Bel
tanda istirahat berteriak mengawali helaan napas lega dari para siswa yang
sedari pagi digerus fisika. Aku langsung bergabung bersama teman-temanku menuju
kantin, cacing-cacing di perut kami sudah berdemo minta makan. Sejenak kulirik
Avan, ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar kelas tanpa ditemani siapa pun,
ia selalu sendiri, sepertinya dunia dalam kepalanya sudah terlalu ramai
baginya, ia juga melangkahkan kakinya ke kantin. Sebenarnya aku ingin lebih
lama menatapnya namun Nadia menarik tanganku untuk segera memilih makanan.
Aku dan enam orang temanku makan
bersama, selain makan mulut
kami pun sibuk berbicara—apa saja—sesekali mataku mencuri sosok
Avan, duduk sendiri jauh dari keramaian. Setelah lebih dari satu semester
orang-orang tak lagi terlalu tertarik membicarakan mengapa ia begitu menarik
diri, tak banyak pula informasi yang bisa didapat mengenainya—selain karena sumbernya pun
tak dapat dipercaya—tentang si tampan yang
misterius, tentang tidak minatnya ia pada dunia sosial, tentang ia yang menjadi
juara umum kelas X semester kemarin.
Aku mulai menikmati mi instanku yang
tidak akan menjadi pilihan makan siang bagi Avan. Aku selalu melihat dirinya memilih makanan yang
sehat, tentu saja mi instan tak terlibat di dalamnya. Aku selalu memperhatikan
kebiasaan dan gerak-geriknya di sekolah, yang kulihat ia begitu rapi dan
teratur. Diam-diam aku mengaguminya tanpa seorang pun yang tahu. Aku tak pernah
bercerita pada satupun dari teman-teman karibku.
Bel tanda masuk tertawa melihat
raut-raut kecewa para siswa yang harus menelan kembali rentetan mata pelajaran.
Selalu bisa dipastikan bahwa Avan lah yang pertama kali masuk ke kelas, namun
ia selalu keluar paling akhir.
***
Nyaris semua siswa di sekolah telah
beranjak pulang, ada yang dengan nyamannya dijemput dengan mobil pribadi ada
pula yang berlari-lari setengah basah mengejar angkot. Aku berdiri bersama
temanku Melly, di kanopi depan sekolahku. Ia menunggu sopir rumahnya menjemput
sedangkan aku menunggu kakak lelakiku yang bersekolah di sekolah lain menjemput
dengan sepeda motornya.
Ketika jemputannya datang, Melly
menawariku untuk ikut bersamanya.
“Ayo,
bareng aja sama aku! Daripada nunggu kakak kamu lama,” tawar Melly.
Aku
menggeleng, “Handphone kakak mati,
aku nggak bisa ngasih tau dia buat nggak jemput!” jawabku. Padahal aku
pun tak enak jika harus merepotkan Melly.
“Kamu
nggak apa-apa nunggu di sini?” tanyanya
khawatir.
“Nggak
apa-apa, tenang aja!” ucapku
menyunggingkan tersenyum. “Aku
kan power puff girl!”
Melly
tertawa mendengarnya, “Ya udah aku duluan, ya!” Ia melambaikan tangan.
“Sip!” kubalas lambaian
tangannya.
Hujan yang semula berupa
tetesan-tetesan jarum yang jarang lambat laut berubah menjadi lebih kerap,
lebih banyak jarum-jarum air yang menghujam bumi. Semilir bau tanah seketika
ditangkap hidungku. Aku berlindung di bawah kanopi dan payung yang telah
kusediakan masih terlipat rapi di dalam tas.
Aku merasa bosan duduk sendirian di
sini, namun aku selalu membawa buku-buku yang kusuka atau novel di dalam tas.
Sangat berguna untuk membuat bosan hengkang di saat seperti ini. Aku menatap
sekeliling, benar-benar sepi. Mungkin masih ada yang tersisa di dalam, namun
entahlah aku tak mau ambil peduli.
Samar-samar aku melihat sebuah sosok
berjalan dari arah koridor dan berhenti di ujungnya. Aku kurang bisa menangkap
siapa dia, tapi yang jelas ia adalah seorang siswa.
Ia tampak bingung untuk menyebrang
ke arah kanopi, derasnya hujan sepertinya menyurutkan langkah. Tampaknya ia
tidak membawa payung, ia memilih berdiri di ujung lorong. Aku berpikir bahwa
payungku cukup besar untuk dua orang, maka aku berniat membantunya untuk membawanya
ke kanopi.
Aku mengeluarkan payung merah
jambuku dan bergegas menuju lorong. Angin yang mengiringi hujan begitu kencang,
hingga aku harus memegang payungku erat-erat. Jantungku berdegup, aku rasanya
ingin berlari kembali saja ke kanopi ketika sukses
menangkap dengan jelas sosok itu. Avan tengah memandangiku yang baru saja tiba
di lorong. Ekspresinya antara terkejut dan heran.
Aku merasa terlanjur basah walaupun
tubuhku kering sama sekali. Aku tersenyum kepadanya, walau aku tahu senyumku
pasti sangat kikuk.
“Mau
nungguin jemputan ya?” tanyaku
kaku. Avan memang selalu diantar jemput, aku tidak pernah melihatnya naik
angkot atau pulang bersama teman.
“Iya,
emang kenapa?” jawabnya datar. Aku menelan ludah.
“Nunggunya
di kanopi kan? Bareng aja yuk, kalau dari sini kan mobilnya nggak keliatan,”
aku merasa amat konyol.
“Nggak
usah!” jawabnya
singkat. Aku nyaris melebur dengan tanah.
“Kalau
di sini kan ber-diri di kanopi kan du-duk,” ucapku bergetar. Aku rasanya ingin
mencair saja. “Ayo!”
Ia
agak terkejut ketika aku menyorongkan payung, mukaku mungkin merah padam,
entahlah aku tak ingin melihatnya.
Dagunya perlahan bergerak ke bawah,
gerakan yang sanggup membuatku seperti
balon yang melayang-layang dan pecah saking
senangnya. Ia mengangguk.
Kini ia berdiri sejajar denganku,
aku memayungi kami berdua. Perasaanku sangat tak keruan, antara sangat senang
dan sangat malu. Aku agak kepayahan memayungi karena ia lebih tinggi dariku,
pasti tampak sedikit konyol, untung saja tidak ada yang melihat. Satu gerakan
Avan yang membuatku terkejut adalah ia mengambil payung dari tanganku dan
memayungi kami berdua. Sekarang terlihat sangat romantis. Hatiku tersenyum
sendiri.
Kami duduk berdua di kanopi, jarak
kami sejengkal. Kakakku belum datang juga, itu pertanda bagus. Namun Avan tidak
mengajakku mengobrol, ia diam saja.
Namun tiba-tiba handphone-nya berbunyi, aku pikir itu telepon ternyata alarm. Ia membuka isi tasnya
dan mengambil sebuah botol, mengeluarkan beberapa pil dari dalamnya.
“Kamu sakit?” tanyaku. Ia tidak menjawab.
Aku jadi merasa tidak enak.
Ia
mengambil botol airnya, isinya tak cukup untuk minum obat.
Aku
mengambil air mineralku, kusorongkan padanya. “Ini, ambil aja!”
Ia
menggeleng.
“masih
baru kok, masih ada segelnya. Ambil aja, daripada nggak minum obat!”
Ia
tampak ragu, namun akhirnya tangan
kanannya meraih
air mineralku. “makasih,” ucapnya. Aku tersenyum.
Avan
berkali-kali mengusap keningnya, kulihat keningnya berkeringat padahal udara
dingin. Alih-alih bertanya ‘kamu sakit apa?’ aku memberinya sapu tangan.
Ia
menoleh dan menggeleng.
“Sapu
tangannya masih bersih, pakai aja!” tawarku. “Kuno sih masih pakai sapu tangan,
tapi aku kurang suka tisu. Selain menimbulkan pencemaran juga bersisa kalau di
jidat, jadi putih-putih gitu, hehe.”
Aku
menangkap samar senyumnya, walau ia tidak total tersenyum tapi aku bisa
merasakan pipiku menghangat karena melihatnya.
Sebuah sedan hitam menepi sekitar
sepuluh meter dari kanopi.
“Tuh
jemputannya dateng!” ucapku.
Ada senang yang menyurut ketika melihat mobil itu.
Sopirnya turun membawa payung, siap
menjemput Avan. Sesaat ia tiba di
hadapan
kami. “Ayo tuan, maaf menunggu lama!” ucap sang sopir. Avan berdiri
mengikutinya.
Sopir
tersenyum kepadaku, “Duluan, Non!’
Aku
membalas senyumnya, “Iya, Pak!”,
hatiku agak mendung karena Avan tak sedikitpun menoleh kepadaku.
Ia terus melangkah menuju mobilnya,
sesaat sebelum menaiki mobil ia menoleh, aku merasa ada yang merekah di dalam
dadaku.
Ia melambaikan sapu tanganku, aku
saja hampir terlupa.
“Bawa
aja dulu!” ucapku
agak keras agar ia bisa jelas mendengarnya.
Kemudian
ia menggenggam kembali sapu tanganku, ia menoleh ke arahku sekali lagi
dan...tersenyum, tersenyum total.
Aku
merekah, benar-benar merekah melihatnya...
***
Ia tak pernah datang lagi keesokan
harinya, hingga satu minggu kemudian aku mendengar kabar bahwa ia pindah
sekolah, aku tidak pernah tahu apa alasannya, tidak ada yang pernah tahu.
Ia pergi,
membawa sapu tanganku dan jutaan sel perasaan dari hatiku.
-----------------------------------------------------------------------
Author : Aya Sofi Rumaisha
*Cerpen yang udah lama banget dibuat, mungkin semester 1 kuliah. Masa yang masih deket sama putih abu-abu :)
Bikin penasaraaan, ayoo bikiin sambungannya mba Ayy ...
BalasHapusini drama korea-able banget deh ceritanya, keren! nae stairiya! hahaha. Bikin sambungannya dong, berapa tahun kemudian gituh. ya, ya? :)
BalasHapusbesok nulis apa ya? haduuuh
BalasHapusBus Gurah we kang upload :D
BalasHapusasa rada alay cerpen eta teh, haha
HapusWEEH TEH AYA...... LIKE THAT... (Y)
BalasHapuscowoknya teh sok sok misterius gitu...
BalasHapuskeren pembukanya euy, gaya humorisnya juga oke
BalasHapus