Karena Tak Semua PDKT Berakhir dengan Jadian


Aku masih ingat, ketika itu kita berkenalan dengan malu-malu. Ragu, tapi penasaran. Begitulah kira-kira sensasi yang sama-sama kita rasakan. Maka setelah berhasil mengumpulkan keberanian baru kau ucapkan salam pembuka percakapan. Dan dengan hati yang berdebar-debar aku menjawab semua pertanyaan-pertanyaanmu, juga berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain agar percakapan kita tak berhenti di tengan jalan.

Tak kusangka ternyata kau bergerak dengan cepat. Tak butuh waktu lama rasa malu yang dulu ada dalam dadamu kini berganti menjadi hasrat yang menggebu-gebu. Tanpa banyak mengulur waktu kau langsung bilang suka padaku. Kaget, aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas dan meredakan pipi yang memerah masak. Benarkah ini? Tuluskah semua yang kaukatakan? Bisakah seseorang merasa suka dalam waktu yang begitu singkat?

Aku tak ingin langsung percaya. Di zaman sekarang ini begitu banyak orang yang lihai memainkan kata-kata. Manis di bibir padahal hambar di hati. Semua yang dikatakan tak perlu sesuai dengan apa yang benar-benar dirasakan, melainkan hanya sekadar gombalan. Jika tak hati-hati menilai keseriusan orang, bisa jadi hatiku yang malah jadi korban. Maka dengan penuh kewaspadaan aku bertanya, “kamu serius?”

Dan dengan begitu meyakinkan kau bilang bahwa tak ada salahnya untuk mencoba. Katamu, kau melihat sesuatu dalam diriku yang membuatmu jatuh cinta. Secepat itu kau menyimpulkan? Ya, memang secepat itu. Untuk apa berlama-lama jika yang selama ini dicari sudah hadir di depan mata? Begitu jawaban yang kau berikan padaku.

Pada akhirnya aku bilang, “Baiklah, kau boleh mendekat. Tapi ingat, aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Aku tak bisa memperkirakan apakah perasaanmu padaku akan berbalas atau tidak.” Dan kau bilang tak apa, kau mengerti. Maka kita resmi memasuki tahap pendekatan dengan tujuan mencari kecocokan dan menyelaraskan ketidaksesuaian. Tujuan akhirnya tentu agar kita bisa sukses menjalin sebuah hubungan. Hubungan romantis, bukan sekadar pertemanan.

Kita mulai semakin intensif bercakap-cakap. Sudah makan? Lagi ngapain? Nanti malam aku telfon ya? Begitu setiap hari. Awalnya kita membicarakan tentang bermacam-macam hal. Kau pura-pura bersemangat menjelaskan dan aku berpura-pura tertarik untuk mendengarkan. Hingga pada akhirnya kita mulai kehilangan bahan pembicaraan. Dan dimulailah semua pertengkaran-pertengkaran yang tak perlu itu. Kau mulai sering marah untuk hal-hal yang biasa aku lakukan. Kau mulai rajin menyanggah pandangan-pandanganku tentang berbagai hal. Memaksaku untuk setuju. Kau bahkan mengajariku untuk berbicara sesuai dengan caramu. Kau ingin mengubahku menjadi sesuai dengan seleramu. Maaf, tapi aku tak mau.

Kau mulai menyebutku munafik, orang jahat yang pura-pura baik. Suka tapi tak mau usaha. Usaha untuk mengubah diri sendiri demi menjadi sama dengan calon pasangan? Oh, maaf. Aku memang tidak tertarik.

Jika kau bilang cinta adalah kunci maka sepertinya kamu bukanlah kunci yang kubutuhkan. Karena kunci yang cocok tak akan perlu mengubah apapun dari gembok. Semua lekuknya akan saling melengkapi tanpa perlu saling mengoreksi.

Akhirnya aku katakan: Stop! Tak usah diteruskan. Aku sudah memutuskan bahwa aku tak mau kita jadi pasangan. Dan ternyata itu membuatmu meledak dalam kemarahan. Kau salahkan aku untuk semua yang terjadi. Kau absen kembali semua pengorbanan yang kau lakukan untukku. Pengorbanan-pengorbanan yang sebernarnya tak pernah aku minta tapi tetap kau berikan. Maka wajar jika aku merasa aneh ketika kini kau menuntut balasan.

Kau mulai menceramahiku tentang bagaimana suatu hubungan seharusnya dibangun. Kau pikir aku tak tahu apa-apa, sehingga kau menilaiku sebagai pihak yang salah. Bahkan tak jarang kata-katamu membuatku seolah lebih rendah darimu. Padahal hanya cara pandang kita saja yang tak sama. Tak ada salah benar, semua orang bisa punya pengalaman cinta mereka masing-masing. Kita berdua benar. Ya, kita berdua benar menurut nilai kebenaran kita sendiri-sendiri. Dan bagiku, tak ada yang salah dengan itu.

Tapi kau tetap tak mau diam. Dengan segala cara kau ingin membuatku merasa bersalah. Kau pamerkan lukamu seolah kau adalah korban. Mencaci-caci seolah kau telah habis aku dzalimi. Kau ingin membuatku menyesal karena telah meninggalkanmu. Padahal bukan itu yang kurasakan. Cara-caramu yang menyakitkan membuatku makin yakin bahwa bukan orang sepertimu yang kuinginkan. Meski kadang kesepian, aku masih mampu jalan sendirian. Aku pergi. Selamat tinggal.

Sebagai ucapan perpisahan aku hanya ingin bilang:

Kita memang memiliki cara yang berbeda dalam melihat banyak hal dalam hidup termasuk soal cinta, hati dan hubungan. Kamu mungkin tak suka dengan caraku, aku juga mungkin tak setuju dengan caramu. Tapi itu tak lantas membuat salah satu di antara kita menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Juga tak perlu ada pihak yang merasa disakiti, karena menjadi berbeda bukanlah suatu kejahatan.
Jadi tak usahlah kita saling membenci. Jika cinta ternyata belum hinggap pada kita berdua, tak usah marah. Toh, tak semua PDKT berujung pada jadian, kan?

***
Yoga Palwaguna
25 Juni 2016, di kamar sambil dudukin bantal Suho.
Gambar diambil dari Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar