TENTANG MARNI


Marni melipat rapi setelan mukena putih yang telah selesai ia kenakan, lalu ia simpan di atas lemari plastik yang terletak di sudut kamar kontrakannya. Ia tak punya banyak waktu. Setelah menunaikan dua rakaat yang menjadi kewajibannya setiap pagi, ia bergegas mengerjakan serangkaian kewajiban-kewajiban lain yang telah mengantri.
Dimulai dengan mencuci pakaian dan piring-piring bekas makan kemarin. Kemudian Marni membereskan kamar sambil menyapu kotoran-kotoran yang jatuh dari langit-langit kamarnya yang sudah bobrok itu. Terkadang ia melakukannya sambil mendengarkan lagu-lagu dangdut yang diputar lewat hape china milik Marni yang cicilannya masih tersisa dua kali lagi.
Jika semua pekerjaan kontrakan telah beres Marni akan berganti pakaian, menanggalkan daster lusuhnya lalu mengenakan kemeja putih dengan paduan celana kain warna hitam. Kombinasi itulah yang selalu ia pakai setiap hari, lima hari dalam seminggu, sudah begitu sejak lima tahun yang lalu.
Marni memegang hape china kreditannya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memutar kunci kamar kontrakan lalu menarik gagang pintunya untuk memastikan bahwa pintu telah terkunci dengan benar. Jempolnya mengetuk-ngetuk deretan huruf-huruf yang muncul di layar. Sebuah senyuman terpasang di wajahnya yang terkena sinar matahari pertama. Ia mengirimkan sebuah pesan singkat kepada suaminya tercinta yang saat ini sedang bekerja di Kalimantan. Pesan singkat kedua ia kirimkan kepada adiknya di Kampung, ia menitipkan doa untuk anaknya yang sudah sejak tiga tahun yang lalu dirawat oleh ibu Marni di Kampung.
Marni baru berjalan sepuluh langkah ketika tiba-tiba ia berbalik arah. Dengan tergesa-gesa Marni membuka kembali pintu yang tadi ia kunci, sandal plastiknya jatuh dengan setengah terlempar ketika ia terburu-buru masuk ke dalam kamar. Marni mengambil selembar uang lima ribuan dari dalam dompetnya lalu meraih sebuah toples bening yang tersimpan di samping mukena putih di atas lemari plastik. Pada tutup toples itu ditempelkan sebuah kertas bertuliskan “Buat beli sepeda Asep”. Ke dalam toples itu lah uang lima ribuan Marni berpindah tempat, bergabung bersama lembar-lembar lusuh lima ribuan yang lain, meninggalkan hanya selembar sepuluh ribuan dan enam lembar dua ribuan lainnya dalam dompet Marni.
Kedua kaki Marni kini bergabung bersama puluhan pasang kaki-kaki lain yang berjalan ke arah yang sama. Meninggalkan kamar-kamar kontrakan mungil mereka dan berbondong-bondong berarak menuju bangunan-bangunan raksasa tempat ribuan orang bekerja bersama-sama. Menukar tetes demi tetes keringat yang diperas dari tiap lubang pori-pori mereka dengan peser demi peser uang yang diterima setiap satu bulan satu kali. Termasuk Marni.
Bersama teman baiknya, Ratna, Marni mengobrol tentang ini itu sambil mengenakan penutup kepala dan celemek untuk menutupi seragam putihnya agar tak terlalu cepat kotor terkena debu-debu pabrik. Mereka duduk di kursinya masing-masing, menghadap mesin jahit dan setumpuk tas-tas setengah jadi yang telah menjadi teman akrab mereka setiap hari. Ada aroma khas yang samar-samar mengisi ruangan ini. Aroma yang dihasilkan dari ribuan tetes keringat yang menguap tapi tak pernah benar-benar pergi, menggantung di langit-langit.
Ratna adalah seorang janda dengan dua orang anak. Satu laki-laki, satu perempuan. Mereka berumur delapan dan empat tahun. Ratna menggugat cerai suaminya yang ketahuan punya istri kedua. Sebenarnya Ratna bukan penentang poligami tapi Ratna tak suka dibohongi. Dipermainkan dan ditipu dari belakang, Ratna merasa seperti pecundang jika ia hanya tinggal diam. Maka ia memutuskan untuk mengusir suaminya pergi dan mengambil alih peran ayah bagi kedua anaknya.
Ratna kini menjadi perempuan setengah lelaki. Ibu yang juga menjadi ayah. Tugasnya bertambah bukan hanya menanak nasi, memasak lauk, mencuci piring dan menyetrika baju, tapi juga bekerja banting tulang mencari uang. Untuk membeli beras untuk ditanak, membeli lauk pauk untuk diolah, membeli perabot dapur dan juga membeli baju.
Ratna bukan tak mau menikah lagi, tapi belum ada laki-laki yang berhasil membuatnya yakin. Bagi orang yang pernah dikhianati wajar saja jika Ratna kini lebih berhati-hati. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan untuk kembali menyerahkan diri pada seorang lelaki. Jika diibaratkan laki-laki adalah seorang supir yang menjadi penentu arah rumah tangga maka laki-laki jaman sekarang kebanyakan membawa mobil sambil mabuk dan ugal-ugalan. Tak ada yang beres, mereka melakukannya seenak udal. Maka tak heran jika Ratna memilih untuk berjalan sendiri tanpa harus menggantungkan nasib kepada siapa-siapa.
Begitu bel meraung di seluruh ruangan Marni dan Ratna menghilang. Mereka berubah menjadi gawai yang telah diprogram untuk menjahit bagian-bagian tas setengah jadi itu agar menjadi utuh. Persis mesin yang telah ditekan tombol on-nya, ia tak akan berhenti bekerja hingga tombol off-nya ditekan pula. Dan itu semua tentu bergantung pada sang pemilik mesin. Begitu pula Marni dan ribuan pekerja lain yang menjadi penjahit di pabrik ini. Juga ribuan pekerja-pekerja lain yang bekerja di pabrik-pabrik lain, membuat barang-barang lain. Nasib mereka sama. Sebelum bel tanda istirahat atau pulang dibunyikan, mereka tak boleh berhenti. Lelah hanya boleh ditahan, dan mengeluh pun percuma karena memang beginilah kenyataannya. Paling-paling pulang kerja minum jamu atau pilkita.
Kadang Marni berkhayal ketika ia sedang mengganti benang atau ketika ia pipis di kamar mandi yang digunakan semua penduduk pabrik. Seandainya ia bisa jadi presiden atau lebih bagus lagi anggota DPR. Kerjanya enak, cuma rapat-rapat saja. Itu pun boleh sambil mengobrol, main hape atau bahkan tidur. Bahkan katanya banyak juga yang sering bolos, tanpa perlu takut disemprot bos karena mereka tak punya bos, bekerja ya sekenanya saja. Sedangkan gajinya tak usah ditanya. Mungkin bisa puluhan kali dari gaji yang diterima Marni setiap bulan. Bukan itu saja, mereka juga bisa dapat banyak uang tambahan dari sana dan dari sini, tinggal modal ngobrol di hotel dan tanda tangan. Enak sekali. Marni sering tertawa sendiri hanya dengan memikirkannya saja.
Beda sekali dengan kenyataan yang harus dijalani Marni sehari-hari. Sakit lebih dari tiga hari langsung dipanggil atasan. Jika ketahuan sakitnya berat langsung disuruh mengundurkan diri. Sudah banyak teman-teman Marni yang dikeluarkan. Pabrik tak butuh karyawan yang penyakitan katanya. Sudah tak bisa dipakai lagi, mungkin begitu bahasa gampangnya.
Di sini, buruh tidak dianggap sebagai manusia melainkan barang yang bisa dibeli dengan uang. Ya, dibeli waktu dan tenaganya. Dengan begitu, dari jam delapan sampai jam empat Marni dan karyawan lainnya seolah telah menjadi properti Pabrik. Harus tunduk pada semua kemauan Pabrik meski seringkali tak sesuai aturan dan merugikan karyawan. Jika ibu-ibu tukang jahit ini ada yang berani protes, dengan angkuh pihak Pabrik akan berkata bahwa di luar sana masih banyak yang mengantri sambil pegang map berisi surat lamaran. Bukan Pabrik yang butuh Marni, Marni lah yang butuh uang dari Pabrik. Pabrik akan mudah mencari pengganti Marni, tapi Marni harus bersaing dengan ribuan pengangguran lain jika ingin bekerja lagi.
Makanya Marni tak pernah macam-macam, ia bersyukur saja dengan upah yang ia terima. Yang penting bisa beli beras, bayar kontrakan dan bisa kirim uang untuk anaknya di kampung. Jika di akhir bulan harus pinjam uang untuk menutupi kekurangan, ya anggap saja itu cobaan, asal jangan sampai jadi kebiasaan.
Pada sisa-sisa jam istirahat setelah para pekerja makan siang dan melaksanakan shalat, mereka akan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Membicarakan macam-macam, dari hal-hal remeh tentang lipstik diskon yang bisa dicicil tiga bulan, sampai gosip penting soal kehidupan pribadi Leader line sebelah atau Kepala Produksi yang sedang mencari incaran anak baru.
Sebagian lagi asyik membuka lembar-lembar berbagai katalog produk MLM. Mulai dari make up, pakaian, sampai sepatu. Ada juga yang memilih-milih sandal lucu buatan home industry, antara sandal bentuk kodok atau buaya, mereka terlihat bingung sekali. Yang menawarkan berbagai macam kue kering dan camilan juga ada. Bahkan yang menawarkan pinjaman uang berbunga juga ada. Atau yang sibuk mengumpulkan uang arisan. Yang jelas, ibu-ibu di sini aktif sekali bertransaksi. Jika tak jadi penjual ya jadi pembeli.
Bisa dibilang bahwa di pabrik ini mereka tak sekedar jadi penjahit, tapi juga pedagang. Maklum, kalau sekedar mengandalkan gaji dari pabrik mana bisa buat menabung. Sedangkan uang pendidikan anak makin lama makin mahal, begitu juga harga tanah dan rumah. Ibu-ibu ini tahu betul mereka harus ngebut mencari rejeki supaya tidak terlindas arus inflasi. Bukan karena mereka tak percaya bahwa Tuhan itu penjamin rejeki, tapi mereka sadar diri. Bukan nabi, tapi berharap dapat rejeki gratis, ngimpi!
“Pesen bedaknya satu ya, teh.”
“Siap. Sekalian sama soplensnya, atuh. Nih lagi diskon empat puluh persen. Biar gaya kalau pas kondangan. Kan si Nia Line G minggu depan mau nikah. Ulah eleh ku panganten, ieuh!
“Ah, si teteh mah bisa aja. Bisa tiga kali bayar kan, teh?”
“Bisa lah buat neng mah. Sok mau warna apa? Biru? Atau ungu?”
Ieu we, teh, nu totol-totol.
Satu transaksi lagi baru saja terjadi.
Marni menghampiri seorang perempuan yang sepertinya lebih tua darinya karena Marni memanggilnya dengan sebutan teteh.
“Teh, bisa isiin dulu pulsa gak?”
“Tapi bayar langsung, nya! Teu meunang nganjuk ah.”
“Ih, si teteh meni kitu. Teu nanaon atuh teh, yang sepuluh ribu ajah. Nanti dua hari lagi kan gajian, pasti langsung dibayar.”
“Ah, yang minggu kemarin juga belum dibayar. Udah kebanyakan utangnya kamu mah, Marni.”
“Atuh, teh, tolongin Marni. Si Asep katanya rengking satu di sekolah, Marni mau telepon, mau kasih dia selamat.”
“Gak bisa Marni! Kamu udah kebanyakan utangnya, atuh nanti saya gak ada buat isi lagi saldo, abis dihutangin sama kamu.”
Hati Marni langsung menciut dicubit kekecewaan. Padahal tadinya ia berharap bisa ngobrol dengan anaknya nanti malam sepulang kerja. Ia ingin meluapkan kebanggannya pada Asep. Tak puas rasanya jika hanya memberi selamat lewat pesan singkat. Kerinduannya sudah terlalu berat, ia ingin mendengar suara Asep. Tapi apa boleh buat, ia harus kuat menahan sampai hari gajian tiba agar ia bisa punya uang untuk mengisi ulang pulsa.

Marni merasa malas melepas mukenanya setelah ia selesai shalat isya. Badannya terasa lemas. Bukan karena capek, ia sudah biasa kerja berat. Hanya saja malam ini ia benar-benar merasa kesepian. Ia berbaring di atas sajadah tipisnya.
Hape Marni berdering memecah kesunyian, bergetar-getar di atas kasur. Ada sebuah sms masuk. Marni meraih hapenya nyaris tanpa gairah. Ia mengetuk-ngetuk tombol di layar hape, membuka pesan singkat yang baru ia terima.
Begitu ia membaca isi pesan singkat itu, Marni langsung bangkit dari sajadahnya. Hatinya kembali mekar. Pulsanya telah terisi, dua puluh ribu.
Teh Ina, nuhun teh, batinnya. Marni begitu terharu, Teh Ina memberinya pinjaman pulsa.
Marni langsung membuka daftar kontak, memasukkan nama anaknya, lalu menekan ikon panggil. Hatinya berdebar-debar ketika nada sambung terdengar di telinganya. Ia duduk tegak bersandar pada tembok, senyumnya mengembang bahkan sebelum ia mendengar apa-apa dari balik sana.
“Halo, assalamualaikum.” Sebuah suara kecil menyentuh telinga Marni.
“Waalaikum salam. Asep, sehat?”

“Alhamdulillah mah. Mamah sehat?”
“Alhamdulillah.”
“Mamah kapan pulang?”
“Nanti atuh lebaran, kasep, kan udah biasa. Asep katanya kemarin dapet rengking satu di sekolah?”
“Iya, Mah, alhamdulillah.”
“Pinter, anak mamah. Asep mau hadiah apa? Mau sepedah tea?”
“Asep mah gak mau apa-apa, cuma pengen cepet-cepet lebaran aja, biar mamah cepet pulang.”
Marni tersenyum kecut, matanya kemudian bocor. Dia tak bisa berkata apa-apa. Sulit sekali bicara sambil menahan tangis. Terjadi jeda yang begitu menyia-nyiakan pulsa, jika dibiarkan Teh Ina pasti kecewa. Untungnya tak berapa lama Asep kembali bersuara.
“Mah, Asep sudah hafal surat al-ikhlas loh.”
“Mmh”, hanya itu yang terdengar dari mulutnya, Marni masih baper. “Coba, mamah pengen denger.”
Marni berbaring dengan masih bermukena. Ia hadapkan wajahnya ke arah kanan, bersiap untuk terlelap dengan bacaan surat al-ikhlas yang dibacakan Asep sebagai pengantar tidur.
Marni bermimpi indah malam itu.

3 komentar: