REVIEW BUKU: BUMI MANUSIA

SETORAN BUKU BULAN APRIL KOMUNITAS SUPERNOVA
REVIEW BUKU: BUMI MANUSIA

“Kita kalah, Ma,” bisikku.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Hasil gambar untuk bumi manusia 


Judul                     : Bumi Manusia
Penulis                  : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                 : Lentera Dipantara
Tebal                     : 535 halaman
Genre                    : Roman

Bumi Manusia merupakan sebuah novel roman berlatar akhir tahun 1800 menjelang 1900-an di Surabaya. Buku ini bercerita dari sudut pandang Minke, seorang Pribumi keturunan priyayi, anak Bupati. Dengan status priyayinya ia mendapat kesempatan untuk bersekolah di H.B.S Surabaya. Sebuah sekolah menengah setara SMP+SMA.
Minke adalah siswa yang pandai. Ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan dari sekolah eropa melalui guru-guru yang dilahirkan dan dididik di sana membuat ia berbeda dengan Pribumi pada umumnya. Ia berusaha semampu mungkin untuk keluar dari kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka dengan berkiblat pada pengetahun dan kebudayaan Eropa. Hal ini membuat Minke berjarak dengan keluarganya yang lain, terutama Ayahanda.
Kehidupan Minke tak pernah sama lagi setelah kunjungan pertamanya ke Boerderij Buitenzorg. Di sana lah ia bertemu dengan dua perempuan yang akan mengubah jalur hidupnya: Nyai Ontosoroh dan
Annelies, gadis peranakan Belanda yang membuat ia jatuh cinta.
*
Saya setuju jika Pram disebut sebagai seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak dan aneka motivasi yang serba rumit oleh The New York Times. Ia tidak menggunakan bahasa dengan meledak-ledak melainkan dengan halus dan lembut tetapi menghanyutkan, meski memang membutuhkan kesabaran. Melalui kelembutan itu lah saya sebagai pembaca dibimbing untuk ikut menyelami karakter-karakter yang ia suarakan dalam bukunya. Hingga setiap perubahan emosi yang dialami sang tokoh bisa ikut dirasakan.

Tokoh favorit saya tentu saja—maaf, bukan Minke—Nyai Ontosoroh alias Sanikem. Ia adalah seorang perempuan yang telah dijual oleh ayahnya sendiri kepada sang Tuan Besar Kuasa, Herman Mellema, demi naik jabatan menjadi kassier.

Kesulitan-kesulitan hidup tak menghancurkan Sanikem, malah menjadikannya wanita yang kuat dan berkepribadian. Ia mengajari dirinya sendiri untuk menjadi pengusaha dan pedagang. Tak pernah bersekolah, tapi ia lah yang membawa kemajuan pada perusahaan yang ditinggalkan Tuannya: Boerderij Buintenzorg. Sanikem tak pernah mau disebut Mevrouw. “Nyai”, begitu ia selalu membetulkan. Dengan begitu lah ia menerima asal usulnya. Meski penuh kepahitan ia tak pernah
menyangkal masa lalunya.
*
KUTIPAN-KUTIPAN
“Manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi.”
Nyai Ontosoroh, hal. 101.

“Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.”
Nyai Ontosoroh, hal. 139

“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
Jean Marais, hal. 81

“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Jean Marais, hal. 77

“Mama, pernah Mama berbahagia?”
“Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah, Ann.”
Hal. 109

“Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surge, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini.”
Nyai Ontosoroh, hal. 165

“Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia?”
Minke, hal. 508

*
Yoga Palwaguna
Ditulis untuk setoran buku bulanan di Komunitas Supernova.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar