Homo Sapiens Modern, Pergaulan dan Engkau

Pic by: Oleg Shuplyak



Oleh : SJ. Munkian

Engkau mengaku pulang sendirian. Padahal tentulah tidak, ada aku di sini... Ketahuilah, renggang antara engkau dan aku sesungguhnya lebih sempit dari pas foto ukuran dua kali tiga. Hanya saja engkau tidak mampu merasa, tak peduli sebanyak apa aku menyebut, sesering apa aku teriak, seruah apa aku memanggil. Tidak bisa engkau sadari. Tidak bisa. Tidak. Tidak. Tidak Bisa.
                                                                                               
***


Binatang yang diawali huruf A dan di akhiri huruf G yang populer dikalangan pengumpat, tak rela jikalau terkungkung oleh rantai pada sebuah tiang, malahan jika boleh memilih ia pasti mau membayar apa saja supaya merdeka dari belenggu, sementara homo sapiens modern berkesenangan tuk merantai diri lewat kabel gadget[1] yang tercolok pada soket listrik. Tunggu, tidak, ada teknologi bernama bank energi yang membuat homo sapiens modern tak perlu merasa terkungkung, mereka toh masih bisa leluasa bergerak kesana kemari, sekalipun tetap saja terantai secara portable.          
            Ah sudahlah, aku tidak mau berpikir berat-berat lagi, aku cuma ingin memikirkan engkau saja, aku juga ingin mematai dan menelingai engkau. Men-stalking dengan menyeluruh.
Di C305 engkau berada. Gedung C, lantai tiga, ruang nomor 5. Aku dapat memastikan engkau berada di sana, duduk dan mengikuti kelas. Engkau tentu saja bukan binatang yang kualegorikan di atas, tentu saja bukan sayang. Engkau adalah… seperti… lirik lagu yang dinyanyikan oleh boyband kanak-kanak yang bergenre kedewasaan atau ya paling tidak puber. Engkau seperti… bidadari jatuh dari surga… di hadapanku. Eaa!
“Herbert Marcuse telah lama menduga bahwa masyarakat modern melalui industrialisasi, berbagai macam teknologi, sistem kapitalis, geliat pasar dan perkembangan media akan memunculkan perbudakan baru yang terjadi secara tidak sadar bahkan sukarela.” kata seorang dosen kala mengajar.
            Engkau sedang mengikuti kelas postmodern. Mata kuliah yang buat otak jungkat-jangkit namun belalakan kesadaran dari ilusi modernitas yang menggerus dan serakah. Engkau dan aku seringkali membincangkannya, jadi engkau meminati mata kuliah ini. Pulpen warna biru dijejari engkau yang lentik bergerak, torehkan rangkaian huruf, bentuk kalimat-kalimat di binder, sesekali berhenti dan pulpen membelit ujung rambut. Engkau pelintirkan ujung helainya. Perbuatan itu selalu membuat engkau kian lucu di mataku.
Beberapa temanmu di kelas secara sukarela melakukan perbudakan baru itu, berkutat dengan gadget ; binasakan kemanusian dan kebebasan tuk berinteraksi dengan manusia lain, langiskan pengetahuan dari manusia berpendidikan yang sedang ceramah di depan, lebih memilih tuk mengecek status-status terbaru milik orang nun tak di tempat, atau terlibat di kepingan dunia maya yang maya, atau bermain game virtual. Lets Get Rich, paling hits saat ini. Orang berkecimpung dan gembira kala tersambung game itu, merasa dirinya benar-benar mendapat kekayaan. Padahal bayi iguana yang prematur pun sukar percaya jika ‘rich’ menyebul dari layar tak seberapa saat kita memainkannya.
            Engkau sedang berkonsentrasi mengukuti kelas. Engkau bilang saat wisuda nanti ingin dipanggil : “Nefana Efendi dengan pujian”. Berjuanglah sayang, aku tidak sempat dipanggil dengan cara seperti itu.
Sementara engkau mengikuti kelas, aku mau berkunjung dulu ke rumah.


                                                                         ***        

            Ayah tidak ada di rumah, dia bekerja ke luar sebagaimana maklumat Tuhan pada Adam supaya bersusah payah banting tulang di luar rumah, sementara Eve diberikan susah payah nan kesakitan sewaktu melahirkan, walaupun sewaktu melahirkan aku dan adikku, Ibu menggunakan proses sesar dan sentuhan ilmu medis kekinian lain yang membuat kesakitan tak begitu mengerikan.
Ibu siang-siang begini santai, duduk di sofa. Tipikal Ibu-ibu pengangguran yang bisa ditebak apa yang dia lakukan selain menonton sinema elektronik di televisi. Duhai ibu, sampai kapan engkau menonton tayangan seperti itu, tayangan emosional yang begitu mudah ditebak, seampas kulit kacang namun episodenya sepanjang rel kereta api.
“Enggak apa, Ibu sudah tahu kok ceritanya kayak gimana, habis apa lagi yang bisa ditonton ibu-ibu? Lagian Mas Bramnya ganteng!”, pasti jawabanya begitu.
            Judul sinema elektronik yang sedang ditonton Ibu sekarang adalah Gelora Cinta Membabi Buta. Tokoh Pria utamanya adalah eksekutif kaya raya, tokoh wanita utamanya seorang penjual jamu, entah bagaiamana tukang jamu ini bertemu pria eksekutif. Belakangan ternyata mereka bertemu akibat adegan tabrakan badan yang penuh efek slow motion di sebuah pelataran jalan. Lalu ada tokoh lain yakni wanita sosialita yang hendak dijodohkan dengan si pria, wanita itu adalah tokoh antagonis. Kita dapat langsung tahu itu dari lipstik di bibir yang dibuat sangat merah merona, sorot matanya yang ditajam-tajamkan dan satu lagi yang paling khas yaitu kebiasaannya untuk bicara di dalam hati, “Lihat saja nanti, takkan kubiarkan kamu merebut tunanganku! Hahaha!”
            Ping! Suara gadget ibu berbunyi. Ada sebuah notifikasi. Ibu sekarang tidak terlalu gaptek[2], Ibu kini punya akun path, yang sudah pasti sepaket dengan facebook, twitter, instagram, BBM, line dan jejaring sosial lainnya.
“Icha yang semangat dong kuliahnya!” Ketik Ibu di-gadget-nya. Rupanya Ibu sedang memberi komentar jarak jauh pada Icha—adiku yang sudah abege dan kini indekos itu. Omong-omong statusnya adalah: aduuh kuliah pagi-pagi itu males binggo ;( #huftt
Bu, Icha enggak perlu di-follow, di-like atau di-comment-comment. Kalau mau pantau anaknya, jangan cuma lewat medsos[3]. Medsos itu mainannya Icha. Mainan bisa diotak-atik. Dimanipulasi. Icha bisa saja bikin akun ganda Bu! Datang saja ke kosannya Icha, lihat apa yang terjadi sama Icha. Akan tetapi tidak seperti itu. Ibu merasa cukup dengan mengontrol lewat akun medsos anaknya. Ibu sudah merasa gaul dan kekinian dengan perangkat gadget, Ayah juga sama saja. Pengawasan orangtua gaya baru.


***


            Aku kembali. Engkau baru keluar kelas saat senja kehabisan napas.
“Nongkrong yuk guys!”
            “Ada café baru nih, kita ke sana aja yuk katanya view-nya ajibbb!”
            Orang tua selalu mengeluh bagaimana generasi muda bisa meneruskan kebudayaan, namun keluhan itu tidak berlaku bagi semua kebudayaan. Ada budaya yang sangat tua, sekitar 433 SM, dicetuskan oleh Aristippos dari Kirene. Budaya itu terwariskan hingga kini, yaitu hedonisme. Hedonisme kecil-kecilan seperti makan malam di luar hingga pesta pora yang memorak-porandakan kesahajaan. Hedonisme diturunkan semudah mewariskan sepetak tanah produktif kepada anak mata duitan.
Setibanya di lokasi, rombongan tidak langsung meminta dan memilah menu, tapi mengeluarkan gadget masing-masing lalu melakukan ritual. Membuat status terbaru. Tidak ada yang terganggu tuk buru-buru meminta menu, bukanlah kegiatan kolektif mengisi gizi ke dalam perut, tapi lebih kepada mengisi tempat tongkrong. Sekiranya ritual itu beres atau ketika pelayan berjiwa inisiatif minimal dua kali mendatangi meja, barulah mereka memilah menu.


***


            Engkau undur diri ke toliet. Kuikuti engkau, tak peduli orang mau bilang apa, toh orang tidak bisa berbuat apapun padaku. Di sana, engkau memandang cermin, melihat bola mata. Sudah kuduga. Toilet bukan urusan soal ekskresi[4], tapi urusan lain semisal mengulur waktu, menata rias dan lainnya. Engkau merasa perlu bukti kesegaran pada yang lain, keran diputar segera air mengocor, telapak tangan meraup, saat terasa cukup engkau bilas ke paras. Begitulah untuk tiga kali. Lalu engkau merasa harus melirik pada seorang di pinggir.
            Seorang gadis muda, yang beda mungkin beda dua tiga tahun. Lalu, alam bawah sadar engkau mengeruk memori tentang seseorang. Ada aku di sana. Serentak vertigo mengetuk batok kepalamu, gadis itu ada kaitannya denganku. Aku pun turut mengorek memori, tak perlu lama aku langsung mengenalnya. Itu Icha!
            Merasa dilihat dan namanya dipanggil gadis itu menengok dan memeluk engkau. Erat. Sesuatu yang ingin kulakukan apapun syarat dan ketentuannya.
“Icha… kenapa?”
Ternyata Icha ke toilet memang juga bukan untuk masalah saluran pencernaanya, tapi untuk masalah saluran pergaulannya.
“Uang di ATM-ku habis, baru ingat tadi ludes buat beli tiket dan akomodasi travel ke Raja Ampat!”
Icha! Aku ingin menjitaknya, melaporkannya pada Ibu atau membantunya sebelum Ibu tahu. Siapa yang mengajarinya untuk mentraktir teman-temannya tanpa ada alasan dan keuangan yang jelas? Icha bisa saja bilang dia dalam kondisi darurat, duit habis beli tiket, tapi hahaha! Itu tidak mungkin dia lakukan, dia lebih memilih berdiam di toilet memikirkan suatu cara seolah berharap ilham runtuh dari langit-langit. Langit-langit toilet yang tak begitu sedap.
            “Aku udah janji sama temen-temen!”
 Bullshit jika kamu pernah diberitahu oleh seseorang bahwa berteman itu dengan siapa saja tak perlu pilih-pilih. Seseorang yang memberitahu kamu itu, sepertinya berteman dengan pohon taoge. Berteman harus pilih-pilih! Mana yang dikira baik buat kita, mana yang beri dampak baik mana yang sebaliknya, mana yang bikin kamu tergerus pergaulan mana yang sebaliknya.
            “Nih pakai aja kartu punya aku, malem ini aku gak makan banyak dan aku masih ada uang cash, habis ambil di ATM tadi.”
            Gulanda Icha lenyap seketika seumpama dibersihkan kain lap dengan cairan pembersih kaca yang mahal. Icha memeluk engkau erat. Lagi.
            “Kakak baik banget, kalau aja hal itu enggak kejadian, pasti kakak beneran jadi kakak aku!”
            Vertigo sekali lagi menyentak engkau, kali ini aku juga. Terjadi secara bersamaan, simultan dan nyaris tak tertahankan, hanya saja dapatkah engkau tahu? Aku ada, kurang dari sepuluh senti di hadapanmu saat ini.


***


            Icha melenggang keluar dari toilet dengan penuh percaya diri, kartu sakti telah ia kantongi menuju meja kroni-kroni yang antara segan menolak ditraktir atau tidak tahu diri. Engkau melenggang keluar dari toilet sudah cukup bukti kesegaran di paras. Sialnya itu mengundang mata lelaki sebaya tuk melirik, pun om-om yang jelas-jelas semeja bersama istrinya demikian. Ingin rasanya kusiram mereka dengan air comberan.
            “Selamat makan!” lalu terdengar bunyi ceekkrekkk kamera jadi pengganti syahdu doa.
            Setidaknya, di meja makan  ada tiga bebunyian. Pertama ; bunyi alat makan beradu. Kedua ;  bunyi obrolan di antara sela makan. Ah, sopan santun tidak bicara di meja makan cuma mitos. Ketiga ; bunyi plus getaran gadget. Bukannya dibiarkan saja, tapi selalu direspon. Berikut sebagian isi chat-nya.
Lagi apa?
Aku lagi makan
Makan apa?
Makan Pasta
Mau dong
Sini
‘ngaaa!’
Yang lebar dong
‘ngaaaaaaa…!’ 


***


            Engkau mengaku pulang sendirian. Padahal tentulah tidak, ada aku di sini, mengapung. Ketahuilah, renggang antara engkau dan aku sesungguhnya lebih sempit dari ukuran pas foto dua kali tiga. Hanya saja engkau tidak mampu merasa, tak peduli sebanyak apa aku menyebut, sesering apa aku teriak, seruah apa aku memanggil. Tidak bisa engkau sadari. Tidak bisa. Tidak. Tidak. Tidak Bisa.
            Lampu kamar kosan mati, pun bagian terasnya. Saklar lampu teras ada di luar. Ketika engkau pulang larut dan aku tidak turut bersama engkau, tepat ketika engkau tiba ke teras kosan hendak menyalakan saklar itu, maka selain cahaya yang muncul dari bohlam, aku yang sudah menunggu, muncul dari pojokan bermaksud mengejutkan :“Rooooarrrrr!”
            “AAaaaaaaaa!!”, engkau menjerit. Seseorang keluar dari pojokan saat lampu teras menyala. Seseorang melakukan peranku. Engkau merespon: “Ngagetin tau!
            “Biarin!”
            Seorang kurang ajar yang melakukan peranku menjulurkan lidah. Ia pikir itu membuatnya terlihat menggemaskan. Oh ayolah, monyet yang beratraksi di pinggir jalan pun akan menangis. Namun… engkau malah tertawa dan memukul ia dengan tenaga remeh. Berikutnya engkau dan ia cuma mematung. Lampu di teras telah bercahaya, berdengung pelan, diputari serangga malam.
            “Aku sudah kepoin kamu. Medsos kamu… Hmmm kamu harus bisa move on!”
            Tak ada kata spesial dari kata itu. Move on, berarti pindah. Apakah ia menyuruh engkau pindah kosan karena saklar lampu teras ada di luar? Tidak ada hubungannya. Bahkan, serangga yang berputar pada bohlam di atas kepala engkau juga paham, kata bahwa pindah di sana bukanlah pindah barang atau tempat tapi pindah hati. Kemanakah hati engkau berpindah? Tentu saja kepada ia. Tanganmu ia gamit, segera kutangkis dan kusingirkan, tapi tidak berhasil. Aku tidak bisa menyentuh material fisik lagi.
            “Aku sudah lihat semuanya, status, foto dan kronologi cowok kamu sebelumnya. Dia sudah enggak ada Fana! Sekarang apa?”
            “Dia enggak seperti cowok biasa! Kami menjalin sudah tiga tahun, orang tua kami sudah saling kenal, sudah punya rencana sepuluh dan dua puluh tahun ke depan!”
            “Aku bisa seperti dia!”
            Hei! Aku tidak bisa disamakan dan tidak pernah mau ditiru olehmu! Brengsek!
            “Kamu tidak akan bisa seperti dia!”
            Benar. Hahaha. Rasakan itu!
            “Tapi aku masih ada!”
            Skak mat. Tangan dan tubuh engkau bergetar, membuat ia bernyali untuk memeluk engkau. Mengusap rambut, menyediakan bahu dan menghibur. Telah tiga tahun lamanya kita lalui, paket cerita penuh sebundel harapan yang telah kita petakan, namun kekuatan lain di luar homo sapiens telah membelokan. Aku binasa. Dua minggu. Lalu, engkau didatangi ia. Tuan yang lahir dari gadget dikenal dari medsos. Baru seminggu ia hadir dikehidupan engkau. Seminggu bertubi-tubi.
            “Yuk kita posting new relationship kita!”  
            Pada akhirnya homo sapiens modern memang pandai menggantikan sesuatu.

 --SEKIAN--




 t/path/ig/fb/tumblr/goodreads: SJ Munkian




[1] Gadget dalam bahasa inggris diartikan sebagai perangkat elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus. Pada cerita pendek ini, mari kita satukan pikiran bahwa gadget itu berarti peralatan semacam telepon genggam, tablet dan elektronik lainnya yang bisa mengakses aplikasi media sosial.
[2] Kependakan dari Gagap Teknologi, istilah yang diartikan sebagai ; tidak bisa menggunakan benda elektronik/berteknologi dengan mumpuni.
[3] Kependekan dari Media Sosial
[4] pengeluaran atau pembuangan ampas hasil metabolisme yg tidak dibutuhkan oleh tubuh. Bahasa sederhananya adalah buang air kecil atau buang air besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar