No Dice


 Karya : Rosi Risalah
 
Walau hanya melihatmu tersenyum seperti itu, aku benar-benar senang.  Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu, tapi aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
            “Sebentar,” aku menahanmu dari belakang.
*

            “Kayaknya kamu salah naksir cewek, deh Gin.”
            Aku tercenung. Perkataan Wahyu sukses menohok hati mudaku.
            “Memangnya aku harus naksir cewek yang gimana?”
            “Yaa... yang nyata, gitu.” Celetuk Wahyu cepat sambil mengangkat bahunya don’t care.
            Aku menghela nafas.
“Kamu sih gak akan ngerti, Yu.” ucapku berat dan pelan.
Wahyu hanya berdecak sambil membuang mukanya dariku.
Aku memang naksir anak perempuan bernama Aila. Dia perempuan yang memiliki banyak hal untuk membuat anak laki-laki berumur lima belas tahun sepertiku—terpesona.
Lalu aku siapa?
Aku hanya anak lelaki biasa yang benar-benar suka kepadanya.
*
            Setiap kali aku bertemu dengan Aila, aku tidak pernah menyapanya. Aku hanya menganggukkan kepala, diapun melakukan hal yang sama. Setiap kami berpapasan, aku tak pernah tersenyum kepadanya. Kakiku hanya lemas karena terlalu gugup jika berhadapan dengannya. Aku benar-benar terlihat payah.
            Aila cukup populer di sekolahku. Dia cerdas, juga murah senyum. Dia aktif berorganisasi, berbanding terbalik jika denganku. Dan dia adalah anak Kepala Sekolah yang jika dilihat dari manapun terlihat tidak mengecewakan.
            Sementara aku?
            Ah, sudahlah.
*
Anak cowok kadang melakukan hal yang aneh untuk membuat cewek terkesan. Seperti Wahyu yang coba mencukur rambutnya ala pebulu tangkis ternama yang ganteng kesukaan cewek yang ditaksirnya. Aku tak tahu apakah usahanya akan berhasil atau tidak. Aku hanya mendoakan saja, do’a seorang sahabat.
Aku malah melakukan hal yang sangat alienisme—atau asing, yakni menuliskan inisial namaku di meja Aila. Itu kulakukan saat kelas Aila sedang pelajaran olahraga. Aku ingin berkenalan dengannya, tapi tak tahu harus bagaimana. Aku hanya berharap dia membaca dan mengingat inisial namaku yang kutulis cukup besar di mejanya. Pakai spidol permanen. Ya, yah, aku tahu... ini perilaku kekanakan dan sangat aneh. Mungkin beberapa menggolongkan perilakuku dengan tindakan vandalisme.
            “A.G.N. Gitu? Ahahaha..!” Wahyu hanya menertawaiku.
            “Udah jangan ketawa!” Aku memasang wajah kusut.
            “Mau sampai kapan lo kayak kucing malu-malu gitu, Gin! Hahaha...” Wahyu terus tertawa. Menganggap aku hanyalah anak cowok melankolis. Angga Ginan Narartrama, namaku memang terdengar melankolis.
            “Kenapa gak kenalan aja sih?” tanya Wahyu menambahkan. Dia mulai menatapku dengan serius. Aku pun mulai merenung dengan serius.
            Iya, yah. Aku juga menanyakan tentang hal itu. Kenapa aku tak berani, padahal hanya untuk berkenalan dengan Aila?
*
            Ada hal yang spesial mengapa aku bisa suka pada Aila (hanya spesial menurutku saja). Setelah aku lulus SMP, aku segera mendaftar personal ke SMA terdekat dari rumahku. Aku ketinggalan program kolektif, jadi aku melakukan semua prosesnya sendiri.
            Dan disaat daftar ulang, tepat di hari itu, aku duduk bersebelahan dengan Aila. Aku mengetahui namanya karena tertera pada map berwarna kuning yang dibawanya.
            “Kamu sendirian?” Aila coba bertanya pada cowok disebelahnya (baca: Aku)
            “Iya.” Aku menjawab gugup.
            “Sudah lengkap berkas-berkasnya?” tanyanya lagi.
            “Kayaknya sudah.” Aku langsung memeriksa kembali berkas, padahal aku sangat gugup karenanya.
            “Oke.” Aila tersenyum, membuat hatiku kembali berdesir. Aku menatapnya sesaat untuk beberapa detik. Lalu menunduk. Merasa detik selanjutnya akan benar-benar membuatku gugup.
Aku dan Aila lalu melakukan proses pendaftaran dengan saling diam.
Aila juga ternyata melakukan semuanya sendirian. Tapi banyak pihak panitia yang menyapanya, lalu akupun mengetahui dia adalah putri dari Kepala Sekolah, yang daftar ulang sendirian.
            Saat itu aku tertolong karena disangka temannya Aila. Namun sampai semuanya berakhir lancar, aku dan dia hanya saling mengangguk lalu berpisah.
Aku tak tahu apakah sudah berkenalan dengannya atau tidak. Mungkin ini hanyalah perkenalan sepihak saja.
            Namun dari situ, aku seorang bocah pun sudah sangat sadar. Di hari pertama daftar ulang sekolah, ada sesuatu yang membuatku benar-benar suka pada Aila. Karena senyum yang tak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata.
*
            Tiba di hari kelulusan, aku kembali memerhatikan Aila. Dia memakai kebaya berwarna merah muda yang begitu indah. Aku melihat senyum mengembang pada wajahnya. Senyum yang seolah berkata bahwa ia telah memaksimalkan tiga tahun sekolah menengah atasnya. Melihatnya tersenyum seperti itu membuat hatiku berdesir, dan sekali lagi merasa bahagia.
            Congrats, Gin!” Wahyu memukul pundakku keras dari belakang. Tapi aku tidak menggubrisnya. Wahyu heboh menunjukkan medali yang ia dapatkan—aku juga dapat, jadi aku tak terlalu heboh menanggapinya.
            Lalu, aku kembali berpapasan dengan Aila. Mataku dan dia saling bertemu, rasanya waktu berjalan slow motion pada saat itu. Tapi kami tidaklah saling menyapa. Aku dan dia cukup tersenyum tipis dan saling mengangguk, seperti biasanya.
“Duh, yang selama tiga tahun mendam perasaan.” Wahyu berbisik padaku.
Benar.
            Aku sekarang sudah lulus SMA.
            Sudah tiga tahun aku menyimpan perasaan pada Aila.
            Dan sampai sekarang tak ada kata yang aku ucapkan selain,
 “Ya, Berkasku sudah lengkap.”
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar