Tulisan
ini sebenarnya hanyalah sedikit dari pengalaman saya dan refleksi atas apa yang
saya analogikan mengenai ketiganya. Ya, jurusan kuliah, rancangan percobaan,
dan agama. Tulisan ini akan sederhana saja, sepraktis apa yang menjadi dasar
pemikiran saya. Semoga tulisan ini bisa menjadi cemilan ringan setelah makan
berat ya.
Saya tidak tahu mulanya gagasan ini
muncul dari mana, siapa yang mengemukakan, hingga sering saya dapati pada
status-status di media sosial tapi saya sendiri menemukannya dalam film PK yang
diproduksi pada tahun 2014 dan dibintangi oleh Aamir Khan, bahwa unsur-unsur
dasar yang menjadi identitas kita ditentukan beberapa menit setelah kelahiran
kita seperti nama, kewarganegaraan, bahkan agama dan hal-hal inilah yang
melekat sepanjang hidup kita bahkan kita bela hingga mati. Padahal identitas
tersebut dilekatkan kepada kita jauh sebelum kita memiliki kemampuan untuk
memilih, namun kebanyakan dari kita percaya bahwa identitas itu memang yang
harus kita kenakan sepanjang hayat. Begitu?
Mereka yang pernah mengganti namanya
terlebih setelah menginjak usia dewasa pasti paham betapa sulitnya mengurus
persurat-suratan(?) sebangsa KTP, ijazah, paspor, dan lain-lain lah ya. Mereka
yang berganti kewarganegaraan malah seringkali terkena stigma negatif, semisal
dianggap tidak lagi mencintai tanah air tempatnya lahir. Adakah perbedaan
antara mencintai dengan kebutuhan praktis? (Serius bertanya lho ini), bahkan
isu kewarganegaraan ini sempat mencuat ketika (mantan) meteri ESDM
Indonesia—yang hanya menjabat kurang dari satu bulan itu—ternyata
berkewarganegaraan ganda yang menurut Pasal 23 UU Kewarganegaraan berarti sudah
tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia, tapi kita tidak akan membahas hal
ini di sini ya nanti jadi out of topic.
Beberapa tingkat lebih rentan terkena stigma negatif, yaitu mereka yang memilih
berpindah keyakinan. Mungkin tidak lagi asing ditelinga kita bahwa mereka juga
kerap dijauhi bahkan dimusuhi oleh anggota keluarga mereka sendiri. Nyatanya
melucuti identitas-identitas ini bisa serunyam melucuti pakaian di depan umum,
lebih jauh lagi bisa dianggap sama-sama memalukan (menghinakan?) terutama
seperti yang saya soroti dalam poin terakhir, agama.
Flashback beberapa tahun ke belakang
ketika pertama kali menjadi bagian dari civitas
academica salah satu perguruan tinggi di Bandung saya mendapati banyak
cerita mengenai alasan mahasiswa masuk ke dalam jurusan kuliah tertentu. Ada
yang tentu saja karena pilihan sendiri, itu pun masih harus berjuang
mendapatkan pilihan pertama pada tes saringan masuk. Banyak juga yang memilih
jurusan karena perintah orang tua, meski diri pribadi tidak terlalu tertarik.
Cukup banyak yang melihat peluang bekerja yang tinggi pada jurusan tertentu,
oportunis? Entahlah. Labilis (orang-orang labil?) memilih jurusan kuliah karena
teman-teman atau pacar, meski menurut saya sendiri agak konyol, tapi itu tetap
saja sebuah pilihan bukan? Dan tidak ada secuil pun pilihan yang tidak
mengandung konsekuensi dan kelak akan melahirkan akibat.
Beberapa semester setelahnya saya
bisa melihat beberapa hasil meskipun tidak membentuk pola, seperti seseorang
yang memilih jurusan dengan alasan tertentu akan memiliki akhir akademik
tertentu pula. Mahasiswa yang mengecap wisuda, berprestasi, IPK (Indeks
Prestasi Kumulatif) tinggi, IPK pas-pasan, nyaris DO (Drop out), DO
betulan, gagal skripsi, hingga yang memutuskan pindah jurusan pun bisa dialami
oleh semua background alasan. Ada
yang awalnya berminat namun di tengah jalan merasa kesulitan dan akhirnya
menyerah, atau mendapatkan nilai yang kecil karena tak mampu mengejar materi
kuliah, banyak yang terseok-seok namun akhirnya lulus juga, ada yang
memberanikan diri mengambil tes ulang dan berpindah jurusan, ada yang
berprestasi karena memang minat dengan jurusannya, atau hanya merasa
bertanggung jawab karena telah mengambil pilihan, atau ada pula yang awalnya
tidak minat namun seiring berjalannya waktu merasa kerasan dan mencintai
pilihannya. Itulah sekilas tentang apa saja yang terjadi pada pilihan dan akhir
studi di dunia perkuliahan, namun seperti sebuah sistem ia juga dilingkupi
sebuah lingkungan di luar himpunan yang merupakan antitesis dari sistem itu
sendiri, yaitu dunia orang-orang yang sama sekali tidak memilih kuliah dengan
beragam alasan yang tidak kalah jumlahnya dari orang-orang yang memilih jurusan
kuliah.
Saya sendiri tertarik untuk
menganalogikan pilihan-pilihan tersebut dengan agama, dan saya tahu bahwa pilihan
untuk menganalogikan hal ini pun pasti mengandung konsekuensi semisal pembaca
tulisan ini tidak setuju dengan analogi yang saya buat. Namun saya secara sadar
mengambil pilihan ini dengan seluruh konsekuensinya. Nyatanya sebagian besar
orang memang tidak pernah benar-benar mengubah nama, kewarganegaraan, dan
agamanya sepanjang hidup. Sejak kecil dididik untuk mencintai apa yang telah
menjadi milik kita. Negaraku, agamaku, -ku di sini jelas menerangkan
kepemilikan. Sesuatu yang harus kita dekap erat-erat.
Menurut saya agama adalah sesuatu
yang prinsipiil dalam hidup, karena hal ini tidak hanya tentang hidup, tapi
juga tentang mati dan juga tentang hidup setelah mati. Kitab suci bagi saya
adalah manual book, memberi tuntunan
terhadap way of life yang kedudukannya
tidak bisa digantikan dengan magna charta,
undang-undang, apalagi hanya sekedar buku-buku motivasi. Tapi pernahkah kita
benar-benar memilih manual book yang
mana yang mau kita terapkan? Atau kita justru tak ingin menggunakan manual book sama sekali? Atau kita sudah
merasa bahagia dengan ajaran yang kita kenal sejak kecil, ritual yang sudah
tidak asing lagi? Bagai seorang mahasiswa yang masuk jurusan tertentu karena
perintah orang tuanya, baginya satu-satunya pilihan adalah mengikuti
perkuliahan hingga akhir jangan pernah terbersit untuk pindah jurusan, atau
berhenti kuliah, kata mama itu dosa.
Saat kuliah saya pernah punya pengalaman
buruk dengan salah satu mata kuliah bernama Rancangan Percobaan. Bagi saya dan
mayoritas teman sekelas saat itu, mata kuliah satu ini sangatlah sulit. Entah
mengapa saya pribadi susah sekali mencernanya, hingga saat ujian akhir saya
mendapatkan nilai D (tidak sedang bongkar aib ya). Untungnya saya tidak
sendirian mayoritas teman sekelas juga mendapatkan nilai yang buruk, tidak
lebih dari lima orang mendapatkan nilai A dan tidak sampai sepuluh orang
mendapatkan nilai B, sedangkan sisanya mendapatkan nilai C dan D padahal saat
itu jumlah mahasiswa sekelas ada sekitar lima puluh orang. Akhirnya kami
mengambil semester pendek saat liburan semester untuk memperbaiki nilai mata
kuliah ini.
Semester pendek pun dimulai, kami
mengulang materi rancangan percobaan dengan dosen yang berbeda dari sebelumnya
meskipun menggunakan buku cetak yang tetap sama. Gaya mengajar dosen ini begitu
santai dan cara menerangkannya pun sederhana. Tanpa terasa soal-soal latihan
pun mampu dikerjakan dengan cukup mudah hingga saat ujian akhir tiba, kami yang
dulu mendapatkan nilai D kini sebagian besar mendapatkan nilai A. Ternyata
rancangan percobaan bukanlah materi yang sulit.
Saya sering mendapati orang-orang
mengeluh tentang sulitnya ajaran agama yang dianutnya untuk dipahami, dimana
nalar dan keyakinan tidak bisa mencernanya dengan mudah. Semua ucapan pemuka
agamanya tidak membuatnya puas. Kebanyakan orang-orang ini berpendapat ajaran
agamanya memang ambigu. Saya sebenarnya ingin sekali bertanya, “Mau pindah
agama tidak?” atau sekalian saja memberi saran, jika sudah tidak yakin mengapa
masih memeluk ajaran yang sama? Tinggalkan saja! Ini mungkin terdengar sarkas,
namun menurut saya bukankah tidak baik terus-menerus menggerutui sebuah konsep
namun tetap mengakui kebenarannya pada permukaan luar.
Mirisnya kebanyakan dari mereka yang
terus saja mempertanyakan keyakinannya tanpa melangkah kemana pun belum mendalami
ajaran agamanya dalam waktu yang lama. Desas-desus dan asumsi-asumsi lah yang
selama ini menjadi pijakan. Cukup dengan membaca tulisan-tulisan dari sumber
yang belum tentu kredibel, lalu memahatnya dalam pemahaman seolah-olah hal itu
merupakan kebenaran tentang agamanya. Atau mungkin saja semua itu tidaklah
begitu, dasar keraguan mereka disebabkan oleh pemaparan pemuka agama yang tidak
tepat sasaran, dan tidak mempertimbangkan level pemahaman(?)
Setali tiga uang dengan pengalaman buruk
saya bersama rancangan percobaan. Dosen pertama menjelaskan materi dengan
bahasa intelektual yang tinggi, lupa bahwa kami hanyalah sekumpulan mahasiswa
yang sehari-hari terpapar vetsin dan chatting. Atau itu semua memang
salah kami yang tidak pernah benar-benar serius belajar, buktinya masih ada
mahasiswa-mahasiswa bernilai A sejak awal. Dan sanjungan tentu saja tidak
sepenuhnya harus ditujukan kepada dosen kedua yang berhasil membuat kami
mendapatkan nilai A pada akhirnya, mungkin saja kami cepat mengerti pun karena sebelunya
tanpa disadari telah tersimpan pengajaran dosen pertama meski kala itu
masih membingungkan. Sekali lagi, kekuatan sebuah proses.
Ketika pemahaman luang kita begitu
melimpah terhadap ajaran agama kita sendiri, marilah belajar. Libatkan proses
berpikir yang mendalam, bukan hanya memperpanjang daftar pertanyaan. Mulailah
dengarkan tanpa penolakan, tumbuhkan kesadaran untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik ketika menerima jawaban, singkirkan keinginan untuk terus berdebat.
Ketika tidak mengerti, bukan berarti ajaran itu tidak bisa dimengerti, mungkin
saja pengetahuan kitalah yang belum genap. Mari belajar lebih banyak lagi bagi
yang ragu, mari belajar lebih dalam lagi bagi yang yakin. Menetap atau
berpindah pada akhirnya adalah pilihan kita sendiri, tidak perlu terburu-buru
memilih, kita punya seluruh waktu hidup untuk mengerti dan kita berhak untuk
benar-benar memahami apa yang harus kita yakini. Ini mungkin tidak akan mudah,
namun bukan berarti tidak perlu ditempuh. Mari memulai, mari belajar, mari
berpikir.
Penulis
: Aya Sofi Rumaisha
Aya sofiiii kereen
BalasHapusMakasih kang sudah sudi membaca tulisan ini :) Masih butuh banyak bimbingan nih dalah hal penulisan.
Hapus