미션은 성공! (Mission Success!) Episode 4

Jessia melangkah santai, bahkan cenderung berlambat-lambat. Seolah-olah ia sedang berada dalam dimensi waktu yang berjalan lebih malas dari seharusnya. Setiap detik mengembang menjadi berkali-kali lipat panjang aslinya. Pikirannya tak sejalan dengan langkah kakinya. Ingatannya tak sedang ada di jalan ini, melainkan di suatu tempat yang jauh. Suatu tempat yang jalan untuk sampai di sana hanya bisa ditempuh dengan satu cara: melamun dan berandai-andai.

Angin sore membelai tubuh Jessia, melayangkan pikirannya ke tempat yang lebih dalam lagi, semakin jauh dari kenyataan. Anggap saja angin yang baru berembus ikut menerjangkan debu dan kotoran sehingga kedua sudut mata Jessia basah berair. Padahal jika mau jujur, Jessia tahu yang membuat matanya kelilipan bukan debu atau kotoran melainkan kenangan dan impian. Kenangan tentang kebahagian yang kini telah menjadi bayangan samar, dan impian yang sepertinya masih jauh untuk menjelma menjadi kenyataan. Dengan ujung sweaternya yang menjuntai menutupi lengan, Jessia mengeringkan pipinya yang membasah.

Jessia tak berjalan menuju rumah. Seperti biasa, sepulang sekolah, jika tak ada janji latihan bersama Dinky atau temannya yang lain di grup cover dance, ia akan pergi ke Takoci.

Sore-sore begini, di sepanjang pinggiran Takoci sudah ramai gerobak-gerobak berjajar membuat barisan. Berbagai macam makanan dibuat, dipajang dan dijajakan di sini. Mulai dari berjenis-jenis gorengan, seperti pisang goreng, nasi goreng, ayam goreng, mie goreng, sampai berbagai macam jenis bakso dan mie ayam. Cakue dan odading juga tak mau ketinggalan. Dan sudah jadi rahasia umum bahwa Martabak dan Roti bakar telah lama menjadi sepasang primadona.

Jessia terus mengayunkan kakinya menuju gerbang masuk Takoci. Terletak di antara tenda penjual pecel lele dan gerobak penjual kue putu, adalah tujuan Jessia. Sebuah gerobak bertuliskan Lumpia Basah yang dicat warna merah terlihat pengap dipenuhi para pembeli yang sedang sabar mengantre.

Perasaannya yang tadi terasa dingin terkena angin dan badai nostalgia kini terasa hangat kembali ketika ia melihat sosok yang ada di balik gerobak itu. Tangannya amat terampil meracik bumbu, irisan bengkuang, telur, dan taoge menjadi hidangan yang membuat orang-orang ketagihan. Wajahnya tak pernah kehilangan senyuman. Dari dia lah Jessia belajar tentang satu-satunya cara untuk menjadi bahagia: selalu bersyukur.

Bagi mereka pekerjaan adalah berkah, melayani pelanggan adalah berkah, sekolah adalah berkah. Masa lalu adalah berkah. Semua yang terjadi dalam kehidupan manusia sejatinya adalah berkah, maka tak ada cara lain untuk menjalani hidup kecuali dengan bersyukur. Dengan begitu mereka saling menguatkan diri dalam mengarungi kehidupan. Meski hanya berdua, mereka merasa cukup. Meski cuma berdua mereka merasa lengkap.

Perasaan melankolis yang tadi sempat hinggap ia halau jauh-jauh. Tak ada waktu untuk mengeluh, para pembeli sudah menunggu. Ini saat yang tepat bagi Jessia untuk membantu, bukan malah membatu.

Sigap, ia menggulung ujung-ujung sweater-nya hingga sebatas siku. Dengan cekatan ia mulai membantu ayahnya menuntaskan pesanan yang semakin lama semakin banyak berdatangan. Tak ada keluh kesah, mereka bekerja dengan bahagia.

***

Shelvira, Wicki dan Andini sudah dua hari ini pulang terlambat ke rumah mereka masing-masing. Alasannya, sepulang sekolah mereka berlatih di Takoci. Jika ada tempat kosong yang cukup untuk mereka gunakan menari, mereka tak akan segan untuk mulai menumpuk tas mereka di pojokan, memutar musik dan mulai beraksi.

Berkat ide gila Dinky beberapa minggu lalu, kini mereka tak lagi merasa malu untuk menari di tempat umum. Kepercayaan diri mereka meningkat beberapa kali lipat, tak akan menciut meski orang-orang yang lewat kadang melihat mereka dengan tatapan berbagai macam. Entah itu tatapan heran, aneh, atau bahkan menertawakan. Semua itu tak ada yang mempan. Mereka tetap fokus menyempurnakan gerakan demi gerakan.

Hari ini adalah hari terakhir sebelum jadwal evaluasi tiba. Yang datang untuk berlatih ternyata bukan hanya mereka bertiga. Dinky, Dara dan Jessika sudah ikut bergabung sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan Jessia pun menyempatkan untuk datang. Ia meminta izin kepada ayahnya untuk mampir ke tempat teman-temannya yang lain berlatih. Ia janji tak akan lebih dari satu jam. Dan tentu saja, ayahnya dengan senang hati mengiyakan.

Keringat membasahi seragam putih mereka. Juga wajah mereka yang memerah karena lelah. Tapi selain itu, yang juga terlihat sama pada mereka semua adalah pancaran semangat dan keceriaan yang begitu kentara. Bersama-sama melakukan hal yang mereka sukai ternyata bisa menjadi kegiatan yang amat menyenangkan. Sejenak mereka lupakan soal kompetisi dan persaingan, mereka hanya ingin menari sepuasnya.

Gelak tawa mengakhiri latihan mereka. Matahari sudah semakin jauh menuju belahan bumi yang lain. Sebelum ia benar-benar tenggelam, mereka harus segera bergegas  pulang.

“Temen-temen, makasih yah udah pada nyempetin untuk latihan. It was so fun! Istirahat yang cukup, tidur yang nyeyak. Besok jangan sampai datang terlambat, ya!” Dinky menyudahi sesi latihan mereka dengan wajah sumringah.

Trio anak kelas sepuluh pamit pulang lebih dulu. Kemudian Dara menyusul. Dinky pun berlalu bersama Zen yang ternyata sedang jajan ketan bakar di dekat situ.

“Gak mampir dulu, ci? Gue kasih lo lumpia basah gratis, lho!” kata Jessia pada kakaknya dengan nada ngarep yang tak terlalu kelihatan.

“Ogah, ah! Berapa banyak tuh kalorinya, gue bisa gendut nanti. No!”

Jessia terdiam sebentar, lalu dengan wajah yang berusaha meyakinkan ia bekata,

“Mampir doang juga gak apa-apa kok ci. Kalau gak mau jajan, cuma sekedar salaman juga gak apa-apa.”

Jessika tak mengatakan apa-apa. Untuk beberapa saat, ia tak melepaskan tatapannya dari Jessia. Hingga kemudian akhirnya ia mendekat dan merangkul adik kembarnya erat-erat. Ia kemudian berbisik di telinga Jessika.

“Bisa ketemu lo aja gue udah seneng. Dan bagi gue itu cukup. Gue gak mau ngarepin yang lebih. Dan sebaiknya, lo juga begitu. Mengharapkan sesuatu yang lebih dari semestinya kadang malah bikin kita kehilangan segalanya, Jess.”

Kata-kata Jessika biasanya terdengar sinis, tapi tidak kali ini. Ucapannya terdengar begitu tulus, namun justru itulah yang membuatnya terasa lebih menyakitkan.

Jessia termenung dengan ucapan Jessika yang masih mendengung-dengung di kepalanya. Ia lambaikan tangan ke arah kakaknya yang pergi melaju menumpang ojek. Ia pergi lagi. Dan Jessika tetap ditinggalkan. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa melihat saudaranya itu berlalu menjauh tanpa punya hak untuk  mengejar.

Mungkin benar, ia seharusnya tetap merasa cukup meski rumahnya hanya diisi dua orang saja. Dan sedikit harapan untuk mendatangkan dua orang lagi ke rumahnya, sebaiknya ia lupakan saja. Menginginkan berkah yang berlebihan memang tak pernah baik. Manusia harus tetap tahu diri di hadapan Kehidupan.

***

Yoga Palwaguna.
Gambar dari Google.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar