oleh: SJ Munkian
Tidak berlebihan rasanya jika peribahasa tentang petak
rumput tetangga yang kehijauannya melebihi hijau petak rumput sendiri didaulat sebagai peribahasa terseksi
sepanjang hayat sosial umat manusia.
Orang seringkali terpana dengan kehijauan rumput tetangga
itu
Padahal bisa saja kehijauan rumput tersebut--memang--adalah
hasil kerja tanpa lelah apalagi menyerah sang pemilik, sehingga petaknya gembur pula subur,
menghasilkan bebungaan yang elok dipandang dan bebuahan yang dapat dipetik
dengan suka senang.
Atau…
Padahal bisa saja kehijauan rumput tetangga itu cuma hasil
kerja penuh rekayasa dan pencitraan sang pemilik yang kedapatan
dehidrasi eksistensi. Rumput milik tetangga yang hijaunya bikin kita
elus dada itu ternyata sintetik, pelastik, dicat malahan dipilok warna
hijau!
Nah, kita tidak tahu kan, kita cuma terlanjur dan terlalu terpana
saja tanpa bersikap bijak tuk menilik maupun mengambil pelajaran
Walau sesungguhnya melihat--apalagi melakukan komparasi dengki--rumput tetangga pun bukanlah pelajaran paling bijak
Yang paling bijak adalah memberikan perhatian pada petak rumput
sendiri, mengasah potensi, membenahi diri dan berusaha menjadikan petak
rumputmu hijau sebagaimana citamu dan pada akhirnya kau dapat menghargai petak
rumputmu sebagai yang paling hijau di antara yang paling hijau, namun tetap
dengan kerendahan hati yang selalu hijau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar