Rizal dan Nisa

Rizal dan Nisa




Berisik!

Aku melihat ke arah jam dinding doraemon yang terpasang di kamarku, menunjukkan pukul 01.41. Gila! Mereka masih bermain videogame sampai pukul segitu? Mereka sudah bermain dari pukul empat sore. Kapan mereka mau berhenti? Mungkin kalau ada zombie datang keluar dari layar televisi mereka baru akan berhenti.

 “Iiiih!!!” Aku mencengkram pulpen dengan keras. Aku sangat kesal dan marah, emosiku entah berbentuk apalagi. Aku tak bisa belajar dengan tenang. Aku  ingin suasana disekitarku tidak bising!

Tapi sudahlah, aku menyerah.
Lagipula sekarang aku mengantuk! Aku turun dari meja dan mencoba untuk tidur.

            “Huahahaha! Pencet segitiga x segitiga x!” gelegar suara dari luar. Sial! Bahkan untuk sekedar tidur mereka tidak memberiku celah!

Ini semua gara-gara Rizal yang membawa teman-temannya bermalam di rumah saat Mama dan Papa pergi dinas. Mereka terus bermain videogame, dengan keberisikannya, tanpa lelah sukses sampai dini hari seperti sekarang. Aku sudah tidak tahan, aku keluar dari kamar dan menggembrak pintu dengan keras.

Jadi begini, kamarku dan Rizal terpisah oleh satu ruangan terbuka yang memiliki lemari dengan televisi dan rak-rak buku. Mungkin ini siasat orangtuaku membuat tempat kesukaanku dan Rizal berada di tengah-tengah kamar kami. Namun sungguh, Mah, Pah, ini tidak tepat! Rizal selalu mendominasi. Apa mungkin perpustakaan tempat membaca bisa disatukan dengan Televisi, Playstasion, Speaker gede, ah... jangan bercanda.

            “Udah malem, Zal. Jangan berisik terus, napa!” aku berseru kepada mereka. Kuperhatikan setidaknya ada empat orang dan semuanya memang orang-orang yang selalu baru setiap datang ke rumah. Banyak sekali orang luar yang dia ajak ke rumah!

            Rizal tidak menatapku dan terus memegang joystick sambil fokus kepada televisi. Beberapa orang di sebelahnya menyenggol Rizal, mungkin memberi peringatan aku keluar dari peradaban. Sampai tulisan di layar adalah Game Over, Rizal baru menoleh dan melirik dengan tatapan kejam-keji-sadis kepadaku, lalu kembali membuang muka.

            “Apa? Jadi game over kan!” dia memarahi teman-temannya.

            Aku sudah muak diabaikan terus. “Zal ini tuh udah jam satu! Gue mau tidur!”

            “Hem!” Jawabnya tanpa menatapku.

            “Gue laporin mama awas aja!”

            Dia benar-benar menyebalkan! Besok aku akan benar-benar laporkan kepada Mama! Awas saja!
*
            “Lebih baik dipisahkan saja, Mah. TV-nya biar dibawa dia ke kamar, berisik mah, aku gak bisa belajar.” Aku merengek, merajuk, pokoknya mencari cara agar aku menjadi pihak yang menang. Rizal menatapku dengan tatapan sinis dan mencemooh, huh awas saja!

            “Duh, sayang, kamar Rizal juga gak boleh ada TV. Dia juga harus belajar. Kalian buat perjanjian aja, jangan saling mengganggu. Kamu, Zal, jangan sering bawa teman sampai larut malam, nanti mengganggu tetangga.” Ucap mama sambil menyimpan teh hangat di depan meja makan. Aku dan Rizal duduk berseberangan dengan mata terus mengejek satu sama lain. Laporanku failed, tapi perilaku Rizal mendapat teguran Mama, aku sudah cukup puas. Haha~

Rizal adalah saudara kembarku, walaupun kami bukan kembar identik dan dia lahir setelahku. Jadi, aku adalah kakaknya! Aku memang tidak akur dengannya. Entah sejak kapan.  Dulu kami tidak begini, aku dan dia tidak pernah sesulit ini. Kami satu angkatan dan bersekolah di sekolah yang sama. Namun karena berbeda tujuan dan haluan, kami bahkan tidak pernah melakukan hal apapun bersama sejak masuk SMA. Dia bersama geng-gengnya yang menurutku melakukan segala hal yang tidak penting di dunia. Dunianya dan duniaku tidak pernah bertemu untuk menyatukan sebuah sisi yang dianggap sama. Tidak pernah!

            Aku menyambut tangan Mama dan mengecup punggung tangannya. Rizal pun melakukan hal yang sama. Kami akan berangkat ke sekolah.

            “Assalamu’alaikum, Mah.”

            “Waalaikum salam. Kalian gak bareng lagi?” tanya Mama. Oh, Mah, kapan kami pergi ke sekolah bersama saat sudah masuk SMA?

            “Haha enggak dong mah, dia kan pakek rok, gak bisa naik sepeda!” Rizal lalu melaju dengan sepeda abu-abunya, meninggalkanku, dengan tega, dan Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala.

            Tapi tidak apa sih, aku selalu diberi ongkos tambahan untuk naik angkot dan kadang kalau ada sisa bisa menjadi tambahan untuk beli buku baru. Aku sudah biasa, dan aku tidak terlalu masalah mengenai hal itu. Aku dan Rizal memang menyukai hal yang berbeda.

            Kadang saat di perjalanan menuju sekolah, aku mengingat bagaimana kami dulu saat SMP sering boncengan menuju ke sekolah. Lalu saat SD aku dan dia malah sering berangkat dan pulang naik angkot, karena Mama dan Papa sibuk dinas kami tidak pernah diantar jemput. Kami sering menghabiskan waktu bersama, setidaknya dulu.

            Aku ingat dia pernah menggigit tangan tukang angkot karena usil kepadaku. Aku pernah ngambek karena Papa membelikannya robot mainan dan akhirnya aku memasangkan baju berbiku pada robot mainannya. Anehnya dia tidak marah dan hanya menangis sambil melepas baju berbiku. Kau tahu, itu terdengar sangat dramatis. Aku selalu tersenyum jika mengingat hal itu. Rasanya sudah begitu lama aku dan dia tidak pernah menghabiskan waktu bersama.

*

            “Eh, si Nisa dari kelas A itu sodara lu, ya? Gue denger dari Hilmi pas nginep di rumah lu.” Aku tak sengaja mendengar percakapan Rizal dan teman-temannya, kok namaku disebut-sebut?

            Aku menguping lebih lama. Mereka ada di belakang kantin sekolah, dan sedang merokok. Rizal tidak ikut merokok, aku tahu dia benci rokok, mengapa sekarang temannya begitu semua?

            “Iya, kenapa?”

            “Jilbab-an ya?”

            “Iya.” Rizal menjawab singkat. Kenapa sih mereka jadi ngomongin aku?

            “Fotoin lah, Nisa tanpa jilbabnya. Kata si Hilmi sih lumayan cakep, emang bener sih. Atau ajak gue ke rumah lu lagi!”

            “Kata siapa cantik?” Rizal langsung menimpal. “Dia jelek. Udah lah gak usah mau kenal, dia jelek, jilbaban, lu bakalan di-dalil habis-habisan sama dia!” lalu Rizal bangun hendak meninggalkan tempat itu.

            Sebelum Rizal meninggalkan tempat itu aku berbalik arah dan berjalan cepat. Eh, kenapa aku harus menguping? Kenapa kok rasanya sesak sesak sekali? Aku sebegitunya ya di mata Rizal? Tak terasa pipiku basah. Aku berlari dengan langkah yang terasa sangat perih sekali.

            Saudaraku sendiri yang mengatakan aku ini jelek. Rasanya tidak nyaman.

*
            Mataku basah, seharian ini aku terus menangis dan mengurung diri di kamar. Rasanya sakit sekali, kekanak-kanakan atau apalah aku tidak peduli. Perempuan itu selalu sensitif mengenai penampilan. Sejutek apapun mereka dengan penampilannya, perempuan selalu ingin dihargai. Tapi apa? Saudaraku sendiri malah menjelek-jelekkan aku, di depan teman-temannya.

            “Heuuuh heuuu...” aku meringis sambil menonjok-nonjok bantal guling. Satu kata bisa meruntuhkan kepercayaan diriku.

“Aku haus.” Karena habis menangis. Aku coba turun dari kasur dan tanpa sadar mataku melihat celengan dari ayam yang sudah kumal, sudah kotor di sebelah lemari belajar. Kok bisa ada di sana, ya? Aku tidak ingat punya celengan bentuk ayam.

Aku mengambilnya, mengocok-kocoknya tapi tidak terdengar suara apapun. Gila kalau yang ditabung itu bukan uang receh berarti uang kertas, dong? Sip, aku bisa kaya! Aku tersenyum dan mengambil silet. Eh, tunggu, celengan ini rasanya sudah kosong. Aku menghela nafas frustasi, aku gagal kaya.

Aku cemberut dan membolak-balik celengan itu. Ternyata ada sebuah tulisan yang sudah agak luntur, dari spidol permanen di bawah celengan ayam itu. Tulisannya seburuk ceker ayam tapi aku kenal tulisan punya siapa ini.

Mangatz nabung, Zal!
Buat beli sepeda!
 Biar ke sekolahnya cepat!
 Biar Nisa gak digangguin abang-abang angkot lagi!

Aku kaget. Itu tulisan Rizal, oh iya ini celengannya sewaktu SD. Aku tahu sepeda Rizal itu hasil uang tabungannya, tapi aku baru tau kalau dia peduli agar aku gak diganggu abang-abang angkot lagi!

Air mataku jatuh kembali. Aku merasakan perasaan hangat, seperti... haru? Aku merasakan kehangatan saudara yang mencoba melindungiku.

Bukankah dari dulu, Rizal kan memang begitu?

Flashback on
“Lama amat sih!” dia menggerutu dan langsung menyiapkan sepedanya. Bahkan Rizal menunggu saat aku ada kegiatan OSIS atau latihan tambahan untuk olimpiade.
            “Gue kan udah bilang jangan nunggu!” aku kesal saat itu, rasanya dia terlalu ikut campur. Kalau menunggu dan marah-marah lebih baik gak usah nunggu!
            “Cepet naik lah! Jangan banyak omong.”
            “Gak usah! Mulai besok gak usah tunggu-tunggu.” Aku berjalan dan naik angkot meninggalkannya. Aku kesal dibentak-bentak.
            Namun setelah itu Rizal tidak pernah menunggu lagi dan seterusnya kami berangsur-angsur dari tidak pernah pulang bareng, juga tidak pernah berangkat bareng.  Aku yang membuat suasana menjadi dingin. Tanpa sadar itu yang membuat jarak antara aku dan Rizal.
Flashback off

Aku buru-buru keluar dan membanting pintu dengan keras. Tepat! Kudapati Rizal berada di sana sedang bermain playstasion sendirian di ruang tengah. Dia tetap terlihat fokus seperti biasanya. Namun saat itu dia membalas bantingan pintuku dengan komentar.

“Keras amat banting pintunya.”

“Temen-temenmu mana?”

“Kenapa?” dia tetap fokus memainkan joystik nya.

“Nanya aja. Gak ngajakin ke rumah lagi gitu, sampai malam?” tanyaku terus.

“Mama kan udah bilang gak boleh. Lagian mereka gak baik.”

“Oh...” aku mangut-mangut, dan tersenyum sedikit. Aku langsung mengambil novel dari rak buku dan duduk menyender ke tembok. Membaca buku, di ruangan yang memang sengaja didesain mama untuk tempatku dan Rizal.

“Ngapain baca di sini? Bukannya bising?” Rizal berhenti bermain dan menatap ke arahku dengan heran. Aku juga heran mengapa tiba-tiba bertingkah seperti ini. Namun aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu.

“Ya udah, yang jelas jangan protes.” Dia sedikit melirikku. “Kenapa mata lu bengkak gitu sih?” tanyanya sambil kembali bermain video game.

“Gue diganggu abang-abang angkot.” Jawabku berbohong.

“Eh? Gak apa-apa?” dia lalu menatapku, tatapan sama khawatir seperti saat SD dulu. Tatapan setelah dia menggigit abang tukang angkot yang usil. Aku hanya tersenyum sambil terus membaca buku.

“Gak apa-apa, kok.”

“Yakin gak apa-apa?” tanyanya memastikan.

 “Enggak. Besok mau berangkat bareng enggak?” Rizal tidak menjawab hanya terus menatap layar televisi. “Kenapa kok gak jawab? Gak mau ya? Lu malu ya punya sodara jelek kayak gue!” aku kembali sensitif.

Rizal menatapku buru-buru. “Ngomong apa sih lu?

“Lu gak jawab. Berarti gak mau.”

“Iya, ayo bareng.”

Aku mengangguk. “Hehe, okeh.”

Aku bisa melihat dia mengulum senyum sambil terus bermain game. Ekspresinya berubah menjadi tidak dingin lagi. “Bayar, tapi!” dia melirikku dengan jahil.

Aku menonjok bahunya dan melanjutkan membaca buku. Dia juga terus bermain video game kesukaannya.

Aku merasakan suasanaku dan dia tidak dingin lagi. Maksudku, semakin kita dewasa akan semakin menemukan apa yang menjadi kesukaan kita, walaupun itu berbeda. Aku dan Rizal mengalaminya, namun ya tidak masalah juga. Jangan dipaksakan untuk sama. Dan itu tak boleh jadi penghalang antara aku dan dia. Egoku tak boleh menjadi tembok yang membatasi kebersamaan aku dan dia.

Kami kan keluarga J

Aku tersenyum bahagia.
***


Rosi Risalah P.

3 komentar:

  1. Cerita yang menghangatkan perasaan. Senang sekali bisa membaca kisah seindah ini.

    *Jadi inget sama kelakuan sendiri yang sering berantem sama saudara. Hihi*

    BalasHapus
  2. Aku selalu punya ide yang sama kek Rosi. Selalu. Dan dia selalu nulis lebih awal pfftttt. Aku juga kepikiran bikin yg kembar begini, tapi aku lalah start wkwk

    BalasHapus
  3. Aku senang sama tulisan ini, karena aku punya adik perempuan dan nyebelinnya minta ampun, tapi yah, suatu saat juga kita bakal saling membutuhkan, salam untuk Rizal, dari Rizal

    BalasHapus