Dinky
meninggalkan ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Hasil pertemuan dengan
Erick memang tidak memberikan solusi termudah bagi Dinky dan timnya. Tapi kini
setidaknya mereka punya harapan. Yang perlu Dinky lakukan adalah mempersiapkan
timnya agar bisa menang melawan Erick dan sepasukan penari berbakat di
belakangnya. Pertanyaannya, apakah mereka siap?
Begitu mencapai
gerbang sekolah, Dinky mendengar seruan dari parkiran. Rupanya Zen belum
pulang. Dinky mengehentikan langkahnya. Ia berdiri persis di bawah gapura,
menunggu. Zen kemudian menyalakan motornya dan melaju santai ke arah Dinky.
“Gimana hasil
negosiasi sama Erick?”
“Yah, bukan
hasil ideal. Tapi, setidaknya kita sudah bikin kesepakatan.”
“Apa tuh?”
“Kita akan
menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang adil. Kita mau battle.”
“Hah? Battle? Maksudnya berantem? Jangan!
Nanti kamu bisa dapet masalah gede kalo sampe ketahuan sama sekolah.” Raut muka
Zen mendadak tegang. Ada kekhawatiran yang jelas-jelas salah alamat terparkir
di wajahnya.
“Haha, ya bukan
berantem tonjok-tonjokan juga, kali. Ini dance
battle, Zen. Gak akan ada yang terluka, tenang.” Dinky jauh lebih pandai
menyembunyikan kekhawatirannya. Walau bagaimana pun melawan Erick bukan perkara
gampang. Baik itu tonjok-tonjokkan atau adu kemampuan di atas panggung, gak ada
yang mending.
“Sukur lah kalau
gitu. Ya udah, yuk naik!” Zen menyerahkan helm kepada Dinky yang langsung naik
di jok belakang tanpa mengenakannya terlebih dahulu.
Zen sudah hampir
memutar tuas gas, tapi terhenti ketika Dinky menepuk-nepuk pundaknya, menyuruh
Zen menunggu.
“Dara, belum
pulang lo?” Dinky berteriak ke arah koridor kelas sepuluh. Dara terlihat sedang
berjalan sendirian di sana.
“Ya belum lah.
Nih buktinya gue masih di sini.” Sahut Dara dengan balas berteriak sambil terus
berjalan mendekat ke arah Dinky dan Zen.
“Abis ngapain
lo, Dar?” tanya Dinky dengan masih berteriak, meski kini jarak Dara sudah tak
bisa dibilang jauh.
“Gua dipanggil
Pak Marto, disuruh ikut Olimpiade Astronomi se-Jawa Barat.” Dara membalas
dengan volume suara yang tak kunjung turun meski jarak antara mereka sudah
semakin sempit.
“Terus, lo mau?”
Dinky tak mengerutkan kening meski sebenarnya pikirannya terganggu. Dan lagi,
suaranya tak kalah lantang dari seorang pemimpin upacara, padahal dara sudah
tepat di depan wajahnya.
Kali ini, Dara
tak langsung menjawab. Alih-alih dia malah menghembuskan nafas panjang.
Kemudian Dara menepuk pundak Dinky dengan tangan kirinya.
“Gue bilang mau
pikir-pikir dulu.” Akhirnya, teriakan itu terdengar kembali.
Mereka berdua
pun saling memajang senyum yang dua-duanya terlihat canggung.
“Oh iya, lo udah
ketemu Erick, kan? Gimana hasilnya?” kali ini Dara lebih ramah pada pita
suaranya. Ia memilih untuk bertanya dengan suara normal.
Tanpa bermaksud
untuk meniru, kali ini giliran Dinky yang tak langsung memberikan jawaban. Ia
mengembuskan nafas panjang dan tak lupa kemudian menepuk pundak dara dengan
tangan kirinya.
“Kita harus
kumpulin anak-anak, Dara. Semuanya. Nanti gue jelasin sekalian.”
