Sanbenito


Aku melongok keluar melalui jendela rumahku di sudut kota Granada. Tampak kepulan asap kelabu meliuk-liuk membelai udara. Api yang membakar tampak menyelimuti sebuah bangunan tua yang terletak beberapa blok dari rumahku.
            Haviva dan Lavy mulai menangis, mereka memelukku erat sekali. Mataku panas, aku menatap marah kepulan asap itu, seketika kemarahanku menjalari seluruh tubuh dan hinggap begitu kuat di kakiku. Aku sigap melangkah dan meraih kedua bocah yang makin histeris memelukku.

            Di kamarku ada sebuah lemari besar yang kosong cukup untuk Haviva dan Lavy. Aku membuka lemari coklat itu, debu-debu halus berterbangan dari dalamnya.
“Kalian tunggu di sini ya!” ucapku pada kedua bocah tersebut.
“Kau mau kemana?” tanya Lavy, seorang anak lelaki berusia dua belas tahun.
“Aku ingin menyelamatkan kakak kalian,” ucapku seraya mengecup kening kedua bocah itu. “Berhentilah menangis, sayang. Aku yakin kakak kalian akan selamat.”
Aku tidak yakin. Sungguh! Aku bahkan tidak yakin kita semua akan selamat setelah ini.
            Aku siap menutup pintu lemari coklat itu, namun tangan kecil Haviva menggapai lenganku.
“Fatima…, hati-hati!” ia tersenyum bersamaan isak tangisnya.
“Iya, sayang!” ucapku seraya membelai pipinya. “Jangan buka lemari ini sebelum aku membukanya ya!”
***
            Tiga minggu setelah kematian Zaid, kakak laki-lakiku, bahan pangan habis sudah. Aku kehilangan satu-satunya pencari nafkah. Kini perutku lebih sering protes minta asupan, badanku pun menjadi lemah.
            Aku tak mau mati konyol! Tak mungkin berdiam diri terus-menerus di sini. 
            Tapi risiko ditangkap menyelimuti diriku dan menjelma menjadi ketakutan yang begitu besar. Aku mencoba mencari celah dan berpikir mengenai jalan yang cukup aman dilalui. Aku mengintip keluar, kota beraktivitas seperti biasa termasuk moriscos dan marranos yang lalung lalang dengan topi kerucut mereka.
            Aku memutuskan untuk pergi ke rumah bibi, gang-gang kecil menuju rumahnya menjanjikan keamanan. Bibi adalah satu-satunya kerabatku, aku bisa memaklumi kenapa ia tidak menjengukku semenjak kematian Zaid, ancaman terlalu besar diluar sana.
            Semula tidak ada masalah, negeri yang dibentengi oleh tiga keyakinan besar ini telah mampu hidup damai dan saling berdampingan berabad-abad lamanya. Namun nilai-nilai toleransi seolah mengalami pergesaran pasca Reconquista oleh Ferdinand dan Isabella. Penguasa baru ini telah membuat peraturan anyar yang secara keras menyatakan bahwa bumi Andalusia harus terbebas dari agama-agama lain selain katolik. Orang-orang Islam dan Yahudi mulai ditangkapi.
            Aku mengendap-endap lemah seperti tikus kelaparan dengan jantung yang berdetak lebih kencang. Ketika aku berbelok, seorang pemuda berkalung salib tiba-tiba muncul dihadapanku. Kami sama-sama terkejut, aku menatap wajahnya sekilas dan mengenalinya.
“Fatima…,” tegurnya. “Sudah lama tidak melihatmu. Kau baik-baik saja?”
Aku hanya mengangguk, terlalu terkejut untuk berkata-kata. Akankah ia melaporkanku?
“Syukurlah. Aku ikut berbelasungkawa atas kematian Zaid.”
Sekali lagi aku mengangguk. Rasa terkejut itu mulai reda. Nathan adalah tetanggaku bahkan teman bermainku saat kecil, aku kini yakin ia takkan melaporkanku. Hanya saja, akhir-akhir ini prasangka buruk lebih mudah untuk dikembangkan. Jika saudara seiman saja bisa berkhianat apalagi yang lain?
“Dengar Fatima, jalan ini aman dilalui. Orang-orang Yahudi juga memanfaatkan jalan ini. Aku tahu masa-masa ini sulit bagimu, aku tidak bisa banyak membantu. Aku hanya punya ini,” bisiknya. Ia memberiku dua keping perak.
“Terima kasih, Nathan. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu.”
“Sejak dahulu kita sudah terbiasa saling membantu, bukan? Aku harap itu tidak berubah,” ia tersenyum.
Aku membalas senyumnya. “Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”

            Aku tak berhenti bersyukur ketika aku dapat mencapai pintu rumah bibiku. Aku mengetuknya pelan seraya mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Aku mengetuknya lagi dengan lebih keras. Namun tetap tak ada jawaban. Aku tahu seharusnya aku pulang setelah tiga kali mengetuk, tapi aku benar-benar butuh bantuan.
“Bibi, buka pintunya! Ini aku Fatima,” aku menggedornya dan pintu itu tetap bergeming. “Siapa pun di dalam buka pintunya!”
            Baiklah, nyatanya aku hanya menghabiskan energi. Aku kembali menyusuri gang-gang dan menggenggam perak pemberian Nathan dengan lebih erat. Aku tetap harus berhati-hati hanya saja lebih nekad.
            Aku mulai memasuki jalan-jalan besar. Beberapa toko makanan yang dimiliki Muslim dan Yahudi telah tutup. Tapi di ujung jalan sana toko daging paman Ben tampaknya masih beroperasi. Walau seorang Yahudi paman Ben juga berjualan daging yang halal dimakan oleh seorang muslim. Mudah-mudahan ia tidak berubah menjadi Marranos.
            Aku bernapas lega ketika berhasil mencapai toko daging paman Ben. Aku muncul begitu saja di depan pria berkepala botak itu. Syukurlah ia tidak mengenakan Sanbenito, berarti ia bukan Marranos. Ia dengan segera mengenaliku, dulu aku dan Zaid adalah salah satu pelanggan setianya. Mengetahui kami yatim piatu, paman Ben sering memberikan diskon kepada kami.
“Paman Ben!” seruku pelan. bibirku tersenyum lebar, tapi paman Ben tampak sedih.
“Fatima, senang bertemu kembali denganmu. Tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan,” wajahnya nampak pilu. “Setelah membayar pajak yang sangat besar, aku hanya diperkenankan menjual babi.”
Lututku lemas. Bagus sekali kerjamu Ferdinand dan isabella, kejahatan sistemik!
“Tapi aku punya ini, paman,” aku menjulurkan perak pemberian Nathan. “Tolonglah berikan aku apa saja yang bisa dimakan, tapi jelas bukan itu!” aku menunjuk babi-babi gemuk dagangannya.
Rasa iba mengaliri wajah paman Ben, “Tapi anakku, aku tidak menjual apa-apa lagi selain ini. Tapi tunggu dulu sebentar!”
            Paman Ben melangkah masuk ke bagian dalam kedainya. Aku berdiri merapat ke dinding, mataku tajam mengawasi sekitar takut-takut ada orang yang akan menangkapku. Untunglah paman Ben tidak lama.
“Ini untukmu, Fatima.” Ucap paman Ben seraya menyerahkan sebungkus roti padaku.
Aku meraih roti paman Ben dan menyerahkan sebuah koin perak. “Terima kasih, ambil ini paman.”
“Tidak nak, bawa kembali koinmu itu. Aku rela memberikan roti itu kepadamu.” Ucap paman Ben seraya menggerak-gerakkan telapak tangannya tanda menolak.
Aku tersenyum kepadanya, “Terimakasih paman, kebaikanmu tak akan kulupakan. Semoga Tuhan menbalas kebaikanmu.”
“Berhati-hatilah, nak!”

            Aku kembali mengendap dan menyelinap ke dalam gang-gang untuk kembali ke rumah dengan langkah yang lebih cepat namun tetap tak boleh ceroboh. Hujan lebat pagi ini mebuat langkahku berkecipak ketika menginjak genangan air, jika genangan cukup besar maka aku akan berjalan pelan-pelan agar airnya tak mengotori bajuku.
Dari pantulan yang ditimbulkan genangan air aku mengintip bayangan wajahku sendiri sambil bertanya-tanya seberapa lama roti ini akan mampu mempertahankan nyawaku sebelum aku sanggup menjemput makanan baru? Ataukah maut justru lebih dahulu menjemputku?
Genap dua hari makanan terakhir masuk ke perutku, sisanya hanya bergelas-gelas air yang ampuh membuatku kenyang tapi kembung bukan main. Allah, hidupku dalam genggaman-Mu.
***
            Aku mengambil air wudhu dan berniat Berjaga Malam, karena perut yang kosong tak pernah mau diajak tidur. Salat dan memanjatkan doa-doa adalah pilihan terbaik. Baru saja aku merapikan kerudungku dari rambut-rambut dan siap berdiri salat, tiba-tiba pintu rumahku digedor pelan tapi sangat kerap.
            Aku terperanjat, jantungku berdebar-debar cepat sekali. Apakah mereka akan menangkapku?! Gedoran itu terasa semakin keras, aku berpikir mungkin ini akhirnya.
“Fatima…” bisikan itu pelan tapi jelas sekali bagiku. Aku menimbang-nimbang siapakah gerangan di sana.
“Fatima…jika kau di dalam tolong buka pintunya! Ini aku Abigail!”, ucap suara itu sekali lagi.
Abigail?! Kegembiraanku membuncah. Aku bergegas mencapai pintu dan membukakannya. Abigail dan kedua orang adiknya berdiri dihadapanku, kami berdua langsung berpelukan erat.
“Alhamdulillah!” ucapku. Sebulir hangat telah jatuh ke pipiku.
“Fatima, kau baik-baik saja?” tanya Abigail, tangan kanannya mengusap air mata.
Aku mengangguk, memandangi kedua adiknya. “Masuklah, adik-adikmu bisa kedinginan.”
“Syukurlah penglihatanku tidak salah, beberapa hari yang lalu aku melihatmu menyelinap di gang-gang. Aku mau memanggilmu tapi aku takut, akhir-akhir ini kita tidak boleh mencolok.” Ucap Abigail. Ia adalah temanku sejak di sekolah, kami berteman akrab dan merasa cocok satu sama lain karena mengalami nasib yang sama, orangtua kami telah tiada. Abigail malah tidak punya kerabat dekat, tapi Khalifah menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, sehingga orang-orang seperti kami tak perlu khawatir.
“Aku turut berbelasungkawa atas kematian Zaid,” ucap Abigail seraya membelai punggung tanganku. Namun seketika ekspresi marah tampak begitu kentara di wajah gadis Yahudi Sefardim itu. “Pasangan laknat itu harus mendapat hukuman! Kemarin mereka menculik bayi tetanggaku dan memaksa kedua orangtuanya menjadi marranos!
Aku tertegun, seluruh kemarahanku sudah tertelan rasa lapar. Tapi hatiku sakit sekali, apakah ini juga terjadi pada kaum muslimin? Jika dalam sebuah hadits Rasulullah pernah menerangkan akan ada suatu kaum yang ‘masuk surga dengan dirantai’, maksudnya mereka jarang melakukan dosa karena pemimpinnya begitu taat dan sangat mengawasi akhlak rakyatnya sehingga celah untuk berbuat dosa menjadi amat kecil. Tapi jika kaum muslimin dipaksa murtad, apakah mereka akan ‘masuk neraka dengan dirantai’? beserta pasangannya, keluarganya, anak-anaknya?
“Mereka telah melanggar puluhan butir perjanjian dengan Sultan……,” ucapku lirih. “Mereka melakukannya dibalik topeng agama, padahal hanya rakus kekuasaan saja!”
“Apa kau tahu, Fatima? Mereka menyeret orang-orang Yahudi menuju inkuisisi dan membakar perkampunganku, beberapa mulai menyerah dan memakai Sanbenito setelah Ferdinand dan Isabella mengeluarkan Dekrit Alhambra kemarin!”, air mata gadis itu mulai bercucuran, aku memeluknya erat. Haviva sudah tertidur sedangkan terdengar Lavy terisak-isak di sampingku. “Itulah alasanku membangunkanmu selarut ini, Fatima. Aku rasa di sini mungkin masih cukup aman karena mereka memulai dari perkampungan-perkampungan besar.”
“Kita akan selamat Abigail, kau tak perlu khawatir.” Ucapku. Nyatanya aku khawatir, apa lagi ini? “Tapi Abigail, apa itu Dekrit Alhambra?”
“Dekrit Alhambra adalah peraturan yang membuat kita hanya memiliki dua pilihan, mengenakan sanbenito atau meninggalkan Spanyol!”, ucap gadis itu geram.
Aku mematung bukan karena membeku, tapi karena rasa seperti tersengat menjalar ke seluruh tubuhku. Berita ini mampu membuatku lebih lemas ketimbang makanan yang tak jua menjenguk perutku selama berhari-hari. “Benarkah begitu, Abigail?”
“Tapi kita tidak akan diam, Fatima. Kita harus melawan, beberapa sudah ada yang menysun strategi pemberontakan. Tadi sore beberapa tokoh muslim dan Yahudi di Granada sempat bertemu, aku harap mereka bisa menghasilkan sesuatu.”
            Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya, “Semoga, Abigail. Sekarang lebih baik kau tidurlah, kau pasti sudah terlalu lelah hari ini. Aku akan melanjutkan ibadatku dulu.”
Abigail tersenyum, letih dan sisa kemarahan tampak jelas diwajahnya.
***
“Tidak, Abigail! Itu terlalu berbahaya!”, nada suaraku mulai meninggi.
“Tapi dengan pergi ke Sinangog aku bukan hanya bisa beribadat tetapi juga bisa mendapatkan informasi, Fatima!”, ucapnya bersikeras. “Kami orang-orang Yahudi akan berkumpul hari ini di sinagog, Fatima. Pasti ada perkembangan terbaru yang bisa didapat.”
“Tapi bagaimana jika pasukan Ferdinand-Isabella menyerang? Pikirkanlah! Tidakkah kau peduli pada adik-adikmu?”
“Dan apakah kau mau tetap diam?!”, Abigail membentak. “Apakah kau mau mati di sini seperti tikus  pengecut?!”
Rasanya seperti tamparan. Aku tak menjawab apa-apa.
Tiba-tiba sepasang tangan Abigail merengkuhku, “Aku seharusnya tidak bicara begitu, Fatima. Maafkan aku, sungguh maafkan aku!”
Aku membalas rangkulannya, “Tidak apa-apa, Abigail. Kau benar, kita tidak seharusnya diam saja.”
“Kalau begitu aku boleh pergi?”, senyumnya merekah. “Aku berjanji aku akan hati-hati, tolong jaga Haviva dan lavy ya!”
“Aku saja yang pergi,” ucapku.
“Tidak, Fatima! Kau tahu, aku lebih bisa menyamar!”, Abigail mengedip dan mengeluarkan Sanbenito dari dalam tasnya. “Untuk kali ini saja!”.
***
Aku melongok keluar melalui jendela rumahku di sudut kota Granada. Tampak kepulan asap kelabu meliuk-liuk membelai udara. Api yang membakar tampak menyelimuti sebuah bangunan tua yang terletak beberapa blok dari rumahku.
Sinagog itu terbakar!
            Setelah menyembunyikan Haviva dan Lavy dalam lemari aku beregegas mencapai pintu, aku kembali berjingkat-jingkat menyusuri gang-gang dan sebisa mungkin tidak ketahuan bahkan oleh seekor semut sekalipun.
            Kepalaku mengintip dari balik tembok menuju jalan raya, dua bola mataku memebelalak ketika mengintip takut-takut. Pasukan Inkuisisi bergerak kasar membelah jalanan, beberapa orang Yahudi diseret paksa dan meronta-ronta, penangkapan paksa, penderitaan dan kemarahan meledak ruah seperti suar api. Bulu kudukku meremang menyaksikan itu semua, tapi atu kesadaran menyentakkan sebuah sel syaraf di otakku. Abigail!
            Aku menyingkirkan rasa takutku dan meninggalkannya di ujung gang, mengendap-endap di antara bangunan dan keriuhan yang pecah membuatku lebih sulit untuk diperhatikan. Ketika Pasukan Inkuisisi itu lebih sibuk dengan kemarahan para lelaki Yahudi yang nekad melawan di jalan, aku berhasil mencapai bagian belakang sinagog. Orang-orang terlihat berhamburan dari dalamnya, berdiaspora tak keruan seperti segerombolan semut yang tersiram air. Di mana Abigail?!
            Aku nekad menerobos kumpulan itu, beberapa dari mereka lari kesana-kemari dan menabrak satu sama lain, terkepung api dan Pasukan Inkuisisi di jalan raya. Seorang gadis berwajah pucat tampak bingung entah akan lari kemana. Abigail!
            Aku stengah berlari menghampirinya dan berhasil menangkap pundaknya tepat ketika dia menoleh ke arahku.
“Fatima! Sedang apa kau di sini?!”, ekspresi terkejut tampak jelas d wajahnya.
“Aku membawamu keluar dari sini!”
“Kau membahayakan dirimu sendiri!”, ia membelalakkan matanya padaku. “Haviva dan Lavy?”
“Sementara ini mereka aman!”, paparku. “Ayo Abigail, kita tak punya waktu banyak!”
“Tapi kita semua terkepung Fatima!”
“Lewat sini!”, aku segera menarik tangannya dan berlari menuju arah kedatanganku sebelumnya.
            Bagian belakang sinagog ini terhubung langsung dengan lorong-lorong sempit yang dapat menghindari sebagian besar jalan raya. Aku berjalan di depan sedangkan Abigail di belakang karena lorong ini hanya muat untuk satu orang. Ketika mencapai ujung lorong, kami harus menyebrangi jalan raya dan mecapai peti-peti besar di seberang yang dapat menyembunyikan gerak kami.
“Abigail kita harus menyebrang dan mencapai peti-peti itu!”, ucapku seraya menunjuk peti-peti kayu di seberang jalan. “Berhati-hatilah!”
Abigail mengangguk.
            Keriuhan yang pecah kini memuntahkan lebih banyak orang, sepertinya perlawanan dan penagkapan dadakan akibat pertemuan di sinagog itu semakin besar saja. Tiba-tiba trauma dan rasa kehilangan itu menyergapku kembali, peristiwa itu baunya masih segar ketika beberapa golongan kaum muslimin memberontak dan banyak orang ditangkap termasuk…Zaid. Tenggorokanku tiba-tiba tercekat, ada kepedihan yang begitu keras menonjok dadaku.
            Kami cukup pintar dan hati-hati untuk mencapai peti-peti itu, aku segera menggenggam tangan Abigail.
“Segera sembunyi di balik peti-peti itu, Abi…”, aku belum menyelesaikan kalimatku ketika pandanganku menabrak seorang Pasukan Inkuisisi yang tanpa kusadari telah berdiri dihadapan kami.
            Senyumnya menyeringai, “Mau kemana kalian?”
Aku refleks menggenggam erat tangan Abigail dan tanpa aba-aba menariknya ke arah yang berlawanan. Dengan sisa tenaga aku memacu kaki agar membawa kami berlari sekencang-kencangnya, Abigail seperti terbanting-banting mengikuti langkah kakiku dengan tangan lurus tertarik ke depan.
“Fatima…,” teriaknya tertahan. Beberapa Pasukan Inkuisisi mengejar kami di belakang dan makin lama makin memperpendek jarak.
            Kami menikung menuju sebuah gang sempit dan mampu membuat jarak antara kami dan Pasukan Inkuisisi semakin lebar. Tapi ini sementara saja, aku harus mencari cara lain!
            Kami mulai kepayahan, langkah kami semakin menyusut dengan napas yang terengah-engah. Derap langkah mereka bahkan sudah terdengar!
“Ayo Abigail, kita tak dapat berhenti. Kita tidak bisa mundur lagi!”, ucapku, bahkan terdengar putus-putus. Mataku rasanya berkunang-kunang tapi aku menangkap sebuah harapan. “Ayo Abigail, aku punya ide!”
            Beberapa meter di depan kami tampak sebuah peti kayu yang biasa dipakai sebagai tempat penyimpanan buah terletak menjorok diantara dua bagian belakang bangunan sehingga nyaris tak kelihatan, ukurannya lumayan besar dan cukup untuk seseorang masuk ke dalam sana. Seorang saja.
“Tapi ini takkan muat untuk kita berdua!”, seru Abigail.
“Memang tidak akan!”, ucapku dingin.
“Lalu?!”
“Kau masuklah!”, ucapku. Pandanganku terus menoleh ke belakang.
“Tidak Fatima, kau bagaimana?!”
“Jangan pikirkan aku! Masuklah!”
“Tidak!”
“Mereka semakin dekat, Abigail!”, aku membentak. “Kita tak punya waktu lagi!”
            Dengan satu gerakan cepat dan mengerahkan seluruh tenagaku, tanganku membuka peti itu dan mengangkat setengah mendorong tubuh Abigail dan menjebloskannya ke dalam peti. Ia meronta dan memukuli pundakku.
“Fatima! Tidak!”, ucapnya, tapi aku segera menutup peti itu.
“Kau masih perlu hidup Abigail, adik-adikmu membutuhkanmu!”
            Aku berlari mendekati arah datangnya Pasukan Inkuisisi dan menikung menuju gang yang semakin menajuhi peti dimana Abigail kutinggalkan. Mendengar langkah kaki yang cepat, Pasukan Inkuisisi itu mulai mengejar ke arahku semakin dekat. Kini ketika aku menoleh ke belakang aku bisa melihat kelebat bayangan mereka.
            Aku tak bisa terus berlari lagi. Jarakku dan Pasukan Inkuisisi hanya beberapa langkah saja sebelum kurasakan tangan-tangan kekar nan kasar itu menarik tubuhku.
Jika Ferdinand dan Isabella hanya memberikan dua pilihan, maka aku hanya akan mengambil pilihan yang diberikan Tuhanku, mati syahid.

-------------------------------------------------------------------------------
Penulis : ASR
Keberagaman (sesungguhnya) adalah sesuatu yang indah.
#UdahGituAja

3 komentar:

  1. subhanalloh.
    keren sekali. bravo. bravo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe terima kasih kang, kritik dan sarannya diantos :)

      Hapus
  2. Maaf pembaca saya terlewat membubuhkan keterangan untuk beberapa istilah.

    Sanbenito : pakaian yang digunakan oleh muslim dan yahudi yang memilih meninggalkan agamanya daripada harus meninggalkan Spanyol pada masa kekuasaan Ratu Issabela dan Raja Ferdinand dari Aragon. Bentuknya berupa jubah dan topi kerucut.

    Moriscos : seorang muslim yang memilih murtad, ia akan mengenakan Sanbenito.

    Marranos : sama seperti Moriscos, hanya saja seorang Yahudi.

    Pasukan Inkuisisi : Pasukan bentukan Issabela-Ferdinand untuk menangkap dan menghukum orang-orang yang menentang doktrin mereka.

    BalasHapus