MARTIL KEMBAR





                                                                 Fhoto dari Internet

Gerhana Bulan Merah
Aku masih ingat, malam itu, malam gerhana bulan merah. Beberapa stasiun radio memberitakan secara langsung detik-detik perubahan warna bulan di langit.  Peristiwa langka yang terjadi 18 Tahun sekali. Bulan berubah merah, merah darah. Gema takbir merambat lewat udara dari corong mesjid tepi kampung, menjelang sholat Gerhana.  Aku masih ingat malam itu aku berbaring lemah di atas kasur tua peninggalan Emak, kasur kenangan. Tidak seperti biasanya malam itu teramat lelah. Padahal setiap hari pekerjaan sama beratnya, sama kasarnya. Memecah batu, ya buruh memecah batu.
Aku masih ingat, malam itu aku dikejutkan bunyi yang menghentak telinga, ada sosok yang memecahkan jendela kamar. Gerakannya sangat cepat sehingga serpihan kaca beterbangan ke arah tempatku berbaring. Aku juga masih ingat tiba-tiba sosok itu masuk ke dalam kamar lewat pintu samping, mendobraknya. Tampak jelas sosok itu menggenggam sebuah martil, berjalan dengan cepat mendekatiku. Aku masih ingat sosok itu kemudian mengayunkan martil tersebut ke arahku berbaring. Hampir tidak dapat dipercaya, sosok itu ingin memecahkan kepalaku, ingin membunuhku.
Namun saat kepala martil tepat dibelakang sosok itu, dan tinggal menghantamkan ke arahku. Si Buntung, kucing  peliharaanku tiba-tiba terbang dan mencakar wajah si pembawa martil. Merobak pipi kening, bagian mata hingga pipi sebelah kiri, kejadiannya begitu cepat seperti kilat. Martil jatuh di dekat ranjang menyadarkanku untuk segera menghindar, si buntung masih mencakar muka si pembawa martil. Segera aku loncat, kemudian bergegas ke arah pintu yang sudah rusak didobrak. Lari dan pergi.

Kuli Pabrik
            Menjadi kuli pabrik teh, lebih ringan daripada menjadi kuli pemecah batu. Kerja yang hanya mengandalkan tenaga dan tehnik menghantam. Kulit lebih terawat karena bekerja di bawah atap pabrik yang bisa menahan bengisnya musim baik panas maupun hujan. Aku bekerja dibagian pelayuan yaitu proses yang bertujuan untuk mengurangi kadar air pada daun teh sampai tingkat layu tertentu juga melemaskan daun sehingga dalam proses penggilingan tidak pecah.
            Lewat jalan yang panjang, akhirnya aku sampai di sini di kaki gunung tertua, gunung yang senantiasa memberikan nafas kesejukan meski usianya sudah senja. Aku tinggal di sebuah rumah kontrak, rumah khusus pegawai pabrik. Rumah yang memiliki arsitektur yang sama, luas yang sama dengan warna yang sama, putih dan biru. Rumah beratapkan asbes, berdinding triplek, satu kamar, ruang tengah, dapur dan kamar mandi di belakang rumah. Berbeda dengan pegawai rendah, bagi para mandor, baik mandor lapangan maupun mandor pabrik serta staf khusus perusahaan. Disediakan rumah yang lebih megah dengan halaman luas serta memiliki beberapa kamar. Juga terdapat perapian untuk menghangatkan badan. Cerobong asap tampak gagah di atas rumah.

Ratih
Ratih, di sini aku merintih sendiri, mengulik kenangan yang semakin hari terasa semakin perih. Tuhan menciptakanmu terlalu sempurna Ratih, engkau terlalu baik. Tuturmu yang halus mampu melunakan tangan-tangan kasar para pemecah batu. Bahkan sampai melunakkan hatinya. Sikapmu yang anggun membuat semua mata tertarik, meneduhkan kepala-kepala yang setiap hari dibakar terik.
            Aku di sini karena dunia cemburu  Ratih, dunia marah akan sikapmu padaku yang berlebihan, sikapmu padaku yang begitu berbeda, sikapmu padaku yang begitu menyejukan namun setiap tetes kesejukannya mampu membakar jerami yang kita pijak. Yang akhirnya akan membakar kita berdua. Dunia seperti mengutuk sikapmu yang berlaku tidak adil Ratih. Menebar cinta pada lelaki biasa yang tidak berdaya. Seorang kuli pemecah batu, seorang lelaki bertangan kasar, lelaki yang bekerja setiap hari untuk melunasi utang keluarga. Ratih kau anak Menak pemilik perusahaan, sementara aku pekerja di perusahaan orang tuamu.
            Ratih, di sini aku merintih sendiri, mengulik kenangan yang semakin hari terasa  semakin perih. Gelang manik-manik yang kau sisipkan ke kantong bajuku tempo hari, gelang yang membuat dunia semakin cemburu padaku, pada kita Ratih. Maaf gelang itu tertinggal di ranjang, saat aku lari dari ancaman Ratih. Aku mencintaimu Ratih namun dunia seperti mata-mata , kemanapun aku pergi seluruh kepala seperti malaikat maut, mengintai hidupku.
            Jangan cemas  Ratih,  di sini aku lebih aman, di tempat yang selalu kau idamkan. Perkebunan teh, kampung yang setiap sore selalu diselimuti kabut. Jangan khawatir, aku nyaman di sini, setiap pagi aku bisa menghirup oksigen dengan tenang, menyeduh kopi dengan khidmat sebelum berangkat ke pabrik. Di sini aku jauh dari ancaman meski pedih harus jauh darimu.

Martil Kembar
Aku dilahirkan dari rahim suci seorang wanita perkasa, rahim hangat seorang ibu yang berjuang keras masa kehamilannya. Aku dilahirkan dari rahim yang diselimuti ucapan dzikir serta doa-doa, bermantelkan ayat-ayat suci. Seorang ibu yang tak pernah lepas dari Tahajud, seorang ibu yang senantiasa menghabiskan sepertiga malam dengan kekhusyuan. Aku dilahirkan dari Rahim suci seorang wanita yang setiap hari berjihad membantu suaminya bekerja, ya menemani bapakku.
            Meskipun sedang mengandung, konon ibu tetap sabar bekerja menjadi penjual kopi serta gorengan  di area tempat bapak bekerja memecah batu. Konon Bapak membuat saung kecil menggunakan terpal biru sebagai tempat ibu berdagang, saat istirahat bapak sering merebahkan badan di saung tersebut. Dagangan ibu lumayan laris, para kuli pemecah batu teman bapak menjadi langanan utama, meski terkadang ngutang. Maklum upah sebagai kuli pemecah batu sangat rendah, jika tak pandai mengelolanya,  penghasilannya akan habis di tempat.
            Menurut cerita bapak, aku dilahirkan saat bulan purnama tengah sya’ban. Bapak sangat khawatir saat ibu melahirkanku, tenaganya hampir habis, nafasnya seperti tersegal berjuang habis-habisan. Bapak sampai menangis melihat keadaan kala itu apalagi saat aku lahir dengan selamat dan sempurna, disusul beberapa menit kemudian oleh adikku. Ya, ibuku melahirkan anak kembar. Bayi yang sama-sama gagah dan tampan.
            Menjelang usia ke 13, paru-paru ibu bocor dan tidak terselamatkan. Aku dan saudara kembarku memutuskan untuk berhenti sekolah dan mengikuti jejak bapak menjadi kuli pemecah batu. Sebenarnya bapak melarang, tetapi kami berdua sudah membulatkan tekad untuk membantu bapak saja, menjadi kuli. Hingga pada sebuah senja yang tembaga, senja yang merah, bapak memberikan masing-masing sebuah martil kepada kami berdua. Bapak bilang, itu adalah martil kembar, ya martil kembar.




Gelang manik-manik
            “Pakailah gelang manik-manik ini, jumlahnya ada 33 butir, bisa kau jadikan alat untuk berdzikir” ucap seorang gadis jelita. Gadis bermata coklat, gadis yang senang memakai baju toska. Dengan pelan gadis gadis itu menyisipkan gelang manik-manik itu ke kanton bajuku.  Senyumnya mampu menghentikan putaran bumi bahkan mampu melemahkan batu-batu. Aku hampir tidak percaya, seorang gadis keturunan menak, menaruh perhatian lebih terhadapku. Padahal selama dua belas tahun menjadi seorang kuli pemecah batu di situ aku bersikap biasa saja kepada anak majikanku itu.

            Beberapa serpihan batu yang baru saja kupecahkan menjadi saksi saat gadis jelita itu menyisipkan gelang manik-manik ke kantong bajuku.  Namun rupanya bukan hanya serpihan batu yang menjadi saksi kejadian itu, tapi mata-mata di sekitarku, mata-mata yang tiba-tiba berubah merah, berubah marah. Mata-mata yang menaruh dendam dan cemburu. Mata-mata yang menebar ancaman.

Gerhana Matahari Total
            Aku masih ingat, dan mungkin ini adalah ingatanku yang terakhir. Pagi itu warga perkebunan berbondong-bondong ke mesjid untuk menjalankan sholat Gerhana. Konon gerhana yang terjadi 33 tahun sekali, dan kebetulan Indonesia menjadi daerah yang terlintasi Gerhana tersebut. Ya gerhana matahari total. Peristiwa alam yang sudah bisa diramalkan oleh para ahli, sehingga beritanya sangat luar biasa. Hampir seluruh stasiun televisi menyiarkan secara langsung fenomena langka tersebut.
            Aku masih ingat, pagi itu tubuhku mengigil. Sebab semalam kebagian lembur karena khusus pada hari terjadinya gerhana semua pegawai diliburkan. Suara takbir terbawa angin dari corong mesjid perkebunan.  Suara takbir terdengar semakin keras, semakin keras hingga kaca jendela kamar pecah. Ah bukan karena takbir kaca itu pecah.
            Aku masih ingat, aku terkejut luar biasa, sebuah kepala martil memecahkan jendela kamar. Disusul suara dobrakan pintu rumah. Ah sosok tubuh yang memakai penutup kepala sudah ada di depanku, membawa sebuah martil. Tak lama kemudian sosok itu mengayunkan martil di tangannya ke arah kepalaku, ingin membunuhku. Dan aku tak berdaya, cerita dan peristiwa berlalu beku*.   

Pesan Terakhir
            Ratih, di pembaringan ini aku merintih sendiri, mengulik kenangan yang semakin hari terasa semakin perih. Tuhan menciptakanmu terlalu sempurna sehingga banyak mata yang mengharap dan mendamba. Namun kau menaruh cinta pada lelaki yang tak berdaya. Membuat dunia cemburu dan menebar ancaman. Aku dilahirkan sebagai anak kembar dan diwariskan msing-masing sebuah martil kembar. Ya martil yang memecahkan kepalaku, martil milik adikku yang sama-sama cemburu dan menaruh hati untukmu.

2016
*Petikan puisi Chairil Anwar. Yang terhempas dan terputus

2 komentar:

  1. Membunuh karena cemburu. Dosa klasik manusia.

    BalasHapus
  2. Cemburu karena tak mampu istilah klasikk manusia juga

    BalasHapus