Karya : Noe
Kemarin, kemarin
dia datang lewati pagar kayu dengan cat warna hijau usang, sudah hampir 5 tahun
dia tidak lewat situ. Tubuhnya tinggi, tegap, berisi, rambutnya yang dulu
gondrong kini di potong rapi, kulitnya coklat terbakar, tapi tidak mengurangi
gelar ‘ganteng’ nya, senyumnya yang agak miring ke kanan sedikit membuatku
yakin kalau ini adalah anak bengal yang setiap malam minggu saat masa SMA dulu,
tidak pernah absen melewati pagar kayu dengan cat warna hijau usang itu,
langkahnya yang berirama ketegasan, menandakan sekarang dia sudah bukan anak
SMA bengal lagi, kini dia resmi jadi seorang prajurit dengan baret merah di
kepalanya.
Yang dulunya dia datang sembunyi-sembunyi ke
beranda rumah, kini dengan mantap dia mengetuk pintu dan mengucapkan salam
kepada ayah dan ibuku, aku mengintip lewat jendela kamar yang biasa dia jadikan
lubang rahasia sebagai tempat mengirim coklat, bunga, dan surat cinta.
“Duduk
dulu dik Satria, Tina nya sedang di kamar, nanti ibu panggilkan.” Ucap ibuku,
sambil masuk ke dalam rumah.
“Terimakasih
ibu.” Ucap Satria melempari ibu dengan senyum khasnya.
Wajah apa yang harus aku pasang? Bahagia? Marah?
Pura-pura lupa ingatan? Ini terlalu membingungkan, 5 tahun dia tidak memberiku
sepucuk surat pun untuk dibaca, aku pikir dia sudah mati diterkam hiu saat
menyebrang lautan, atau tersesat dalam hutan, atau kebanyakan melakukan pompa bumi karena dia paling tidak bisa
bangun pagi. Rindu ini terlalu besar untuk dibendung, aku segera duduk di depan
meja rias, menatap cermin dengan cemas, kurang lentik kah bulu mataku? Atau
berminyak kah wajahku? Pucat kah bibirku? Kenapa alisku tiba-tiba serasa miring
sebelah, ya ampun, kenapa aku ingin terlihat sempurna di matanya, tenang
Agustina, kamu hanya sedang gugup, berperilaku lah seperti wanita pada
dasarnya, jual mahal.
“Tin,
tina, di depan ada Satria, dia sekarang makin ganteng loh, gagah lagi, ayo
cepet keluar.” Ucap ibu berteriak dari luar kamar, memberi informasi yang
sebenarnya aku sudah tahu.
“Hhhhmmmm...”
ucapku yang bergegas lari ke kasur dan menutupi tubuhku dengan selimut
“Tina,
Satria nungguin loh, ayo cepat bangun.” Ibu masuk ke kamar, dan
menggoyang-goyang badanku agar bangun.
Aku berusaha menahan geli, dan tetap menutup
mataku agar ekting ini tetap sukses.
“Hmmm
iya bu iya, Tina bangun.” Ucapku sambil pura-pura menggosok mataku.
“Ayo
cepat sana, satria sudah menunggu.” Ucap ibu sambil kembali ke dapur.
Aku bangun dari tempat tidur, melewati ruang
keluarga, ruang tamu. Semakin dekat dengan beranda, semakin jantung ini
berdegup kencang, dari balik jendela, sudah dapat ku lihat Satria duduk di kursi.
Aku keluar, berbalut rok rempel 15 senti di bawah
lutut berwarna merah muda, dan kaos longgar berwarna kuning, rambutku di kuncir
kuda seperti biasa, poniku menyamping jatuh ke kanan, ‘semuanya tidak ada yang
berbeda, semua masih seperti 5 tahun yang lalu’ ucapku dalam hati.
Kini aku benar-benar ada di beranda, memandangi
pria bengal yang 5 tahun lalu sering menghabiskan malam minggunya bersamaku di
tempat ini. Di menoleh ke kiri tempat dimana sekarang aku diam mematung, dia
berdiri lalu memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan tanpa sadar
akupun melakukan hal yang sama, ibu benar, dia semakin ganteng.
“Hai,
apa kabar?” Ucapnya.
Dari sekian banyak kata basa-basi yang dia
ketahui, dia memilih “Hai, apa kabar?” apakah 5 tahun pembinaan membuatnya
kehabisan perbendaharaan kata.
“Kabarku?
Baik.” Ucapku berusaha untuk tetap tenang dan jual mahal.
Usai aku menjawab, semuanya jadi hening, dia
malah melempariku dengan senyum khasnya yang membuatku jadi tergila-gila.
“Kamu
bagaimana?” Ya ampun Nita, kenapa kamu malah balik bertanya.
“Aku,
aku selalu baik, aku harus selalu baik, aku tau selalu ada yang mengkhawatirkan
aku selama aku pembinaan.” Ucapnya tidak jelas, Satria tidak berubah, dia tetap
menyebalkan, dan jika mengobrol dengannya, dia selalu punya topik aneh yang
membuatku ingin membahasnya.
“Ih
ge-er, siapa juga yang khawatir sama kamu.” Ucapku yang masih berusaha
berakting jual mahal.
“Saya
tidak bilang kamu yang khawatir, meski kalau kamu benar mengkhawatirkan saya,
saya sangat senang.” Jawabnya
Bagus Tina, sekarang kamu baru saja
memperlihatkan betapa khawatirnya kamu sama dia.
“Maksa
banget sih, mau banget ya di khawatirin sama saya!” Ucapku ketus,
bagaimanapun aku harus tetap jual mahal.
“iya,
saya mau banget.” ucapnya
DEG...
Jantungku berdebar kencang, ada rasa senang yang
melompat-lompat kegirangan setelah sekian lama tidak dipertemukan dengan
Arjunanya.
“Gombal!”
ucapku dengan pipiku yang semakin memerah, usahaku untuk menahan senyuman
benar-benar sulit direalisasikan, kala matanya yang selalu bersinar di terpa
cahaya lampu itu menatapku, pertahananku runtuh!
“Kamu
sekarang sudah kerja?” tanyanya lagi.
“Sudah.”
Jawabku singkat
Dia hanya merapatkan bibirnya dan mengeluarkan
suara lewat tenggorokan berbunyi “hmmm” sambil pandangan matanya yang tadi
menatapku dipalingkan ke depan halaman tempat ia memarkir motor tuanya, dia
seperti memikirkan sesuatu, entah apa itu aku tidak tahu, tapi sepertinya
kalimat itu tertahan di sekat-sekat tenggorokannya, atau di rongga dadanya,
atau di hatinya?
“Kalau
pacar sudah punya?” Ucap nya secara langsung.
Aku kaget, bukan main, mendengar itu seperti
mendengar suara Maliq & D’Essential secara langsung, indah tapi masih harus
diterka. Aku menggigit bibir bawahku, menahan senyum. Memberanikan diri untuk
menatap matanya yang padahal sedang melihat ke motor tuanya, apa maksud dia
bertanya seperti itu? Untuk meyakinkan kalau aku masih memegang janjiku 5 tahun
yang lalu? Atau untuk memastikan kalau aku tidak akan sakit hati, jika ia
tiba-tiba bilang punya pasangan baru yang sama-sama anggota angkatan darat?
Ahhh Agustina kenapa sekarang kamu jadi pe-a secara tiba-tiba.
Aku berusaha tenang dan menjawab
“Memangnya kenapa
kalau aku sudah punya pacar?”
Rasakan itu pria bengal, pertanyaan itu bisa buat
kamu skak mat! Tapi dilihat dari senyumannya sepertinya hatinya tidak gentar.
“Tidak apa-apa,
kalau kamu sudah punya pacar, itu artinya sainganku hanya sisa satu.”
DEG...
Satria! Kamu sekarang lebih super menyebalkan
dari 5 tahun yang lalu!
“Dasar
ya! Mentang-mentang sudah jadi perwira, sudah berani rebut-rebut pasangan
orang.” Ucapku yang berusaha menutup-nutupi senyumku akibat kelakuannya.
“Baret
dan seragam ini tidak ada hubungannya saat aku merebut hati wanita, aku ingin
dilihat dari bagian dalam seragam ini, bukan dilihat saat aku sudah pakai
seragam ini, dan kamu yang lebih tau aku, bahkan jauh sebelum aku sudah pakai
seragam ini, itu sebabnya aku datang kemari, untuk memastikan, apakah kamu
masih mengenali aku dari balik seragam ini.” Ucapnya ngawur.
Satria, kamu tidak pernah berubah, realistis,
pede, to the point, sederhana. Kamu selalu jadi yang aku suka.
“Ngomong
apa sih?” ucapku ketus.
“Jadi?
Kita lanjut hubungan 5 tahun yang lalu?” ucapnya tiba-tiba.
Oke ini degupan jantungku yang terakhir DEG...
“Hah?
Balikan? Setelah kamu gak ngasih kabar selama 5 tahun, dan hanya meninggalkan
ikat rambut ini untuk menemaniku sebagai tanda perpisahan? yang benar saja!
Ayo.”
AGUSTINA! Kamu ini bagaimana? Ektingmu untuk jual
mahal dibawa kemana? Kok main ‘ayo’ aja.
Aku lihat dia tersenyum, mata itu arrghh...
kenapa bisa sebersinar itu sih?
“Besok
pagi kamu siap-siap ya, saya sudah izin ke ayah dan ibu untuk meminjam kamu
seharian, tadinya saya ingin hari ini, tapi sebentar lagi sore, tidak baik bagi
kamu keluar malam.” Ucapnya lalu berdiri, yang entah kenapa aku ikut berdiri
dan ikut memandang matanya, entah spontan atau bagaimana, aku hanya bisa diam
kala bibirnya bersentuhan dengan keningku, kapan ya aku merasakan yang seperti
itu? Ah aku ingat, 5 tahun yang lalu!
“Saya
pamit, yah, bu, acara besok sudah saya pastikan jadi, saya sudah dapat izin
dari Agustina.” Ucapnya pada ayah dan ibu.
Ibu dan Ayah mengangguk senyum, aku juga senyum,
berdiri dan mengantarnya sampai ke pagar kayu dengan cat hijau usang.
“Hai,
mmm hati-hati di jalan.” Ucapku.
“Tentu.”
Ucapnya singkat
Aku mendekatinya, menguncikan helmnya yang sedari
tadi tidak dia kuncikan, entah kaget atau senang atau bagaimana, perhatian
kecil itu membuat senyum khasnya itu kembali mengembang.
“Aku
gak mau besok kamu datang tanpa kepala.” Ucapku penuh canda.
Dia tertawa, aku juga.
“Masih
ingat salam kita?” ucapnya
“Masih
jawabku.”
Lalu dia menempelkan ke lima jari tangannya
menjadi satu, membentuk sebuah paruh ayam, aku juga mengikutinya, dia simpan
tangannya di bawah, aku menumpuk tanganku diatasnya, kita saling menempelkan
ujung jari tangan seolah-olah tangan itu sedang berciuman, lalu dengan saat
yang bersamaan kita berdua melepas kelima jari tangan itu dengan melebarkannya.
“Jam 7 pagi, kamu
haru sudah siap ucapnya.”
Dia pergi sambil tersenyum bersama lembayung
senja yang entah kenapa terlihat begitu indah hari ini.
Hari
ini, Aku yang masih galau memilih baju di lemari, di kagetkan dengan suara
ketukan pintu yang disusul dengan teriakan ibu, menandakan satria sudah ada di
beranda rumah, jam berapa sekarang? Aku menoleh ke arah belakang dinding
kamarku, baru setengah 7 dan dia sudah datang? Kemana Satria yang sering ngaret
saat menjemputku? Sekarang dia lebih dari on
time, aku lihat ke kasur hampir dari tigaperempat baju di lemariku sudah
ada disana dan aku belum juga menentukan pilihan, belum menata rias wajahku,
belum pakai parfum, ah kenapa aku ingin terlihat sempurna di depan Satria sih?
Aku
datang ke depan beranda dengan balutan celana katun yang cutbray dengan baju berkerah warna hijau tosca, dan kardigan yang
sewarna dengan celanaku, rambutku di ikat seperti biasa, aku membawa tas
selendang yang sewarna dengan sendal wakaiku.
“Aduh,
maaf nunggu lama.” Ucapku pada satria yang sedari tadi mengobrol dengan ayah di
kursi beranda.
“Tidak
kok, saya juga kebetulan sedang asyik mengobrol dengan ayah.” Ucapnya singkat.
Aku lihat jam tanganku, ya ampun setengah 8,
sekarang siapa yang ngaret?
“Sudah
sarapan? Ayo kamu sarapan dulu.” Ucap Satria, bagus satria kalimat itu sudah
tidak aku dengar selama 5 tahun.
“Sudah
kok tadi shubuh, kamu sudah?” tanyaku.
Dia hanya mengangguk mantap, ada yang berbeda
dari dirinya hari ini, dia tampak lebih rapih, yang biasanya pakai kaos hitam
bertuliskan “The Red Jumpsuit Apparatus” yang
entah berapa minggu sekali di cucinya, jeans robek-robek, rambut gondrong yang
tidak pernah keramas, sekarang berubah jadi balutan, kaos polo warna abu,
sepatu sneakers, rambut cepak
tentara, jam tangan, dan dada yang lebih bidang dan berisi, dia terlihat gagah,
menjurus ke ganteng sih hehe.
“Yah,
saya pamit dulu, Agustina saya pinjam dulu, tidak akan sampai malam kok.” Ucapnya
meminta izin, lalu dia mencium tangan ayah, begitu juga aku yang di balas
kecupan di pipi kiri dan kanan.
Aku
membawa helmku, hatiku berdebar kencang pagi ini, sudah lama kita tidak
melakukan hal ini, kemana kira-kira dia akan membawaku? Ya ampun aku malah jadi
senyum-senyum sendiri, aku sudah naik ke motor tuanya, rasanya ada sebuah
nostalgia yang masih tersimpan rapi di jok motor tua ini, mogok di daerah dago
lah, kena tilang di Jalan Sukarno-Hatta lah, hampir di begal di pasopati lah,
semuanya kembali muncul. Tiba-tiba satria kembali menurunkan standart motornya,
dia berbalik ke arahku, apakah ada yang salah? Tangannya mendekati leherku,
seakan mau mencekik, jemarinya menari di sekitar leherku, aku tegang bukan
main, sampai semua ketegangan itu berhenti dengan bunyi ‘klik’ di kunci helmku.
“Aku
gak mau mengembalikan kamu ke ayah tanpa kepala.” Ucapnya dingin
Sialan Satria! Kamu sudah bikin aku baper
pagi-pagi, ingin ku balas perbuatannya tapi helmnya sudah terkunci, oke skor
kita 1-1.
Kita
berangkat setelah mengucap salam ke ayah yang ada di beranda, tangan ini tanpa
perintah sudah melekat erat di perutnya, kita berangkat, entah mau dibawa
kemana aku hari ini, yang jelas bawa aku jauh-jauh, biarkan tangan ini puas
memelukmu.
Kita berkendara terus, aku tidak tahu mau di bawa
kemana yang jelas jalanan semakin menanjak, oh aku ingat ini tempat favoritku
di Bandung, DAGO ATAS!
Kita duduk di sebuah kursi dan meja yang terbuat
dari kayu, dia memarkirkan motornya di pinggir jalan, ini memang jadi tempat favorit
kita dulu, melihat kota Bandung dari ketinggian, meski sebenarnya jauh lebih
indah jika saja ini malam hari.
“Hehe
kirain mau dibawa kemana?” ucapku.
“Tidak
jauh kok, kita sudah biasa kesini kan.” Jawabnya
Terbiasa? Ya 5 tahun lalu aku sudah jadi
‘terbiasa’
“Jadi
ada apa sampai aku harus diculik kesini, dan tidak bisa mengobrol di beranda
rumah?” ucapku yang langsung ingin to the
point
“mmmm...
mau dengar kabar baik dulu atau kabar buruk dulu?” tawarnya
“mmm...
kabar baik.” Ucapku spontan
“Kabar
baiknya—“ dia tampak mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak merah, oh
tuhan apakah itu? Kotak cincin “---kabar baiknya hari ini aku melamarmu.” Ucap
satria melanjutkan sambil membuka kotak cincinnya “ini milik kamu.” Lanjutnya
lagi.
Wajah apa yang harus aku pasang? Bahagia? Marah?
Pura-pura lupa ingatan? Ini terlalu membingungkan, 5 tahun dia tidak memberiku
sepucuk surat pun untuk dibaca, aku pikir dia sudah mati diterkam hiu saat
menyebrang lautan, atau tersesat dalam hutan, atau kebanyakan melakukan pompa bumi karena dia paling tidak bisa
bangun pagi, dan hari ini dia MELAMARKU! Oh tuhan, ini yang aku tunggu-tunggu!
“Mmmm...
bagaimana ya?” ucapku pura-pura menimbang.
“Bagaimana?”
Ucapnya
“Aku
tanya ayah dulu.” Ucapku
“Aku
sudah tanya ayah tadi pagi saat kamu kebingungan pilih baju, ayah
mengizinkanku, dan katanya semua terserah padamu.”
Satria sejak kapan kamu jadi gerak cepat begini?
Aku
tersenyum, pipiku memerah, dia menggenggam tanganku erat, dia lepas cincin itu
dari tempatnya, menempatkan cincin itu di jari manisku, aku mengangguk sebagai
tanda iya, siapa coba wanita yang tidak senang dilamar pacarnya.
“Meski
aku tahu, kalaupun tadi kamu tidak mengangguk kamu tetap tidak bisa menolak.”
Oke Satria kamu kembali menyebalkan, momen romantis
ini rusak.
“ge-er.”
Ucapku mencubit tangannya, yang diselingi dengan tawa.
Kita berdua larut dalam obrolan tentang dia yang
dibina, tentang aku yang menghabiskan 5 tahunku untuk terus berharap pada tuhan
kalau dia harus pulang dengan selamat, terus seperti itu, sampai kita memesan
makanan, sampai makananya habis dan sampai aku berkata.
“Kabar
buruknya?” ucapku yang hampir lupa ada udang di balik batu ini.
“Kabar
buruknya?” ucapnya menghela nafas
Aku menunggu dia melanjutkan kalimat.
“Kabar
buruknya, besok aku harus ke Kalimantan, aku ditugaskan disana entah sampai
kapan, untuk menjaga perbatasan negara ini.” Ucapnya dengan senyum khasnya yang
kali ini tidak indah karena disertai dengan kabar buruk sialan itu.
Senyumku berubah jadi cemberut, aku menunduk.
“Tapi
kenapa?” tanyaku.
“Aku
jatuh cinta pada negeri ini, karena kamu, dan mengabaikan negeri ini sama saja
aku mengabaikan kamu, aku sudah bukan utuh milikmu, kali ini separuh jiwaku
milik negeri ini, aku pilih kamu karena aku tahu kamu satu-satunya orang yang
bisa dan mengerti itu semua.” Dia menarik daguku agar tidak menunduk, menatap
mataku dalam-dalam.
Aku mengerti, tapi maksudku, terlalu cepat,
penantianku 5 tahun dan negara ini hanya membayarnya dengan 3 hari?
“Jangan
jadi sedih begitu, kamu salah satu alasan kenapa aku bisa bertahan menyeberangi
laut tanpa diterkam hiu, melintasi hutan tanpa hilang arah, dan tidak cedera
walau habis-habisan berusaha dicederai.” Ucapnya
Memang sulit, tapi aku pernah menantinya, maka
tidak ada lasan untukku menyerah menantinya lagi.
Aku menagngguk dan tersenyum balik menatapnya.
“Tapi
kamu janji kali ini kamu harus kirim surat.” Ucapku meminta konpensasi.
“Siap!”
ucapnya tegas ala tentara.
Aku tersenyum, dankembali mencubitnya, hari itu
kita habiskan mengelilingi tempat yang dulu pernah kita kelilingi, sampai pada
hari sudah mulai sore, aku diantar pulang.
“Terima
kasih ya, untuk hari ini.” Ucapku.
“Aku
yang harus berterima kasih, wanita yang tangguh menunggu laki-lakinya selama 5
tahun bisa dibilang langka.” Ucapnya.
Sekarang kamu sadar!
“Sudah
hampir maghrib, ayo saya antarkan dulu ke ayah.” Ucapnya menggandeng tanganku,
menuju beranda dimana ayah dan ibu sudah menunggu.
“Yah,
bu terima kasih sudah izinkan saya meminjam Agustina hari ini, saya sangat
senang.” Ucapnya ramah
Ayah dan ibu menjawabnya dengan ramah pula, ayah
membahas soal keberangkatan Satria ke Kalimantan, ternyata ayah sudah tahu
rencana ini sebelum aku, ayah juga tersenyum melihat jari manisku kali ini
dilingkari cincin, dia menepuk bahu Satria dan menitip pesan dia harus kembali
kesini dengan kepala utuh, satria mengangguk mantap, sebelum pulang kita berdua
kembali melakukan salam rahasia kami. Dia memegang pipiku dan berkata.
“Teruslah
bertahan, maka aku juga akan bertahan sekuat tenaga, mau seberat apapun medan
yang ku tempuh aku harus selamat karena kini aku sudah punya tempat pulang.”
Ucapnya sembari kembali mengecup keningku, dia kembali pergi bersama senja
dengan helm yang sudah terkunci.
Satria aku akan bertahan, mau 5 tahun lagi, atau
tigaperempat abad lagi, aku akan bertahan, karena ku tahu sekarang aku tempatmu
pulang. Hari ini ku akhiri dengan selembar senyum, setitik ingatan yang tak
akan terlupakan, dan setumpuk pakian yang harus dirapikan kembali ke lemari.
Besok,
kumohon besok datang lebih cepat, agar ada besok selanjutnya, dan selanjutnya,
hingga ke besok selanjutnya dimana dia akan pulang kesini, lewati pagar kayu
berwarna hijau usang itu lagi, aku mohon besok akan ada surat darinya memberiku
kabar bahwa dia baik-baik saja, aku mohon besok kita bisa kembali di beranda,
entah pada besok kapan, yang jelas aku ingin besok kita jauh lebih indah dari
besok yang dulu, tenanglah, aku akan menunggumu sampai besok pulang, tertanda orang
yang tidak bisa berekting dengan baik, Agustina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar