Halo! Fesadey 2017 akan segera digelar nih, teman-teman. Seperti yang sudah diinformasikan sebelumnya, salah satu lomba yang bisa kalian ikuti adalah lomba baca puisi. Nah, berikut ini adalah puisi-puisi yang bisa kalian pilih untuk dibacakan pada saar lomba nanti. Selamat memilih!
Sajak
Burung-Burung Kondor
(Rendra)
Angin gunung turun merembes ke hutan,
lalu bertiup di atas permukaan kali
yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-daun
tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani,
buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi
penduduknya.
Para tani, buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan
makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik
cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut perataan
pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan letak
dasi,
dan menjawab dengan mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan
lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan
sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting
ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi burung
kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar
batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap
menembaknya.
KAU, LAUT,
DAN KATA
(Moh Wan
Anwar)
di geladak
sudah tercium kata-kata
anyir seperti
bangkai, di antara bayang-bayang
kausebut
hidup adalah perjudian dan entah siapa
entah di mana
seseorang mengangguk
untuk yang
tak terbaca
kau
mengarungi lautan, dengan riang
menjemput
yang akan datang. Kaukutuk masa silam
sambil
merapikan rambut dan kenangan
kapal melaju,
sunyi merambat jauh
ke
palung-palung di batinmu
di dasar laut
takdir bisa saja semacam gurita
ke mana kau
berlayar, ia akan mengantar
setia bersama
waktu yang tak letih berkibar
di angkasa
burung-burung terbakar
dibidik terik
dan gerimis. Di lengkung langit
cakrawala
menuju waktu, mengepungmu
sampai senja
berakhir, sampai luka tak lagi ngalir
tetapi apakah
artinya senja? Tak lain adalah waktu
berkesiur di
tengah bakau dan buih ombak
hingga
memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
menantimu
ketika telah lenyap segala kata
dan aku --
tahukah kamu? -- akulah gurita itu
senja dan
waktu yang kausebut sebagai kepulangan
Merak, 2001
BENTANGAN SUNYI
(Ahmad Syubbanuddin Alwy)
Inilah jarak kita; bentangan sunyi
debur ombak, gugusan kabut dan keluasan langit
semua bergelombang menyalakan api pada tungku
keimananku. Di sini, di mihrab masjid yang terbuka
ke muaramu, ribuan gerimis mendekapku dalam irama tangis
tetap setiap cahaya datang, kembali membakar doa-doa
dan sujud khusyukku kepadamu. Seperti baris rumpun ilalang
dari belantara hatiku, segera tumbuh menjulang
menutup ungkapan-ungkapan cinta yang membatu
mungkin tinggal wangi sajadah dan simponi airmata
menggenang dalam keremangan malam. Demikian pedih
menerima serpihan-serpihan ayat keabadian
kitab-kitab dari gulungan semesta, mengepung sukmaku
dalam deraian bahasa hujan yang melelahkan
melepas hari-hariku ke segala penjuru pertobatan
debur ombak, gugusan kabut dan keluasan langit
semua bergelombang menyalakan api pada tungku
keimananku. Di sini, di mihrab masjid yang terbuka
ke muaramu, ribuan gerimis mendekapku dalam irama tangis
tetap setiap cahaya datang, kembali membakar doa-doa
dan sujud khusyukku kepadamu. Seperti baris rumpun ilalang
dari belantara hatiku, segera tumbuh menjulang
menutup ungkapan-ungkapan cinta yang membatu
mungkin tinggal wangi sajadah dan simponi airmata
menggenang dalam keremangan malam. Demikian pedih
menerima serpihan-serpihan ayat keabadian
kitab-kitab dari gulungan semesta, mengepung sukmaku
dalam deraian bahasa hujan yang melelahkan
melepas hari-hariku ke segala penjuru pertobatan
Inilah jarak kita: bentangan sunyi —-
suara gema, goresan luka, dan kecemasan waktu
berguguran menuliskan abad-abad panjang di helaian
rambutku. Betapa getar kerinduan menghunuskan sembilu
samudra tasbih, mengasah alunan dzikir serta tarian laut
yang menyala, hingga menyentuh lambaian pucuk-pucuk perdu
dari pematang kehidupanku. Matahari bagai lapis kepompong
mekar di kelam jiwa. Diam-diam mengulurkan ricik kenangan
dalam dadaku. Kubah-kubah bergelora mengirimkan riuh adzan
melukiskan lengkung pagi, juga bianglala sore masa kecil itu
membawaku bertapa di atas keheningan panggilanmu. O, Allah
telah sempurna badai mengajarkan gemuruh langkahku, bergairah
menerima seruan takbir sebagai arah kiblat yang gelisah
kau sematkan percik fajar bersama titik kesadaran di keningku
dan aku, tak bisa mengelak untuk senantiasa memujamu!
