomy Sunday

Gambar : Google

            Karen menyadari pilihannya salah, prediksinya tentang cuaca jelas tak masuk perhitungan sebelumnya. Ia kembali melirik jam tangannya—sudah terlambat lima belas menit—itu saja cukup membuat wajahnya kepanasan di cafe terbuka ini. Payung lebar di atas mejanya jelas tak berarti banyak bagi wajahnya. Di sekelilingnya hanya ada dua meja yang terisi selain mejanya, malah yang di sudut tampaknya sudah selesai. Seorang gadis remaja dengan rok hijau selutut dan baju berbahan katun bersama seorang wanita muda berkacamata mengenakan blus dan celana jeans panjang yang menyelimuti kaki rampingnya secara ketat. Karen membuka sebuah buku panjang tipis sekali lagi, daftar menu makanan dan minuman itu sudah dipegangnya sejak ia tiba.
            Dari tempat parkir motor seorang cowok berlari-lari ke arahnya, ransel hitamnya disampirkan pada sebelah bahunya. Keringat di keningnya menunjukkan bahwa ia telah terburu-buru walaupun akhirnya terlambat juga.
“ Aduh..kak, maaf banget! Bikin kakak kesel nunggu!” Ucap cowok itu mengawali. Raut bersalah tampak di wajahnya.
“ Nggak apa-apa kok, Niel. Santai aja!” Ucap Karen tersenyum simpul, tapi cukup membuat lekukan pipinya tampak.
Aku sudah buat kesalahan fatal sama kakak!”
“Kesalahan fatal gimana, Niel?”, Karen bingung, keningnya berkerut.
 “ Bikin wajah kakak kepanasan! Diusap dulu kak keringetnya, takut jadi item kulitnya!”
“ Ahaha, kamu ini ada-ada aja! Kamu juga tuh!” Ucap Karen dngan menunjuk kening Daniel.
“ Maaf banget ya, Kak! Tadi agak macet, keluar kelas juga agak telat.”
Don’t be mind. Kakak juga yang salah nentuin tempat. Abis dari kemaren-kemaren mendung, eh sekarang malah panas!” Karen mengusap keningnya dengan tisu. “ Mau makan apa, Niel?”
 “Kakak dulu aja!” Ucap Daniel seraya menganggukkan kepala.
“Hmmm…kakak mau chicken katsu sama vanilla youghurt aja deh!”
“Samain aja kak!” Ucap Daniel seraya tersenyum simpul.
“Ihh…kamu ngikutin aja deh, ntar kena undang-undang pembajakan tau!” Sahut karen, senyumnya jenaka.
            Daniel hanya membalasnya dengan senyuman serupa, sesaat mata mereka bertemu sampai akhirnya Karen memanggil seorang pelayan, gadis muda yang mengucir rambut panjangnya, untuk memesan makanan.
“Maaf ya kak jadi ngerepotin kakak, padahal hari ini kakak nggak ada jadwal kuliah tapi ngebelain keluar demi aku.”
“Santai aja kali, Niel!” Ucap Karen seraya memandang Daniel yang sedang menunduk.
“Kakak pasti pusing ya ngedit laporan akhir praktikumku? Mana aku minta cepet-cepet lagi!”
“Laporan kamu udah bagus kok, Niel! Kakak cuma nambah-nambahin dikit aja kok, selebihnya udah oke!”, ucap Karen seraya menunjukkan dua jempolnya. Jempol tangan ya bukan jempol kaki. “Oh ya, kakak juga mau pinjemin buku referensinya nih!”
             “Wah..terima kasih banget ya kak, aku nggak tau nih harus ngomong apa. Kakak udah cantik baik lagi!” Puji Daniel, cukup membuat pipi Karen bersemu merah.
            Seorang pelayan menghampiri meja mereka, kali ini seorang lelaki muda, mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan. Untuk beberapa saat mereka menikmati hidangan masing-masing.
            Setelah bercakap-cakap seputar perkuliahan yang mereka geluti dan setelah menghabiskan hidangan masing-masing, Karen melirik jam tangannya.
“Niel, ini laporan sama bukunya! Nanti kelupaan lagi!” Ucap Karen seraya menyodorkan laporan dan sebuah buku kepada Daniel.
“Makasih banget ya, kak!” Ucap Daniel tersenyum seraya meraih laporan dan buku dari tangan Karen.
“Udah sore kakak harus cepet pulang nih, Niel!” Ucap karen seraya melirik jam tangannya sekali lagi.
“Aku anterin, Kak! Itu juga kalo nggak ada yang cemburu!” Ucap Daniel seraya mengerakkan sebelah alisnya, senyumnya menggoda.
“Ah, kamu ini!” Karen tersipu. “Nanti ngerepotin kamu lagi atau parahnya bikin pacar kamu cemburu!”
            Mereka berdua tertawa renyah dan beranjak dari tempat duduk. Karen kembali memesan makanan dan minuman untuk dibawa pulang.
“Buat siapa kak?” Tanya Daniel seraya mengenakan helm.
“Buat adik di rumah!” Jawab Karen singkat.
            Karen sudah naik di atas motor Daniel. Jalan sore tidak begitu macet, mungkin karena cuaca yang tidak bisa disebut sejuk dan juga ini bukan akhir pekan.
“Emangnya kakak berapa bersaudara?” Sambung Daniel ketika motornya mulai melaju.
“Dua bersaudara, Niel. Kakak punya satu adik.”
“Nggak ada lagi?”
“Nggak ada lagi. Kalo kamu mau daftar juga boleh!” Canda Karen.
“Hmmm...Kalo boleh tau, namanya siapa kak?”
“Nggak ah, nanti naksir lagi!”
“Kalo niat sih sama kakaknya aja!”
“Ihh...kamu nih! Nggak akan dieditin lagi nih laporannya!” Tanggap Karen seraya menjotos punggung Daniel. Tidak keras namun itu membuat Daniel tertawa keras.
“Hahaha, bercanda kok, Kak! Siapa juga yang mau serius!” Komentar Daniel. “Belok mana nih, Kak?”
“Ke kiri, Niel. Nanti ada pertigaan tinggal lurus aja.”
            Di depan sebuah rumah berlantai dua namun tidak bisa dibilang besar, di situlah Daniel menghentikan motornya.
“Masuk dulu, Niel?”
“Nggak usah Kak, udah sore. Lain kali aja!”
            Karen melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya.
“Siapa tuuhhh?” Goda adiknya.
“Cuma adik tingkat, nih!” Ucap Karen seraya menyerahkan bungkusan makanan itu kepada adiknya.
“Asiiikkk, makasih ya! Gitu dong kalo punya pacar, nguntungin!” Seloroh Nathanael.
“Dasar!! Kamu tuh ya!” Ucap Karen seraya mengasongkan jitakannya. Nathanael berkelit dan masuk ke dalam dengan tawanya.
***
            Hujan memang tidak sederas petang tadi, kini yang tersisa hanya berupa tetesan pendek-pendek jarum air yang lebih tepat disebut gerimis. Seorang anak laki-laki yang kedinginan dituntun masuk kedalan rumah oleh seorang pria berumur sekitar empat puluhan.
“Namamu siapa, Nak?” Tanya lelaki itu lembut.
“Nathanael,” jawab si anak murung. Mukanya terus saja tertunduk sedari tadi.
            Terdengar suara riang anak perempuan dari dalam rumah.
“Kak David! mama! Papa udah pulang!” Suara nyaring anak perempuan itu kegirangan dan berlari menghampiri papanya. Namun seketika suaranya berhenti melihat anak lelaki yang berdiri di samping papanya.
“Papa, dia siapa!? Wajahnya berdarah seperti hantu!” Anak perempuan itu menjerit, baru reda ketika mamanya menenangkannya.
***
            Daniel membaca laporannya hasil editan Karen. Tidak heran jika gadis itu tidak banyak mengeditnya, lagipula siapa juga yang benar-benar minta bantuan? Pikirnya. Dia kemudian menaruh laporan itu kedalam laci. Ia membolak-balik buku pinjaman Karen, tak perlu, di lemari belajarnya buku itu ada satu dan buku-buku lainnya yang ia butuhkan.
            Daniel membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sudah sampai sejauh ini, ia tersenyum. Baginya, menemukan sosok Karen merupakan impian yang sepertinya sudah lama sekali ia miliki. Ia menarik selimutnya, bisa tidur dengan pulas.
            Sementara itu pikiran Karen mengawang, kembali ke beberapa bulan yang lalu. Perkenalan pertamanya dengan Daniel yang meng-add beberapa akun jejaring sosialnya. Ah, ia pasti tahu namaku dari daftar mahasiswa.
Salam kenal kak. Aku Daniel adik tingkat kakak, pindahan dari kampus lain. Mohon bimbingannya ya kak J. Begitu tulis pesannya.
            Pesan itu adalah permulaan untuk pertemuan-pertemuan singkat di kampus, untuk bantuan-bantuan kecil dalam tugas, peminjaman diktat, hal-hal sederhana yang membuat Karen tersenyum. Dia manis juga. Buru-buru Karen menepis pikiran itu, apa-apaan aku ini. Memangnya tidak ada yang lebih dewasa dari dia apa? Akan lucu sekali. Tutur logikanya dan ia kembali menekuni laporan praktikum lapangannya.
***
            Bagi Karen hari ini ringan sekali, karena seharian hatinya terus tersenyum. Beban skripsinya yang sudah lebih satu tahun tak sempat jadi pikiran hari ini. Hari ini merupakan titik balik bagi dirinya, titik balik dalam setahun. Yang seharian membuat harinya tersenyum adalah malam nanti ia akan merayakannya bersama Daniel, walau tak bisa disebut perayaan mewah tapi nanti malam pasti akan sangat berkesan. Daniel akan mengajaknya makan malam di rumah yang baru beberapa hari ia tempati dan akan memasak sendiri makanannya. Karen bertanya-tanya dalam hati, bagaimana rasa masakan cowok yang dicintainya itu.
            Karen memandangi bayangan pantulan dirinya dari cermin sekali lagi. Sekali lagi ia tersenyum. baju hijau mudanya anggun sekali membalut tubuhnya, rambut tanggungnya sepanjang pundak lebih dibiarkannya tergerai begitu saja. Kini ia sudah siap dan Daniel telah menunggunya di bawah.
            Daniel melihatnya sambil tersenyum ketika Karen turun menghampiri dirinya. Tatapannya lembut sekali.
“Kita berangkat sekarang?” Tanya Daniel.
“Iya. Aku udah sms mama sama Nathan tapi nggak ada yang bales. Telpon mama juga nggak aktif, palingan juga lowbat, abis mama keseringan gitu sih!” Keluh Karen.
“ Ya udah yuk!”
“Aku bantuin ya, Niel!”, seru Karen dari ruang makan. Letaknya tepat di balik dapur hanya saja dihalangi sebuah dinding.
“Jangan! Aku nggak mau diintervensi, kalo dibantuin kamu malah jadi nggak enak lagi. Pokoknya kamu harus bener-bener makan masakan aku, oke!” Sahut Daniel dari balik dinding.”Pokoknya kamu duduk aja yang manis ya!”
“Uhh...enak aja. Gini-gini aku juga bisa masak kali!”
“Masak apa coba?” Cibir Daniel.
“Masak Air, Hihihi!”
“Dasar! Kasian tante, pasti cape deh nggak ada yang bantuin masak!” Ejek Daniel. Ia mengambil beberapa piring.
“Gini-gini aku anak berbakti!”
            Daniel keluar dari dapur menuju ruang makan yang hanya dipisahkan oleh dinding itu.
“Wahh,....asiiikkk. Masakannya udah jadi nih!” Seru Karen. “Hummmpp, dari baunya sih enak nih!”
“Nggak bau ketek kan?”
Karen merengut, “Nggak lah, kamu ngerusak selera makan banget sih!”
“Cobain donk rasanya juga enak!” Ucap Daniel bangga.
            Daniel mengambil piring untuk melayani Karen tapi karen segera menyambarnya.
“Kali ini giliran aku!” Ucap Karen. Daniel tersenyum, dipandanginya lekat-lekat gadis itu. Karen salah tingkah.
“Ngapain liat-liat!” Ucap Karen matanya melotot namun pipinya memerah.
“Cantik!”
“Udah tau!”
            Mereka berdua kini makan dengan lahap.
Enak juga masakan kamu, Niel. Belajar dari mana?”
Selingkuhan!”
“Ihh..nyebelin deh!” bibir Karen mengerucut. Ia mengarahkan garpu ke arah mata Daniel. “Coba aja kalo berani!”
“Ren?”
“Hemmm...”, tanggap Karen seraya mengunyah kunyahan terakhirnya.
“Udah lama banget aku menunggu momen ini!” Ucap Daniel seraya menyentuh tangan Karen. Si empunya tangan tersipu, jantungnya berdegup. Ditatapnya cowok dihadapannya dengan lembut.
“Oh ya? Kenapa, Niel?”
“Akhirnya bertemu sosok Ludmila!”
Tenggorokan Karen serasa tercekat, “Na...”.
Sebuah kata terlambat meluncur dari mulutnya saat sabuah tangan mendekap erat hidungnya, sampai semua terlihat samar dan hanya tinggal kekosongan.
***
            Karen Isyvandra Ludmila adalah nama kecilnyabisa juga disebut nama bayinyasebelum ia berganti nama dan tercatat dalam akta kelahirannya menjadi Karen Isyvandra Ursula. Tidak ada yang tahu bahwa Ludmila pernah menjadi namanya, kecuali hanya keluarga intinya saja.
            Adik laki-lakinya, Nathanael, senang sekali memanggilnya Ludmila sampai Karen berusia delapan tahun, setelah itu tidak ada lagi orang yang memanggilnya dengan nama itu.
            Pandangan Karen mulai terbentuk, samar-samar matanya dapat menangkap sebuah bayangan, kesadarannya mulai pulih. Yang pertama kali ia sadari adalah bahwa tangan dan kakinya terikat pada sebuah kursi, ia ingin menjerit namun semakin ia berusaha untuk mengeluarkan suara kain linen yang menyumpal mulutnya membuat usaha berbahaya menuju tenggorokannya yang membuat nafasnya bisa tertahan kapan saja.
            Ia melihat sosok yang berdiri di depannya, cowok itu tersenyum pedih. Mata Karen membelalak, ia masih terlalu syok untuk mencerna apa yang terjadi. Secara tiba-tiba tangannya menarik kain linen dari mulut karen secara kasar. Udara langsung memburu paru-parunya.
“Nathan..ku kira kau sudah..?” Ucap Karen tak selesai karena kain linen itu menjejali lagi mulutnya. Perasaannya tak jelas, tak bisa digambarkan. Bahwa ia terkejut luar biasa itu benar, tapi sebuah perasaan tiba-tiba menyeruak, sebuah perasaan bahagia, perasaan senang yang tertahan kejadian ganjil ini. Sementara hatinya sibuk bertanya-tanya.
“Sudah apa? Mati?” Raung Daniel, matanya nanar. “Dimana kalian ketika aku hampir mengalami itu?!”
Air mata sontak membanjiri pipi Karen, ia menggeleng-gelengkan kepala. Ditatapnya lekat-lekat cowok itu seolah tidak percaya.
“Kakak dan mama hanya sekumpulan pengkhianat, pendusta! Kalian tidak pernah menjemputku, tidak pernah!
“Aku bahkan seolah tak pernah tercatat dalam kehidupan kalian! Dimana kalian ketika wanita iblis itu mengusirku setelah kematian papa? Ketika mukaku hancur dipukuli preman yang merampas semua uangku? Ketika aku hampir mati kedinginan? Dimana kalian?!”, Daniel meraung-raung, mencakari mukanya sendiri. Segaris darah terbentuk di pipinya.
            Muka Karen menjadi sangat merah karena menahan jeritan. Semakin ia berusaha membuka mulut semakin kain linen yang menyumpalnya memaksa masuk.
“Asal kalian tahu! Aku tidak suka namaku dipakai!” Bentak Daniel.
Ia berjalan ke dinding sebelah kiri membuka pintu kamar di dekatnya.
            Karen membelalak, ia menahan napasnya menelan liurnya sendiri. Pemandangan di dalam sana benar-benar membuatnya terhenyak.
            Nathanael tergantung terbalik. Kakinya diikat di atas atap dengan seutas tambang secara kencang, kepalanya dibiarkan terjuntai beberapa jengkal dari lantai, mulutnya disumpal kain linen. Seutas tambang menjerat lehernya. Matanya menatap tak berdaya ke arah Karen. Rahangnya mengeras menahan jeritan.
            Karen tertunduk lemas, keringat dingin mengucur dari keningnya. Daniel menepuk-nepukkan tangannya seolah sedang membersihkan terigu dari telapaknya. Ia melongok ke dalam, menatap wanita paruh baya yang terikat seperti Karen.
“Mama, ini reuni keluarga!” Tawanya berderai.
***
            Seorang anak perempuan berusia sembilan tahun mengusap air yang keluar dari matanya dengan punggung tangannya. Didekapnya tas sekolahnya yang sudah berisi penuh pakaian dan barang-barang.
“Mama, kita mau kemana?” isaknya.
“Kita pergi, sayang! Kamu tenang aja ya!” Ucap mamanya seraya mencium pipinya. Pandangan wanita itu beralih pada anak lelakinya yang berwajah pucat.
“Ma..!” Ucapnya lemah.
“Nathan sayang, sabar ya nak! Kamu di sini dulu, nanti mama jemput. Kalo mama bawa kamu sekarang, nanti kamu nggak bisa operasi jantung di Singapur. Mama nggak mau terus liat kamu sakit!” Ucap wanita tersebut. Bulir hangat membasahi pipinya ketika ia mengecup kening putranya.
“Jadi mama mau tinggalin Nathan?” Ada nada kepedihan di sana.
“Nggak lama sayang! Mama janji bakal jemput kamu.” Ucap mamanya sambil mengelus kening Nathanael. ”Ayo, Karen! Sebelum papa dateng!”
“Kak Ludmila jangan tinggalin aku!” Seru anak lelaki itu.
            Karen menatapnya untuk yang terakhir kalinya saat mamanya menuntunnya keluar.
***
            Nathanael terbangun sendirian di kamar rumah sakit ketika dini hari. Papanya tidak ada disana, ia pasti bersama wanita itu, pikirnya. Andai mama dan kakaknya ada di sini, andai mereka tahu betapa sepinya ia setelah dua hari berada di rumah sakit di Singapura ini, papanya tidak pernah benar-benar ada untuknya. Kenapa mama tega meninggalkan aku seperti ini?
            Pagi harinya seorang wanita yang ia kenal selalu bersama papanya selama ia berada di rumah sakit datang dan membawanya keluar. Ia bertanya kenapa, jawabannya singkat namun menyambar. Papanya meninggal over dosis. Nathanael tertegun, terlalu syok hingga tak mampu menangis. Wanita itu meninggalkannya begitu saja beserta sejumlah uang yang dikiranya cukup untuk bertahan hidup satu minggu. Hingga sekumpulan pemuda mabuk merampas semua uangnya dan perlawanannya hanya membawa wajahnya pada luka serius.
            Seorang pria Indonesia yang nyaris tampak seperti malaikat menemukannya menggigil dengan muka berdarah.
***
“Jangan panggil aku Nathanael lagi, Pa! Aku mau berganti nama, apapun sesuka papa!” Ucap seorang anak lelaki pada lelaki paruh baya di sampingnya. Anak itu melihat pantulan wajahnya dari kaca di seberang dinding. Setelah berbulan-bulan lukanya telah sembuh benar, walaupun operasinya memberikan wajah yang tampak berbeda padanya.
“Hmmm, kenapa nak?” tanya lelaki itu. Keningnya berkerut.
“Karena aku ingin hidup secara baru. Aku juga ingin punya nama baru!”
“Hmmm, baiklah. Sebenarnya sebelum kak David lahir mama pernah mengalami keguguran. Bayinya laki-laki dan papa sudah menyiapkan namanya, kalau kau mau kau bisa menggunakannya,” ucap lelaki itu bijak.
“Siapa namanya, Pa?”
“Daniel Alexander.”
“Baiklah, Pa. Sekarang aku adalah Daniel Alexander. Aku anak papa, aku bagian dari keluarga ini kan pa?” Ucap Nathanael, matanya berbinar.
            Lelaki paruh baya itu mengangguk.
Delapan tahun kemudian, keluarga itu kembali ke Indonesia.
***
            Daniel mencabut sebilah pisau dan ditariknya mamanya keluar dari kamar. Sedangkan Nathanael terlihat sudah tak sadarkan diri.
            Ditempelkannya pisau mengkilat tersebut ke pipi wanita itu, matanya membelalak ngeri.
“Aku cuma mau ngulang sejarah, Ma! Mama punya pilihan seperti bertahun-tahun lalu. Mama harus memilih malam ini juga!” Ucapnya berbisik di telinga mamanya.
            Dibukanya tali yang mengikat wanita itu dan dibuka sumpalan dari mulutnya sehingga wanita itu bisa bergerak bebas. Daniel melempar pisau mengkilat itu ke lantai.
“Ketika aku liat ada tanda-tanda mama melenceng dari perintah aku, aku nggak bakal segan-segan...”, ancam Daniel seraya menarik tali yang menjerat leher Nathanael. “Saatnya mama memilih!” Ucapnya menyeringai. “Ambil pisau itu cepat!”
***
            Hidup wanita itu rasanya sudah tak utuh lagi, kehilangan yang entah dimana. Anak lelakinya tak sempat—tak pernah sempat—ia jemput karena tak pernah kembali lagi, jejaknya seperti tertiup angin. Kini ia harus mulai menelan kenyataan bahwa mungkin saja benar bahwa anak lelakinya juga meninggal, walau juga entah mengapa.
            Kedukaan terus menggenanginya sampai terpantul pada diri anak perempuannya yang menjadi kurus. Hingga suatu hari seorang pria baik hati datang menawarkan diri untuk melindungi. Awalnya ia menolak, trauma akan masa lalunya. Namun ia mencoba realistis, mereka tidak bisa hidup terus-menerus seperti ini, setidaknya bagi anak perempuannya.
            Satu tahun kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamai Nathanael, cermin cintanya pada seorang putera yang pernah hilang.
***
            Karen menggeram, menggerak-gerakan tubuhnya. Memberi tanda pada mamanya untuk melepaskan ikatannya.
            “Mama berbalik padanya, sebuah kesalahan fatal!” Ancam Daniel. Tangan kirinya menarik tali yang menjerat leher Nathanael.
            Karen membelalak ngeri, tambang itu makin kencang menjerat leher adiknya.
            “Mama sayang Nathan, Nak!” Ucap mamanya parau pada Daniel.
            “Kalian melupakan aku!” Suaranya bergetar. “Sekarang hanya ada dua pilihan, aku atau dia?” Tatapannya ke arah Nathanael.
            “Kalian berdua putera mama!” Jerit mamanya.
            “Tanpa dia kita bisa seperti dulu!” Tawa Daniel. Tawanya lepas mengerikan.
            Mamanya menggeleng. Karen mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan keras. Mamanya berbalik, tak punya cara lain. Ia lempar pisau mengilat itu ke lantai tak sanggup memegangnya lama-lama. Berlari menghampiri Karen dan melepaskan ikatannya.
            Setelah ikatan pada tangannya terlepas, Karen menarik kain yang menyumpal mulutnya dan mengurai ikatan pada kakinya. Mulutnya terisak setengah menjerit, “Tolong lepaskan adikku! Dia tidak bersalah!”
            Daniel menatapnya marah dan pedih, ia mengambil pisau yang ditinggalkan mamanya dan melangkah menuju Nathanael. Karen kalap, ia merasa Daniel akan membunuh Nathanael. Gadis itu segera saja menyerbu.
            “Lepaskan, kumohon!” Karen menarik tambang yang mengikat leher adiknya dari tangan Daniel.
            Daniel menggenggam tambang itu lebih erat dan menariknya lebih kencang.
            “Nathanael!” Mamanya melolong ketika melihat tambang itu semakin mencekik leher anak bungsunya.
            Karen menatap Daniel marah, mukanya memerah dan berteriak kencang, “Lepaskan! Aku tidak akan memohon lagi, lepaskan!”
            “Untuk apa kau muncul jika hanya ingin membunuh!” Karen kehilangan kendali dirinya, dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh Daniel namun pertahanan cowok itu begitu kuat hingga tidak membuatnya terjengkang.
            Daniel menggigit bibirnya, air mata perlahan menganak sungai di pipinya. Dengan satu gerakan yang cepat, dada hingga muka Nathanael penuh bercak darah.
            Mata Karen membelalak, bayangan kilau pisau itu menghujam nyeri pandangannya. Tangan Daniel telah lepas dari jerat leher Nathanael.
***
            Tetes-tetes air hujan menghujam tanah rasanya seperti jarum-jarum yang menusuk jiwanya. Karen yang pucat terduduk lemah di kursinya. Ia menyadarkan kepalanya pada tepi ranjang rumah sakit.
            Sebuah tangan mengusap kepalanya, Karen bangkit menggapai tangan itu dan tersenyum. “Kepalamu masih pusing?”
            “Sedikit,” Nathanael menjawab dan membalas senyumnya. “Jadi dia kakakku juga ya?” ia bertanya dengan getir.
            Karen mengangguk.
            Nathanael andai kautahu, betapa kau sangat dicintai dan dirindukan, desahnya.
            Ini adalah minggu pagi paling kelam dalam hidupnya.


Biasanya yang gagal menyeramkan akan berkahir lucu

Oleh: Aya Sofi Rumaisha

3 komentar:

  1. Hihi itu kalimat terakhirnya (seharusnya) gak termasuk ke cerita ya :D

    Itu cuma omelan pribadi yang tidak sengaja terposting :D

    BalasHapus
  2. Pengen dong dikerjain skripsinya *eh laporan aja nih

    BalasHapus