Matahari masih belum muncul sempurna, hanya semburat merahnya saja
yang menghiasi langit sebelah timur. Ke arah itulah Ros pergi menuju sebuah
sungai di pinggiran desa. Di pinggangnya ia membawa bakul berisi piring-piring,
gelas-gelas, dan perabot kotor lainnya untuk dicuci, di punggungnya ia
menggendong Si Bungsu yang sudah terbangun karena mengompol.
Ros adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ia anak yang
paling rajin di antara saudara-saudaranya yang lain. Karena itulah ia jadi anak
yang paling sering disuruh-suruh, mengerjakan banyak sekali pekerjaan rumah.
Mencuci baju, mencuci piring, menjahit baju yang sobek, membersihkan rumah
sampai membelah kayu-kayu bakar.
Ros juga anak yang paling baik, sehingga ia selalu mengalah
kepada saudara-saudaranya yang lain. Ketika Ibu Ros memasak ikan asin, Ros
hanya akan mengambil kepalanya saja sedangkan sisanya diberikan pada
saudara-saudara Ros yang selalu dengan senang hati menerima. Ros tak pernah
berani menambah nasi karena ia tahu persis persediaan beras di rumah mereka
selalu kurang. Jika beras di gentong sudah benar-benar habis dan tak ada cukup
uang untuk membeli lagi, Ibu Ros seringkali terpaksa membeli bekatulnya saja.
Bekatul beras itulah yang nantinya Ibu Ros bungkus dalam daun lalu ia simpan
dalam abu perapian yang masih panas. Dan itulah yang akan menjadi santapan Ros
dan keluarga.
Sebetulnya di setiap tanggal muda, semua kepala keluarga
yang bekerja di Perkebunan akan mendapatkan jatah beras. Pembagian beras
dilakukan di gudang milik Perkebunan. Semua orang berbondong-bondong datang ke
sana. Ros selalu diajak ikut oleh ayahnya, sambil membawa kantong plastik hitam
dari rumah. Di gudang, beras-beras dipindahkan dari karung-karung berukuran
besar ke dalam karung-karung kecil sesuai jatah yang akan diterima oleh para
buruh kebun. Ketika para petugas gudang mengeluarkan beras-beras itu ke dalam
karung kecil untuk ditimbang, ada banyak butir-butir beras yang jatuh berserakan
di lantai. Saat itulah Ros melakukan tugasnya.
Ros mengeluarkan kantong plastik yang dari tadi ia genggam.
Dengan telaten tangannya bergerak lincah di antara kaki-kaki para petugas
gudang dan buruh kebun yang sedang mengantre. Beras—beras yang jatuh itu ia
kumpulkan dengan tangan-tangannya yang mungil. Lalu ia masukkan ke dalam
kantung plastik yang dibawanya. Tak apa-apa walau sudah bercampur debu dan
tanah karena Ros bisa membersihkannya dengan baik. Tak akan ada yang sakit
perut karena makan nasi dari beras-beras ini. Ros tak punya pilihan lain, jatah
beras yang diterima ayahnya tak pernah cukup sampai bulan berikutnya. Awalnya
Ros merasa malu ketika harus melakukan ini semua. Tapi rasa malu itu selalu
kalah ketika ia membayangkan rasa lapar yang harus ia tahan jika mereka tak
punya beras, dan Ros juga tak mau terlalu sering makan bekatul, rasanya seperti
makan satu piring dengan bebek-bebek.
Sejak beberapa minggu yang lalu Ros sudah berhenti sekolah
karena malu. Ros tak pernah pergi bersekolah memakai seragam karena Ibu Ros tak
pernah membelikan seragam untuknya. Ros juga tak pernah pergi sekolah memakai
sepatu sambil membawa tas di punggung, ia selalu pergi memakai sandal jepit
sambil menenteng kantung plastik tempat ia membawa buku dan pensil. Ros selalu
diejek teman sekelasnya, karena itulah ia berhenti.
Mulai minggu depan, mungkin ia akan mulai bekerja juga di
Perkebunan. Jika menjadi pemetik teh masih terlalu berat untuknya, ia bisa jadi
petugas kebersihan yang mencabut rumput-rumput liar di halaman Kantor.
Tadi, sebelum Ros berangkat ke sungai, ia sempat melihat
kalender yang ditempel di dekat pintu. Hari ini tanggal 31 Desember dan besok
adalah tahun baru. Tapi Ros tak tahu apa yang akan ia sambut di tahun yang baru
nanti. Di antara sekian banyak pekerjaan yang harus ia lakukan, Ros tak pernah punya
waktu untuk bermimpi atau berpikir tentang cita-cita, ia bahkan harus menyeka
keringat dengan tergesa-gesa.
***
Pagi-pagi sekali, ketika matahari belum sempurna muncul dan
hanya semburat merahnya saja yang mewarnai langit sebelah timur, Ros sudah
sejak tadi meninggalkan tempat tidur. Tak ada orang miskin yang pantas bangun
setelah matahari terbit. Itulah yang selalu diajarkan Ibu Ros sejak ia kecil.
Berbekal kantong plastik hitam, Ros sudah ada di kebun Bibi Wati. Bibi Wati
menanam labu, singkong, leunca dan cabai rawit di belakang rumahnya. Ros
datang ke sini untuk mencari bahan sarapan. Tapi pucuk-pucuk daun labu sudah
habis ia petik, juga daun-daun singkong muda, tak ada yang tersisa lagi. Hanya
ada daun-daun tua yang terlalu pahit untuk dimakan. Suaminya tak akan suka. Dan
tentu, Ros tak mau membuat suaminya marah. Bahkan sekedar membayangkannya pun
cukup membuat Ros bergidik.
Ros dinikahkan satu tahun yang lalu dengan lelaki yang dipilihkan
oleh orang tuanya. Menurut orang tua
Ros, lelaki yang mereka pilihkan adalah lelaki terbaik untuk menjadi suami Ros.
Meski sebenarnya Ros lebih suka pada Suyadi, seorang insinyur yang menjadi
atasan Ros di pabrik pengolahan teh. Dan sepertinya Suyadi juga memiliki
ketertarikan yang sama pada Ros. Ros memang banyak yang suka. Walau tangannya
tak sehalus gadis-gadis lain, wajah Ros yang putih dengan pipi yang selalu
terlihat kemerahan membuat setiap pemuda di desa menyimpan rasa padanya. Selain
itu, badan Ros pun bagus dan ia pandai menari.
Namun sama seperti pada banyak kejadian-kejadian lain dalam
kehidupannya, Ros tak pernah diberi kesempatan untuk memilih. Ia hanya sekuntum
kembang yang nasibnya ditentukan oleh sang pemilik kebun, yang telah merawatnya
dari semenjak benih sampai ia siap dipetik. Hidupnya adalah hak orangtuanya. Ia
tak punya otoritas apa-apa bahkan atas tubuhnya sendiri. Karena setiap jengkal kulit
dan daging yang ada padanya, dari ujung rambut hingga jempol kaki merupakan
pemberian dari kedua orangtuanya. Seluruh hidupnya adalah hutang dan sepanjang kehidupannya
adalah perjalanan melunasi bakti yang ia terima dari ayah dan ibu, membayar
kembali nasi dan air susu. Menjadi pintu pembawa rejeki selama ia masih muda dan
menjadi perawat ketika orangtuanya beranjak renta.
Kembang kuncup yang hendak mekar itu diberikan pada Rukmana.
Dengan alasan-alasan yang Ros masih belum mengerti hingga kini ia mengandung
anaknya yang pertama. Yang ia tahu, keluarganya dan keluarga Rukmana memang mempunyai
hubungan yang terbilang rumit. Selain itu, Ros juga punya firasat bahwa Abah
Karya ada hubungannya dengan ini. Si Abah yang selalu jadi tempat orang-orang
desa bertanya tentang hal-hal yang gaib, yang tak terlihat dengan mata manusia
biasa, tentang masa depan yang dihitung menggunakan jari-jari tangan. Termasuk jodoh
dan peruntungan. Ros bersumpah pernah melihat ayahnya tiga kali mendatangi
rumah Abah Karya sebulan sebelum ia diberitahu tentang rencana pernikahannya
dengan Rukmana. Tapi pada akhirnya dengan berbekal pepatah orang-orang tua
bahwa cinta bisa datang menyusul setelah ijab kabul, Ros pun menikah dengan
sedikit harapan bahwa kehidupan akan tersenyum lebih ramah kepadanya. Seperti yang
diramalkan oleh jari kelingking Si Orang Pintar.
Ros pulang membawa segenggam daun kemangi yang ia petik dari
pinggiran kolam ikan Bi Wati, hanya itu yang masih bisa ia petik untuk teman
nasi. Ros akhirnya pulang sambil merasa tak enak hati karena rupanya matahari
sudah tinggi. Ketika tersisa kira-kira sepuluh langkah menuju rumah, kaki Ros
tiba-tiba berhenti sendiri. Dari sana ia bisa melihat suaminya sudah menunggu
di depan rumah, dengan kedua tangan di pinggang dan wajah merah menahan amarah.
Ros menelan ludah sambil menebalkan bendungan di setiap sudut mata, mengecek
kembali sumbatnya agar tak ada air yang tahu-tahu keluar sendiri. Ia tak mau
menangis di sini. Ia lalu berjalan cepat-cepat menuju tempat suaminya yang kini
mulai mengeluarkan sumpah serapah. Dengan kata-kata yang tajamnya mampu membuat
hati Ros yang sudah ditempa duka sejak balita pun remuk berkeping-keping. Ros memang
diajarkan banyak hal oleh ibunya, tapi ia belum sempat belajar caranya menjahit
hati yang dirobek-robek oleh suami sendiri. Suami yang menumbuhkan taring dan
duri dari mulut dan tangannya karena sudah terlalu lama makan nasi yang hanya
ditaburi garam, itu pun kadang sehari cuma sekali. Maka wajar jika ia terserang
darah tinggi dan sering mengamuk pada istri.
Tapi untunglah, karena setidaknya Ros tahu caranya merawat
luka memar, baik itu karena ditendang atau karena ditampar. Ros memang terlalu
pintar bersabar. Ia tetap bertahan meski
diperlakukan tak benar. Kembang kuncup itu tak pernah mekar, keburu layu
diterjang badai.
Di dalam kamarnya yang gelap, bersila di atas tikar, Ros
mengusap-usap perutnya yang buncit. Hanya ketika itulah, ketika ia hanya berdua
dengan si jabang bayi, ia berani membuka sumbat-sumbat itu dari sudut-sudut
matanya. Menangis sesekali sepertinya memang perlu, Ros harus tetap waras untuk
bisa membesarkan anaknya menjadi orang hebat.
Ros melahirkan dengan selamat seorang bayi laki-laki yang
menangis dengan kuat, di hari pertama Ros mengganti kalender yang ia tempel di
lemari. Ia namai bayi itu Saka Bramanti. Sebuah nama yang ia terima lewat
mimpi.
***
Ditulis oleh Yoga Palwaguna
Terlalu suram untuk bacaan hari sabtu? Tenang, ini baru Part I. ;)
Suka kata-katanya, renyah untuk dibaca.
BalasHapusSaya memang suka kata-kata yang berima. Tapi sebenarnya khawatir juga jika penyampaian maksud ceritanya menjadi kurang efektif dan terkesan mendahulukan rima saja. What do you think? Apakah dalam tulisan di atas maksud ceritanya bisa tertangkap dengan jelas?
HapusJelas kok kang malah terasa mendalam karena gaya bahasanya, pas untuk menyampaikan emosi.
HapusWaww..denger nama ros. inget kak rose...(upin ipin)
BalasHapusmoga ceritanya akan terus bersambung, tau-tau menjadi sebuah novel kelak.. -diantos-
Hehe, waktu ditulis sempet kepikiran juga tentang kak Ros yang identik dengan serial upin ipin. Tapi karena sudah terlanjur suka dengan namanya jadi tetep dipakai. Hihi
HapusAmin, kang. Mohon bimbingannya, semoga bisa segera menelurkan novel.
penasaran part-part selanjutnya. kayaknya bakal complicated
BalasHapusMe too. semoga Ros mengambil keputusan yang tepat untuk hidupnya.
HapusIya ini renyah sekalii.. Waiting for next part ..
BalasHapusHarapannya semoga tidak hanya renyah, namun juga bernutrisi. hehe. :D
Hapusyoga, kamu berbakat.. ini bagian dari novel? teruskan!!
BalasHapusaaah, itu kata-kata yang paling saya takuti kang.
BalasHapusMudah-mudahan bisa konsisten, rencananya mau dipost di sini untuk part-part selanjutnya.