Jessia melangkah
santai, bahkan cenderung berlambat-lambat. Seolah-olah ia sedang berada dalam
dimensi waktu yang berjalan lebih malas dari seharusnya. Setiap detik
mengembang menjadi berkali-kali lipat panjang aslinya. Pikirannya tak sejalan
dengan langkah kakinya. Ingatannya tak sedang ada di jalan ini, melainkan di
suatu tempat yang jauh. Suatu tempat yang jalan untuk sampai di sana hanya bisa
ditempuh dengan satu cara: melamun dan berandai-andai.
Angin sore membelai
tubuh Jessia, melayangkan pikirannya ke tempat yang lebih dalam lagi, semakin jauh
dari kenyataan. Anggap saja angin yang baru berembus ikut menerjangkan debu dan
kotoran sehingga kedua sudut mata Jessia basah berair. Padahal jika mau jujur,
Jessia tahu yang membuat matanya kelilipan bukan debu atau kotoran melainkan
kenangan dan impian. Kenangan tentang kebahagian yang kini telah menjadi
bayangan samar, dan impian yang sepertinya masih jauh untuk menjelma menjadi
kenyataan. Dengan ujung sweaternya yang menjuntai menutupi lengan, Jessia
mengeringkan pipinya yang membasah.
Jessia tak
berjalan menuju rumah. Seperti biasa, sepulang sekolah, jika tak ada janji
latihan bersama Dinky atau temannya yang lain di grup cover dance, ia akan
pergi ke Takoci.
Sore-sore
begini, di sepanjang pinggiran Takoci sudah ramai gerobak-gerobak berjajar membuat
barisan. Berbagai macam makanan dibuat, dipajang dan dijajakan di sini. Mulai
dari berjenis-jenis gorengan, seperti pisang goreng, nasi goreng, ayam goreng,
mie goreng, sampai berbagai macam jenis bakso dan mie ayam. Cakue dan odading
juga tak mau ketinggalan. Dan sudah jadi rahasia umum bahwa Martabak dan Roti
bakar telah lama menjadi sepasang primadona.
Jessia terus
mengayunkan kakinya menuju gerbang masuk Takoci. Terletak di antara tenda
penjual pecel lele dan gerobak penjual kue putu, adalah tujuan Jessia. Sebuah
gerobak bertuliskan Lumpia Basah yang dicat warna merah terlihat pengap
dipenuhi para pembeli yang sedang sabar mengantre.
Perasaannya yang
tadi terasa dingin terkena angin dan badai nostalgia kini terasa hangat kembali
ketika ia melihat sosok yang ada di balik gerobak itu. Tangannya amat terampil
meracik bumbu, irisan bengkuang, telur, dan taoge menjadi hidangan yang membuat
orang-orang ketagihan. Wajahnya tak pernah kehilangan senyuman. Dari dia lah
Jessia belajar tentang satu-satunya cara untuk menjadi bahagia: selalu
bersyukur.
Bagi mereka
pekerjaan adalah berkah, melayani pelanggan adalah berkah, sekolah adalah
berkah. Masa lalu adalah berkah. Semua yang terjadi dalam kehidupan manusia
sejatinya adalah berkah, maka tak ada cara lain untuk menjalani hidup kecuali
dengan bersyukur. Dengan begitu mereka saling menguatkan diri dalam mengarungi
kehidupan. Meski hanya berdua, mereka merasa cukup. Meski cuma berdua mereka
merasa lengkap.
Perasaan
melankolis yang tadi sempat hinggap ia halau jauh-jauh. Tak ada waktu untuk
mengeluh, para pembeli sudah menunggu. Ini saat yang tepat bagi Jessia untuk
membantu, bukan malah membatu.
Sigap, ia
menggulung ujung-ujung sweater-nya hingga sebatas siku. Dengan cekatan ia mulai
membantu ayahnya menuntaskan pesanan yang semakin lama semakin banyak
berdatangan. Tak ada keluh kesah, mereka bekerja dengan bahagia.
***
Shelvira, Wicki
dan Andini sudah dua hari ini pulang terlambat ke rumah mereka masing-masing.
Alasannya, sepulang sekolah mereka berlatih di Takoci. Jika ada tempat kosong
yang cukup untuk mereka gunakan menari, mereka tak akan segan untuk mulai
menumpuk tas mereka di pojokan, memutar musik dan mulai beraksi.
Berkat ide gila
Dinky beberapa minggu lalu, kini mereka tak lagi merasa malu untuk menari di
tempat umum. Kepercayaan diri mereka meningkat beberapa kali lipat, tak akan
menciut meski orang-orang yang lewat kadang melihat mereka dengan tatapan
berbagai macam. Entah itu tatapan heran, aneh, atau bahkan menertawakan. Semua
itu tak ada yang mempan. Mereka tetap fokus menyempurnakan gerakan demi
gerakan.
Hari ini adalah
hari terakhir sebelum jadwal evaluasi tiba. Yang datang untuk berlatih ternyata
bukan hanya mereka bertiga. Dinky, Dara dan Jessika sudah ikut bergabung sejak
beberapa jam yang lalu. Bahkan Jessia pun menyempatkan untuk datang. Ia meminta
izin kepada ayahnya untuk mampir ke tempat teman-temannya yang lain berlatih.
Ia janji tak akan lebih dari satu jam. Dan tentu saja, ayahnya dengan senang
hati mengiyakan.
Keringat
membasahi seragam putih mereka. Juga wajah mereka yang memerah karena lelah.
Tapi selain itu, yang juga terlihat sama pada mereka semua adalah pancaran
semangat dan keceriaan yang begitu kentara. Bersama-sama melakukan hal yang
mereka sukai ternyata bisa menjadi kegiatan yang amat menyenangkan. Sejenak
mereka lupakan soal kompetisi dan persaingan, mereka hanya ingin menari
sepuasnya.
Gelak tawa
mengakhiri latihan mereka. Matahari sudah semakin jauh menuju belahan bumi yang
lain. Sebelum ia benar-benar tenggelam, mereka harus segera bergegas pulang.
“Temen-temen,
makasih yah udah pada nyempetin untuk latihan. It was so fun! Istirahat yang
cukup, tidur yang nyeyak. Besok jangan sampai datang terlambat, ya!” Dinky
menyudahi sesi latihan mereka dengan wajah sumringah.
Trio anak kelas
sepuluh pamit pulang lebih dulu. Kemudian Dara menyusul. Dinky pun berlalu
bersama Zen yang ternyata sedang jajan ketan bakar di dekat situ.
“Gak mampir
dulu, ci? Gue kasih lo lumpia basah gratis, lho!” kata Jessia pada kakaknya
dengan nada ngarep yang tak terlalu kelihatan.
“Ogah, ah! Berapa
banyak tuh kalorinya, gue bisa gendut nanti. No!”
Jessia terdiam
sebentar, lalu dengan wajah yang berusaha meyakinkan ia bekata,
“Mampir doang
juga gak apa-apa kok ci. Kalau gak mau jajan, cuma sekedar salaman juga gak
apa-apa.”
Jessika tak
mengatakan apa-apa. Untuk beberapa saat, ia tak melepaskan tatapannya dari
Jessia. Hingga kemudian akhirnya ia mendekat dan merangkul adik kembarnya erat-erat.
Ia kemudian berbisik di telinga Jessika.
“Bisa ketemu lo
aja gue udah seneng. Dan bagi gue itu cukup. Gue gak mau ngarepin yang lebih.
Dan sebaiknya, lo juga begitu. Mengharapkan sesuatu yang lebih dari semestinya
kadang malah bikin kita kehilangan segalanya, Jess.”
Kata-kata Jessika
biasanya terdengar sinis, tapi tidak kali ini. Ucapannya terdengar begitu tulus,
namun justru itulah yang membuatnya terasa lebih menyakitkan.
Jessia termenung
dengan ucapan Jessika yang masih mendengung-dengung di kepalanya. Ia lambaikan
tangan ke arah kakaknya yang pergi melaju menumpang ojek. Ia pergi lagi. Dan
Jessika tetap ditinggalkan. Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa melihat
saudaranya itu berlalu menjauh tanpa punya hak untuk mengejar.
Mungkin benar,
ia seharusnya tetap merasa cukup meski rumahnya hanya diisi dua orang saja. Dan
sedikit harapan untuk mendatangkan dua orang lagi ke rumahnya, sebaiknya ia
lupakan saja. Menginginkan berkah yang berlebihan memang tak pernah baik.
Manusia harus tetap tahu diri di hadapan Kehidupan.
Yoga Palwaguna.
Gambar dari Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar