미션은 성공! (Mission Success!) Episode 3

Dinky meninggalkan ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Hasil pertemuan dengan Erick memang tidak memberikan solusi termudah bagi Dinky dan timnya. Tapi kini setidaknya mereka punya harapan. Yang perlu Dinky lakukan adalah mempersiapkan timnya agar bisa menang melawan Erick dan sepasukan penari berbakat di belakangnya. Pertanyaannya, apakah mereka siap?

Begitu mencapai gerbang sekolah, Dinky mendengar seruan dari parkiran. Rupanya Zen belum pulang. Dinky mengehentikan langkahnya. Ia berdiri persis di bawah gapura, menunggu. Zen kemudian menyalakan motornya dan melaju santai ke arah Dinky.

“Gimana hasil negosiasi sama Erick?”

“Yah, bukan hasil ideal. Tapi, setidaknya kita sudah bikin kesepakatan.”

“Apa tuh?”

“Kita akan menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang adil. Kita mau battle.”

“Hah? Battle? Maksudnya berantem? Jangan! Nanti kamu bisa dapet masalah gede kalo sampe ketahuan sama sekolah.” Raut muka Zen mendadak tegang. Ada kekhawatiran yang jelas-jelas salah alamat terparkir di wajahnya.

“Haha, ya bukan berantem tonjok-tonjokan juga, kali. Ini dance battle, Zen. Gak akan ada yang terluka, tenang.” Dinky jauh lebih pandai menyembunyikan kekhawatirannya. Walau bagaimana pun melawan Erick bukan perkara gampang. Baik itu tonjok-tonjokkan atau adu kemampuan di atas panggung, gak ada yang mending.

“Sukur lah kalau gitu. Ya udah, yuk naik!” Zen menyerahkan helm kepada Dinky yang langsung naik di jok belakang tanpa mengenakannya terlebih dahulu.

Zen sudah hampir memutar tuas gas, tapi terhenti ketika Dinky menepuk-nepuk pundaknya, menyuruh Zen menunggu.

“Dara, belum pulang lo?” Dinky berteriak ke arah koridor kelas sepuluh. Dara terlihat sedang berjalan sendirian di sana.

“Ya belum lah. Nih buktinya gue masih di sini.” Sahut Dara dengan balas berteriak sambil terus berjalan mendekat ke arah Dinky dan Zen.

“Abis ngapain lo, Dar?” tanya Dinky dengan masih berteriak, meski kini jarak Dara sudah tak bisa dibilang jauh.

“Gua dipanggil Pak Marto, disuruh ikut Olimpiade Astronomi se-Jawa Barat.” Dara membalas dengan volume suara yang tak kunjung turun meski jarak antara mereka sudah semakin sempit.

“Terus, lo mau?” Dinky tak mengerutkan kening meski sebenarnya pikirannya terganggu. Dan lagi, suaranya tak kalah lantang dari seorang pemimpin upacara, padahal dara sudah tepat di depan wajahnya.

Kali ini, Dara tak langsung menjawab. Alih-alih dia malah menghembuskan nafas panjang. Kemudian Dara menepuk pundak Dinky dengan tangan kirinya.

“Gue bilang mau pikir-pikir dulu.” Akhirnya, teriakan itu terdengar kembali.
Mereka berdua pun saling memajang senyum yang dua-duanya terlihat canggung.

“Oh iya, lo udah ketemu Erick, kan? Gimana hasilnya?” kali ini Dara lebih ramah pada pita suaranya. Ia memilih untuk bertanya dengan suara normal.

Tanpa bermaksud untuk meniru, kali ini giliran Dinky yang tak langsung memberikan jawaban. Ia mengembuskan nafas panjang dan tak lupa kemudian menepuk pundak dara dengan tangan kirinya.

“Kita harus kumpulin anak-anak, Dara. Semuanya. Nanti gue jelasin sekalian.”

“Oke. Mau kapan, di mana?”

“Secepatnya. Besok. Di tempat yang aman. Atap sekolah?”

“Besok sepulang sekolah. Setuju. Atap sekolah? Gila, lo! Gue lagi gak pengen keseleo, Dinky. Atap sekolah kita itu pake genteng semua, bukannya balkon.”

“Kan biar sensasional, Dara. Ya udah, kalo gak mau di tempat biasa aja. Ruangan bawah tanah di dekat ruang olahraga.”

“Tempat itu cuma mitos, Dinky. Dan kita gak pernah kumpul di situ. Kita kumpul di perpus aja. Biar sepi.”

“Oke, call!”

Dinky kemudian melepas helm yang dipinjamkan Zen. Ia turun dari motor dan kemudian menyerahkan helm itu pada Dara.
“Zen, lo pulang bareng Dara aja, yah.”

“Oke.” Sahut Zen datar.

“Terus lo pulang pake apa Dinky?” tanya Dara yang tak langsung mengiyakan tawaran Dinky.

“Gue naik gojek aja. Masih ada sisa saldo gratisan.”

“Beneran nih, gak apa-apa? Gue gak bakal nanya dua kali, lho.”

“Asli, gak apa-apa.”

“Ya udah, thanks.”
***

Dinky dan Dara sudah duduk berhadap-hadapan di meja bundar yang terletak di tengah-tengah ruang perpustakaan. Ada beberapa buku tergeletak tak beraturan di sana. Majalah Horison, koran PR, novel Salah Asuhan yang sampulnya sudah terlepas entah ke mana. Tak ada majalah fashion atau majalah dunia hiburan internasioanl, tak ada yang menarik bagi Dinky. Sedangkan Dara terlihat sedang membuka-buka halaman buku pengantar astronomi.

Tiga siswa kelas sepuluh datang lima menit sebelum pukul satu. Shelvira, Andini dan Wicki kemudian ikut bergabung dalam bundaran. Jessia datang menyusul tiga menit kemudian. Pada saat masuk, kedua tangannya penuh dengan makanan. Di tangan kirinya tergantung seplastik baso goreng yang diiris julienne, dimasak sampai garing lalu dilumuri sambal mentah dan ditambah kecap manis. Di tangan kanannya ada minuman teh dalam kemasan yang terlihat seperti baru dikeluarkan dari lemari pendingin.

“Mana cici lo?” tanya Dinky pada Jessia begitu ia duduk di sebelahnya.

“Dia lagi ke toilet dulu. Aneh tuh anak, dari tadi pagi bolak-balik ke toilet mulu. Untung gratis, kalo bayar udah abis duit berapa tuh.”

“Salah makan kali. Emang kemaren dia makan apa di rumah?”

“Yah mana gue tahu Dinky, kita kan gak tinggal serumah.”

“Oh iya, lupa. Sorry.”

“Jangan lupa-lupa ah. Tapi lo gak usah minta maaf juga sih. Santai aja.”

Mereka memutuskan untuk menunggu Jessika datang meski seharusnya diskusi mereka sudah dimulai pukul satu tepat. Dan Jessika baru datang sepuluh menit kemudian. Wajahnya memang terlihat sedikit pucat. Tapi pancaran aura Jessika tetap cerah, cantik, dan anggun seperti biasa, tak ikut keluar bersama diare. Untunglah.

Setelah formasi lengkap Dinky memulai diskusi. Ia menceritakan kembali semua yang terjadi ketika ia bertemu Erick kemarin siang. Tentang anak-anak berbakat yang ia lihat. Tentang kelas bekas yang disulap jadi studio dance. Tentang arogansi dan sikap sok berkuasa Erick yang Dinky ceritakan sebagai gosip tambahan supaya diskusi tetap terasa seru dan tentu saja perjanjian yang telah mereka sepakati.

“Inget, guys, sekarang kita udah gak punya pilihan untuk mundur. Bagaimana pun caranya, kita harus menang. Cuma itu satu-satunya cara agar kita bisa diakui dan tak dipandang sebelah mata. Mari kita tunjukkan bahwa kita punya kualitas.” Semua orang mengangguk-angguk tanda setuju.

“Nah, untuk tiga hari ke depan gue minta kalian untuk terus latihan. Mau sendiri di rumah boleh, mau janjian sama yang lain untuk latihan bareng silakan. Nanti hari Minggu, kita ketemuan lagi di Takoci, di bawah beringin, jam delapan pagi. Kita sama-sama review skill kita masing-masing dan diskusi lanjutan untuk penentuan lagu. Sampai sini, ada pertanyaan?”

“Kak, aku mau nanya, dong.” Shelvira mengangkat telapak tangannya.

“Silakan, cantik.”

“Apa semua orang dari kita sudah pasti ikut dance battle atau akan ada seleksi lagi?”

“Itu tergantung hasil evaluasi hari Minggu nanti. Kalo skill kita semua udah memadai, kakak akan carikan format yang pas agar kita semua bisa perform. Tapi kalo ada yang skill-nya masih terlalu minim, ya maaf-maaf.”

Shelvira tak menyahut lagi, hanya mengangguk pelan.

“Ada lagi? Yang lain?”

“Pas.”

“Oke. See you on Sunday, guys.”
***

“Eh, ci, tadi lo nyatet penjelasan contoh soal matematika gak?”

“Nyatet lah. Emang lo enggak?”

“Gue tadi ketiduran, ci. Pinjem catetan lo, dong.”

“Ambil aja di tas gue.” Jessika kemudian berhenti berjalan. Jessia dengan sumringah menggeledah tas kakaknya. Semua buku Jessika disampul memakai kertas merah muda, sehingga Jessia harus membaca satu per satu tulisan yang ada di sampul depan tiap buku untuk tahu buku yang mana yang ia cari.

Jessia menemukan buku matematika di bagian paling belakang tas. Ketika ia menarik buku itu, ada sesuatu terselip di bagian tengan buku. Berbekal kepo, Jessia kemudian mencabutnya. Ternyata itu adalah satu strip obat yang tak pernah ia minum, jadi ia tak tahu kegunaannya apa. Ada empat bulatan tempat pil-pil obat bersarang, tiga di antaranya sudah kosong.

“Lo lagi sakit, ci?”

“Kagak.”

“Nih, ada obat di tas lo.”
“Itu vitamin!” Jessika langsung gesit menyahut. Ia berbalik menghadap adiknya yang sudah memegang sebuah buku bersampul merah muda dan satu strip obat di tangannya yang lain.

Dengan tergesa-gesa Jessika merebut strip obat itu dari adiknya, memasukkannya kembali ke dalam tas dan menutup rapat-rapat resletingnya dalam satu tarikan ringkas.

Tanpa banyak omong, Jessika langsung balik berjalan. Langkahnya cepat menuju pangkalan ojek depan sekolah. Jessia mengikuti dari belakang.

“Salam buat mami ya, ci,” kata Jessia ketika kakanya sudah duduk cantik di jok belakang ojek langganan.

“Lo tahu salam lo gak akan gue sampein. Suruh papi dateng ke rumah kalo berani.”


Jessika memberi kode kepada tukang ojek untuk segera melaju. Jessia berdiri di pinggir jalan, menatap kakaknya yang makin lama makin tak kelihatan.

***

3 komentar:

  1. Sebelnya sama cerbung yang keren tuh selalu bikin ga pengen berhenti baca eh tp udah abis harus nunggu episode berikutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga cerbung ini adalah salah satunya. haha.

      Hapus