suara gema, goresan luka, dan kecemasan waktu
berguguran menuliskan abad-abad panjang di helaian
rambutku. Betapa getar kerinduan menghunuskan sembilu
samudra tasbih, mengasah alunan dzikir serta tarian laut
yang menyala, hingga menyentuh lambaian pucuk-pucuk perdu
dari pematang kehidupanku. Matahari bagai lapis kepompong
mekar di kelam jiwa. Diam-diam mengulurkan ricik kenangan
dalam dadaku. Kubah-kubah bergelora mengirimkan riuh adzan
melukiskan lengkung pagi, juga bianglala sore masa kecil itu
membawaku bertapa di atas keheningan panggilanmu. O, Allah
telah sempurna badai mengajarkan gemuruh langkahku, bergairah
menerima seruan takbir sebagai arah kiblat yang gelisah
kau sematkan percik fajar bersama titik kesadaran di keningku
dan aku, tak bisa mengelak untuk senantiasa memujamu!
Cirebon, 1993.
Sembahyang
Rumputan
(Ahmadun
Yosi Herfanda)
Walau
kau bungkam suara azan
Walau
kaugusur rumah-rumah Tuhan
Aku
rumputan
Takkan
berhenti sembahyang
:inna
shalati wa nusuki
wa
mahyaaya wa mamaati
lillahi
rabbil alamin
Topan
menyapu luas padang
Tubuhku
bergoyang-goyang
Tapi
tetap teguh dalam sembahyang
Akarku
yang mengurat di bumi
Tak
berhenti mengucap shalawat nabi
Sembahyangku
sembahyang rumputan
Sembahyang
penyerahan jiwa dan badan
Yang
rindu berbaring di pangkuan Tuhan
Sembahyangku
sembahyang rumputan
Sembahyang
penyerahan habis-habisan
Walau
kau tebang aku
Akan
tumbuh sebagai rumput baru
Walau
kaubakar daun-daunku
Akan
bersemi melebih dulu
Aku
rumputan
Kekasih
Tuhan
Di
kota-kota disingkirkan
Alam
memeliharaku subur di hutan
Aku
rumputan
Tak
pernah lupa sembahyang
:
sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku
dan matiku hanyalah bagi Allah sekalian alam
Pada
kambing dan kerbau
Daun-daun
hijau kupersembahkan
Pada
tanah akar kupertahankan
Agar
tak kehilangan asal keberadaan
Di
bumi terendah aku berada
Tapi
zikirku menggema
Menggetarkan
jagat raya
:
la ilaaha illallah
muhammadar
rasulullah
Aku
rumputan
Kekasih
Tuhan
Seluruh
gerakku
Adalah
seembahyang
CIWIDEY
(Yogira Yogaswara)
kantung-kantung
embun
bergantungan
di subuh ciwidey
hatiku
mencecap tetes-tetesnya
kuberangkatkan
pagi, gigil rindu pada halimun
sehampar
hijau sawah serta sayuran
terekam
burung-burung yang terbang dari patuha
tangga
langit begitu dekat
tapi
begitu jauh dari makam ari-ariku
kelahiran
adalah denting kecapi dan tiupan suling para petani
menggetarkan
dingin
jadi
mantel semesta cinta
masih
ada delman
masih
ada sungai
masih
ada ikan-ikan
semuanya
telah kurangkum dalam kisah istimewa
takkan
kubagi pada kerasnya kota
kuhirup
harum senja
seharum
jerami saung di pematang itu
dimana
aku pernah tersedu
tentang
hasrat perjalanan tanpa tujuan
tapi
kau segera menjemputku
kau
mengingatkanku:
gunung-gunung
masih hijau
ladang-ladang
masih lapang
ruang
dan waktu menuliskan banyak puisi
jauh
sebelum namamu tercatat peta
Ciwidey
2010/2011
LAHIR KEMBALI
(Eriyandi
Budiman)
Sebuah granat
yang disimpan di atas rel tentu bukan untuk membunuh
kuman. Di negeri kami bom menjadi mainan yang tidak lucu. Para
mantan penguasa yang bengis, memasok cerita pembunuhan yang
sadis, di bawah kursi kekuasaan yang goyah.
kuman. Di negeri kami bom menjadi mainan yang tidak lucu. Para
mantan penguasa yang bengis, memasok cerita pembunuhan yang
sadis, di bawah kursi kekuasaan yang goyah.
Hujan fitnah.
Banjir darah. Adalah menu makan dan impian rakyat
yang jemu menunggu ratu adil.
yang jemu menunggu ratu adil.
Jalanan
macet, penganggur berjejal menjilati tujuh matahari yang
siap meledak. Jutaan buruh menjajakan kesepian ke negeri jauh.
Para pembajak berpesta di atas kepala yang penuh bara, menjadi
singa pemangsa anaknya sendiri.
siap meledak. Jutaan buruh menjajakan kesepian ke negeri jauh.
Para pembajak berpesta di atas kepala yang penuh bara, menjadi
singa pemangsa anaknya sendiri.
Di sini, aku
terus mencari cinta yang kian pudar warnanya. Puisi
menjadi tempat mengkeramasi dosa. Hingga setiap saat aku lahir
kembali. Menggapai kesufian, dibantai kesepian.
menjadi tempat mengkeramasi dosa. Hingga setiap saat aku lahir
kembali. Menggapai kesufian, dibantai kesepian.
TANAH AIRMATA
(Sutardji Calzoum Bachri)
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
SMS BUAT CHAIRIL ANWAR
(RIAN IBAYANA)
Bung, negeri ini gawat darurat, jalan juang
seperti diperalat, hampir sekarat.
setiap orang bermata merah, bahkan lebih merah dari matamu bung,
predikat jalangmu bukan apa-apa karena banyak yang lebih jalang darimu,
lebih lantang, lebih berani, lebih binatang.
budaya rakus yang kakus mendarah daging sehingga menggerogoti negerinya sendiri.
bung, negeri ini wajib selamat.
namun segala peluang dan obat telah disuntik taktik-taktik.
bermacam strategi seperti gerigi yang memotong habis cahaya pagi.
Yang lebih liar darimu tak terbilang lagi, segala jalur ditempuh demi sulur ambisi.
Bung, negeri ini hilang wajah.
semangat “diponegoro” serta “karawang-bekasi”-mu seperti terbakar habis.
Jalan juangmu terlindas terus-menerus, oleh gerbong-gerbong kekuasaan.
Bung, negeri ini wajib diselamatkan, meski semangat seperti hendak tamat.
Otakmu terang cemerlang, adakah kisi-kisi misi membangun kembali?
Semacam akar yang keluar biar kelar segala kelakar.
setiap orang bermata merah, bahkan lebih merah dari matamu bung,
predikat jalangmu bukan apa-apa karena banyak yang lebih jalang darimu,
lebih lantang, lebih berani, lebih binatang.
budaya rakus yang kakus mendarah daging sehingga menggerogoti negerinya sendiri.
bung, negeri ini wajib selamat.
namun segala peluang dan obat telah disuntik taktik-taktik.
bermacam strategi seperti gerigi yang memotong habis cahaya pagi.
Yang lebih liar darimu tak terbilang lagi, segala jalur ditempuh demi sulur ambisi.
Bung, negeri ini hilang wajah.
semangat “diponegoro” serta “karawang-bekasi”-mu seperti terbakar habis.
Jalan juangmu terlindas terus-menerus, oleh gerbong-gerbong kekuasaan.
Bung, negeri ini wajib diselamatkan, meski semangat seperti hendak tamat.
Otakmu terang cemerlang, adakah kisi-kisi misi membangun kembali?
Semacam akar yang keluar biar kelar segala kelakar.
Bung, bagaimana jika kita pancung saja semua
pengerat itu?
Jika setuju, tolong balas sms ini.
Jika setuju, tolong balas sms ini.
2011