“Oke. Mau kapan,
di mana?”
“Secepatnya.
Besok. Di tempat yang aman. Atap sekolah?”
“Besok sepulang
sekolah. Setuju. Atap sekolah? Gila, lo! Gue lagi gak pengen keseleo, Dinky.
Atap sekolah kita itu pake genteng semua, bukannya balkon.”
“Kan biar
sensasional, Dara. Ya udah, kalo gak mau di tempat biasa aja. Ruangan bawah
tanah di dekat ruang olahraga.”
“Tempat itu cuma
mitos, Dinky. Dan kita gak pernah kumpul di situ. Kita kumpul di perpus aja.
Biar sepi.”
“Oke, call!”
Dinky kemudian
melepas helm yang dipinjamkan Zen. Ia turun dari motor dan kemudian menyerahkan
helm itu pada Dara.
“Zen, lo pulang
bareng Dara aja, yah.”
“Oke.” Sahut Zen
datar.
“Terus lo pulang
pake apa Dinky?” tanya Dara yang tak langsung mengiyakan tawaran Dinky.
“Gue naik gojek
aja. Masih ada sisa saldo gratisan.”
“Beneran nih,
gak apa-apa? Gue gak bakal nanya dua kali, lho.”
“Asli, gak
apa-apa.”
“Ya udah,
thanks.”
***
Dinky dan Dara
sudah duduk berhadap-hadapan di meja bundar yang terletak di tengah-tengah
ruang perpustakaan. Ada beberapa buku tergeletak tak beraturan di sana. Majalah
Horison, koran PR, novel Salah Asuhan yang sampulnya sudah terlepas entah ke
mana. Tak ada majalah fashion atau majalah dunia hiburan internasioanl, tak ada
yang menarik bagi Dinky. Sedangkan Dara terlihat sedang membuka-buka halaman
buku pengantar astronomi.
Tiga siswa kelas
sepuluh datang lima menit sebelum pukul satu. Shelvira, Andini dan Wicki
kemudian ikut bergabung dalam bundaran. Jessia datang menyusul tiga menit
kemudian. Pada saat masuk, kedua tangannya penuh dengan makanan. Di tangan
kirinya tergantung seplastik baso goreng yang diiris julienne, dimasak sampai garing lalu dilumuri sambal mentah dan
ditambah kecap manis. Di tangan kanannya ada minuman teh dalam kemasan yang
terlihat seperti baru dikeluarkan dari lemari pendingin.
“Mana cici lo?”
tanya Dinky pada Jessia begitu ia duduk di sebelahnya.
“Dia lagi ke
toilet dulu. Aneh tuh anak, dari tadi pagi bolak-balik ke toilet mulu. Untung
gratis, kalo bayar udah abis duit berapa tuh.”
“Salah makan
kali. Emang kemaren dia makan apa di rumah?”
“Yah mana gue
tahu Dinky, kita kan gak tinggal serumah.”
“Oh iya, lupa.
Sorry.”
“Jangan
lupa-lupa ah. Tapi lo gak usah minta maaf juga sih. Santai aja.”
Mereka
memutuskan untuk menunggu Jessika datang meski seharusnya diskusi mereka sudah
dimulai pukul satu tepat. Dan Jessika baru datang sepuluh menit kemudian.
Wajahnya memang terlihat sedikit pucat. Tapi pancaran aura Jessika tetap cerah,
cantik, dan anggun seperti biasa, tak ikut keluar bersama diare. Untunglah.
Setelah formasi
lengkap Dinky memulai diskusi. Ia menceritakan kembali semua yang terjadi
ketika ia bertemu Erick kemarin siang. Tentang anak-anak berbakat yang ia
lihat. Tentang kelas bekas yang disulap jadi studio dance. Tentang arogansi dan
sikap sok berkuasa Erick yang Dinky ceritakan sebagai gosip tambahan supaya
diskusi tetap terasa seru dan tentu saja perjanjian yang telah mereka sepakati.
“Inget, guys,
sekarang kita udah gak punya pilihan untuk mundur. Bagaimana pun caranya, kita
harus menang. Cuma itu satu-satunya cara agar kita bisa diakui dan tak
dipandang sebelah mata. Mari kita tunjukkan bahwa kita punya kualitas.” Semua
orang mengangguk-angguk tanda setuju.
“Nah, untuk tiga
hari ke depan gue minta kalian untuk terus latihan. Mau sendiri di rumah boleh,
mau janjian sama yang lain untuk latihan bareng silakan. Nanti hari Minggu,
kita ketemuan lagi di Takoci, di bawah beringin, jam delapan pagi. Kita
sama-sama review skill kita masing-masing dan diskusi lanjutan untuk penentuan
lagu. Sampai sini, ada pertanyaan?”
“Kak, aku mau
nanya, dong.” Shelvira mengangkat telapak tangannya.
“Silakan, cantik.”
“Apa semua orang
dari kita sudah pasti ikut dance battle atau
akan ada seleksi lagi?”
“Itu tergantung
hasil evaluasi hari Minggu nanti. Kalo skill kita semua udah memadai, kakak
akan carikan format yang pas agar kita semua bisa perform. Tapi kalo ada yang
skill-nya masih terlalu minim, ya maaf-maaf.”
Shelvira tak
menyahut lagi, hanya mengangguk pelan.
“Ada lagi? Yang
lain?”
“Pas.”
“Oke. See you on
Sunday, guys.”
***
“Eh, ci, tadi lo
nyatet penjelasan contoh soal matematika gak?”
“Nyatet lah.
Emang lo enggak?”
“Gue tadi
ketiduran, ci. Pinjem catetan lo, dong.”
“Ambil aja di
tas gue.” Jessika kemudian berhenti berjalan. Jessia dengan sumringah
menggeledah tas kakaknya. Semua buku Jessika disampul memakai kertas merah
muda, sehingga Jessia harus membaca satu per satu tulisan yang ada di sampul
depan tiap buku untuk tahu buku yang mana yang ia cari.
Jessia menemukan
buku matematika di bagian paling belakang tas. Ketika ia menarik buku itu, ada
sesuatu terselip di bagian tengan buku. Berbekal kepo, Jessia kemudian
mencabutnya. Ternyata itu adalah satu strip obat yang tak pernah ia minum, jadi
ia tak tahu kegunaannya apa. Ada empat bulatan tempat pil-pil obat bersarang,
tiga di antaranya sudah kosong.
“Lo lagi sakit,
ci?”
“Kagak.”
“Nih, ada obat
di tas lo.”
“Itu vitamin!”
Jessika langsung gesit menyahut. Ia berbalik menghadap adiknya yang sudah
memegang sebuah buku bersampul merah muda dan satu strip obat di tangannya yang
lain.
Dengan
tergesa-gesa Jessika merebut strip obat itu dari adiknya, memasukkannya kembali
ke dalam tas dan menutup rapat-rapat resletingnya dalam satu tarikan ringkas.
Tanpa banyak
omong, Jessika langsung balik berjalan. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek
depan sekolah. Jessia mengikuti dari belakang.
“Salam buat mami
ya, ci,” kata Jessia ketika kakanya sudah duduk cantik di jok belakang ojek langganan.
“Lo tahu salam
lo gak akan gue sampein. Suruh papi dateng ke rumah kalo berani.”
Jessika memberi
kode kepada tukang ojek untuk segera melaju. Jessia berdiri di pinggir jalan,
menatap kakaknya yang makin lama makin tak kelihatan.
***
Sebelnya sama cerbung yang keren tuh selalu bikin ga pengen berhenti baca eh tp udah abis harus nunggu episode berikutnya
BalasHapussemoga cerbung ini adalah salah satunya. haha.
HapusTermasuk bangeeet.
BalasHapus